Jumat, 10 Maret 2017

Aqidah Asma' wa sifat bagian 2

TAUHID ASMA' WA SIFAT 02 


1)       Pedoman di dalam penetapan Asma’ dan Sifat                      :
Sebuah pertannyaan diajukan kepada Imam Malik “rahimahullah” tentang permasalahan asma’ wa sifat, yaitu permasalahan “istiwa”( Allah berada di atas Arsy) :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)
5. (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang berada di atas 'Arsy[913]
Maka Imam Malik “rahimahullah” menjawab      :
الاستواء معلومٌ ، والكيف مجهولٌ ، والإيمان بـــه واجبٌ ، والسؤال عنه بدعةٌ ".
“Istiwa’ artinya jelas, bagaimana bentuknya kenyataannya yang tidak diketahui, beriman dengannya wajib, dan mempertannyakan bagaimana bentuknya bid’ah”
[ diriwayatkan Al Laalikai dalam kitab “syarh Ushul I’tiqod Ahlus sunnah wal Jama’ah (441/3) dan Imam Baihaqi dalam “Asma wa sifat” (408) dishahihkan oleh Imam Dzahabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar”].
Dalam ucapan Imam Malik ini kita ambil 4 pedoman dalam penetapan Asma’ wa sifat :
1.    Istiwa’ jelas     : artinya istiwa’ dan seluruh asma dan sifat Allah jelas maknanya secara bahasa.
Misalnya istiwa’ secara bahasa Arab artinya : “tinggi” dan “di atas”.
2.   Bagaimana bentuknya kenyataannya tidak diketahui        : artinya bahwa dzat dan perbuatan Allah mempunyai bentuk, akan tetapi bentuknya tidak diketahui akal manusia. Istiwa’ Allah diatas arsy tidak diketahui, apakah diatas menempel dengan arsy, atau tidak menempel, atau diatas arsy letaknya tepat ditengah atau dipinggir dll, tidak diketahui karena tidak ada dalil yang menjelaskannya secara terperinci.
3.   Beriman dengannya wajib   : artinya beriman bahwa Allah beristiwa’ diatas arsy wajib, seperti yang dijelaskan dalam Al Qur’an sesuai dengan makna bahasa, sesuai dengan keagungan Allah ta’ala.
4.   Bertanya tentangnya bid’ah         : artinya bertanya tentang “kaifiyah/bentuknya” ( bagaimana istiwa’ Allah diatas Arsy?) ini termasuk bid’ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah dan tidak pernah dilakukan oleh shahabat.
·         Contoh yang lainnya misalnya (الْعَيْنُ) :mata
                       وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي} [طه: 39].
39.. dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku[916]; dan supaya kamu diasuh di bawah mata-Ku,
§  Mata artinya secara bahasa : dalam kamus “Muhtaar Ashihhah” disebutkan artinya : حَاسَّةُ الرُّؤْيَةِ artinya alat untuk penglihatan.
§  Maka wajib bagi kita untuk beriman bahwa Allah punya mata sesuai makna bahasa yaitu alat untuk melihat.
§  Mata Allah berjumlah 2 :
"إنه أعور، وإن ربكم ليس بأعور" (1) رواه البخاري (3057)، ومسلم (169)
“sesungguhnya dia (Dajjal) cacat salah satu matanya dan sesungguhnya Rabb kalian tidaklah cacat salah satu mataNya”.
§  Mata Allah punya bentuk, akan tetapi bentuknya tidak kita ketahui dan tidak boleh bagi kita menanyakan “kaifiyah”/ bentuk mata Allah, apakah kotak, atau bulat, apakah berwarna putih dan hitam, atau putih dan biru.

2)     Kesalahan-kesalahan dalam penetapan asma’ wa sifat       :
a)     Tahriif                         : Penyimpangan dan pemalingan makna yang benar kepada makna yang salah, terbagi menjadi 2 :
ü  Tahriif lafdzi     : penyimpangan makna dengan menambah atau mengurangi kata atau merubah harokat dalam kata.
Contohnya                  : istawa’ dirubah menjadi istaula.
ü  Tahriif maknawi         : penyimpangan makna dengan mentafsirkan tidak sesuai dengan tafsir yang benar.
Contoh         : (( اليد )) diartikan sebagai kekuatan, dalam firman Allah ta’ala   :
{مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ} [ص: 75].
75. Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.
قال صلى الله عليه وسلم: "كلتا يديه يمين" (2).رواه مسلم (1827) عن ابن عمر رضي الله عنهما
“ Kedua tangan Allah kanan”.
b)     Ta’tiil              : Menolak dan meniadakan asma dan sifat bagi Allah. Terbagi menjadi 2 pula :
ü  Ta’tiil Mutlak       : Meniadakan asma dan sifat bagi Allah secara totalitas, seperti Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di bawah, tidak punya tangan, tidak punya mata dll, dengan alasan tidak mau menyamakan dengan makluk. ( Pendapat Jahmiyah )
ü  Ta’tiil Ba’dh     : Meniadakan sebagian nama dan sifat Allah dan menetapkan sebagiannya, seperti pemahaman Nama Allah hanya 99 saja, atau sifat Allah hanya 20 saja. ( Pendapat Mu’tazilah dan Asya’irah)
c)      Takyiif        : Menjelaskan bentuk sifat Allah dengan khayalan dari akal dan tidak didasari dalil yang shahih. Seperti ucapan tangan Allah sangat besar, mempunyai jari 100 yang sangat panjang dan kuat.
d)    Tamtsiil      : Menyerupakan bentuk sifat Allah dengan bentuk sifat dari makluknya, seperti ucapan wajah Allah seperti bulan yang bersinar, tangan Allah sangat kuat seperti tangannya singa.
e)    Tafwiidh      : menyerahkan segalanya kepada Allah, dengan mengatakan tidak paham makna tangan Allah, tidak paham makna wajah Allah, hanya Allah yang paham. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “ Tafwiidh sejelek-jelek pendapat ahlul bid’ah”. Perbedaan dengan pendapat Ahlus Sunnah, bahwa ahlus sunnah mengatakan makna tangan Allah jelas dan dipahami oleh akal, sedangkan yang tidak dipahami adalah kaifiyah(bentuk) tangan Allah.
f)     Ilhaad                   : memberikan julukan-julukan dan nama-nama kepada Allah yang tidak ada dalilnya, seperti julukan Tuhan Bapak, Tuhan Anak, Ahli Filsafat menyebut Allah sebagai Penyebab Segala Sesuatu ( العلة الفاعلة) Gusti dan jenis lainnya dari makna ilhad.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar