Para ulama kontemporer berbeda
pendapat. Ada yang melarang, ada pula yang memperbolehkannya (dengan syarat).
Berikut sebagian fatwa mereka :
Ulama yang Melarang
a. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah.
“....... "Celana pantalon
mengandung dua cela. Pertama, orang yang menggunakannya berarti
bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana
panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang
di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon,
kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah
takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan
kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka
tadi. Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat
laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim
seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka
yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya
terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya
tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan
sholat dan berdiri di hadapan Rabbul 'Alamin?!
Anehnya banyak di antara pemuda muslim
yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk
bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh
pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang
berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana
pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya
sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari
musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun
mereka sedikit”.
b. Asy-Syaikh Yahyaa Al-Hajuriy hafidhahullah.
Soal : Sebagian orang yang membolehkan celana pentalon dan dasi berdalih dengan kaidah:
hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh, benarkah dalih yang seperti ini?
Jawab : Ini tidaklah benar, ibarah “hukum asal segala sesuatunya itu
adalah boleh” adalah ibarah yang masih butuh diteliti lagi, hanya saja yang
mereka (ulama) katakan adalah: hukum asal dalam perkara makanan dan minuman dan
seterusnya adalah boleh, dan kemaluan hukum asalnya adalah haram, maka apakah
kaidah tersebut yang menghukumi dalil ataukah dalil-lah yang menghukumi kaidah?
Tidaklah di sana terdapat kaidah melainkan engkau perlu mencarikan dalil
untuknya bukan malah engkau berdalih dengannya,
Memakai celana pentalon itu menyerupai
orang-orang kafir Apakah Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dulunya
mengenakan pentalon, demikian juga Abu Bakr Ash-Shiddiq dan khulafa’ur
Rosyidin, demikian pula Ibnu Mubarak, Sufyanain (Sufyan At-Tsaury dan Sufyan
ibnu ‘Uyainah), Hammadain (Hammad bin Zaid dan Hammad bin Salamah), dan
Al-Auza’i, tidak satupun dari mereka yang mengenakannya.
Andaikata celana ini ada pada zaman
mereka, tentulah mereka akan sangat membencinya, sebab mereka itu sangat
melarang untuk menyerupai orang-orang Eropa (barat) dan orang-orang kafir,
Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ
مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Apakah engkau tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwasanya mereka itu telah beriman
kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelummu?mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu" [An-Nisaa': 60].
Sama saja apakah itu dalam ucapan,
perbuatan ataupun selainnya, dan berkata Allah ta’ala:
لا تَتَّخِذُوا
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan janganlah kalian mengambil
orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab, penolong, dan pelindung), dengan
meninggalkan orang-orang mukminin" [An-Nisaa': 144].
Nabi sallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata:
ومن تشبه بقوم فهو
منهم
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum
tersebut” [HR. Abu Daud dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah di Irwaa' (1269)
dengan syawahidnya]
Dan Syaikhul Islam punya ungkapan yang
kuat di “Iqtidhaa’ Shiratal Mustaqim Mukhalafat Ashhabil Jahim“:
Barangsiapa yang memakai pakaian orang-orang kafir dan berpendapat bahwa
pakaian itu lebih bagus dan lebih mendapat petunjuk daripada pakaian muslimin
maka dia kafir. -selesai- [Al-Iftaa' alal Asilah Al-Waridah min Duwalin
Syatta, hal. 200-201].
c. Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy hafidhahullah.
“.......Dan potong jenggot termasuk
dari maksiat yang merupakan sebab kekalahan, dan tasyabbuh (menyerupai
orang kafir) dengan memakai pentalon adalah bentuk peniruan terhadap
musuh-musuh Allah –semoga Allah memberkahimu- sementara kalian tahu
bahwasanya para sahabat kalah pada perang Uhud dan Hunain, adapun hari Uhud
disebabkan penyelisihan pasukan pemanah yang akhirnya menimpa para sahabat yang
dipimpin oleh Rasulullah apa yang telah menimpa mereka.
Demikian juga hari Hunain peristiwanya
hampir sama:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ
إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ
عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ * ثُمَّ
أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain,
Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, Maka jumlah
yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian
lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada RasulNya …” [At-Taubah: 25-26].
Jadi karena sebagian di antara mereka
ada yang mengatakan “Sekarang jumlah kita sungguh banyak, kita tidak akan
terkalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit: Maka Allah Tabaraka wa
Ta’ala memberi mereka pelajaran karena apa yang timbul pada diri
mereka (dari ‘ujub), maka bagaimana kiranya dengan pasukan yang memotong jenggotnya
dan memakai pakaian orang-orang kafir, kemudian mengharap pertolongan dari
Allah Tabaraka wa Ta’ala?! Karena itulah kita tidak mendapat
pertolongan, seringnya musuh-musuh islam-lah yang meraih kemenangan melawan
kita.
Maka wajib bagi kita untuk bersemangat
dalam menaati Allah dan menetapi dan merealisasikan perintah-perintah Allah,
terutama di medan peperangan agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong
kita:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ
أَقْدَامَكُمْ
“Apabila kalian menolong (agama)
Allah niscaya Ia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.”
[Muhammad 7].
Ketika itulah baru kita berhak dan
pantas meraih pertolongan dari Allah ‘Azza wa Jalla yang telah Ia
janjikan kepada kita. -selesai- [Ajwibah Al-'Allamah Asy-Syaikh Rabi' bin
Hadi Al-Madkhali As-Salafiyyah 'Ala Asilati Abi Rawahah Al-Manhajiyyah,
hal. 25-27].
Jika kita cermati inti fatwa ketiga
ulama tersebut, maka ‘illat larangan memakaipantalon ada
2, yaitu tasyabbuh dengan orang kafir dan menampakkan aurat
(karena sempit).
Ulama yang Membolehkan dengan Syarat
a. Ulama Lajnah Daaimah.
الأصل في أنواع اللباس
الإباحة ؛ لأنه من أمور العادات ، قال تعالى : قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي
أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ويستثنى من ذلك ما دل الدليل
الشرعي على تحريمه أو كراهته كالحرير للرجال ، والذي يصف العورة ؛ لكونه شفافا يرى
من ورائه لون الجلد أو لكونه ضيقا يحدد العورة ، لأنه حينئذ في حكم كشفها وكشفها
لا يجوز ، وكالملابس التي هي من سيما الكفار الخاصة بهم ، فلا يجوز لبسها لا
للرجال ولا للنساء ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن التشبه بهم ، وكلبس الرجال
ملابس النساء ولبس النساء ملابس الرجال ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن تشبه
الرجال بالنساء والنساء بالرجال.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه
بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما
تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ،
وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد
لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في
الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه
وسلم.
“Hukum asal dari berbagai jenis pakain
adalah diperbolehkan, karena ia termasuk perkara ‘aadaat (kebiasaan).
Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah: "Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" (QS.
Al-A’raaf : 32). Dan dikecualikan dari hal tersebut jika ada dalil syar’iy yang
menunjukkan keharaman atau kemakruhannya, seperti sutera bagi laki-laki.
Pakaian yang dapat menampakkan aurat dikarenakan tipis sehingga menampakkan
warna kulit yang ada di balik pakaian, atau sempit sehingga membentuk aurat,
(maka itu tidak diperbolehkan), termasuk hukum menyingkap aurat, sedangkan
menyingkap aurat tidak diperbolehkan. Dan seperti pakaian yang menjadi kekhususan
orang kafir, maka tidak diperbolehkan memakainya, baik laki-laki ataupun wanita
dengan sebab larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertasyabbuh
pada mereka. Dan juga seperti laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita
yang memakai pakaian laki-laki; dikarenakan larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dari laki-laki bertasyabbuh dengan wanita, dan
wanita bertasyabbuh dengan wali-laki.
Dan pakaian yang disebut pantalon
dan qamiish (kemeja) itu bukanlah termasuk kekhususan pakaian
orang kafir. Bahkan ia termasuk pakaian yang umum dipakai oleh kaum muslimin
dan orang kafir di banyak negeri. Hanya saja yang membuat jiwa enggan
memakainya di sebagian negeri adalah karena peniadaan kelembutan dan
penyelisihan terhadap kebiasaan berpakaian penduduk setempat, meskipun hal itu
berkesesuaian dengan kebiasaan kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi yang
lebih utama bagi seorang muslim apabila di satu negeri pakaian tersebut tidak
dianggap/dipakai oleh penduduknya, hendaknya ia tidak memakainya dalam shalat,
pertemuan umum, dan di jalan-jalan. Wabillaahit-taufiiq, wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa shahbihi wa sallam” [Al-Fataawaa,
24/38-39 no. 1620; dengan ketua : Ibnu Baaz, wakil ketua : ‘Abdurrazzaaq
‘Afiifiy, anggota : ‘Abdullah Al-Ghudayyaan & ‘Abdullah Al-Qu’uud – lihat :http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=9&PageID=9347].
b. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah.
Beliau rahimahullah ketika
ditanya tentang batasan-batasan tasyabbuh dengan orang kafir,
menjawab :
التشبه
بالكفار هو أن الإنسان يتزيا بزيهم في اللباس, أو في الكلام, أو ما أشبه ذلك, بحيث
إذا رآه الرائي يقول: هذا من الكفار, أما ما يشترك فيه المسلمون والكفار فهذا ليس
تشبهاً, مثل: الآن لبس البنطلون للرجال لا نقول هذا تشبه؛ لأنه صار عادة للجميع,
وأما مسألة السيارات وغيرها فهذه ما فيها تشبه إطلاقاً
“Tasyabbuh dengan orang
kafir adalah seseorang yang meniru mode mereka dalam pakaian, perkataan, atau
yang semisalnya; dimana jika ada orang yang melihat hal tersebut akan berkata :
‘hal ini (berasal) dari orang kafir’. Adapun hal-hal yang kaum muslimin dan
orang-orang kafir bersekutu di dalamnya, maka ini bukantasyabbuh.
Misalnya sekarang ini memakai pantalon bagi laki-laki. Kita tidak mengatakannya
perbuatan ini tasyabbuh, karena hal itu telah menjadi kebiasaan
bagi semua orang (baik muslim atau kafir). Adapun masalah mobil dan yang
lainnya, maka ini bukan tasyabbuh secara mutlak” [Pertemuan
Terbuka tanggal 16 Jumadits-Tsaaniy 1416 H; lihat : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=111742].
c. Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah pernah
ditanya : Apakah diperbolehkan bagi seseorang kadang-kadang memakai baju dan
pantalon, ataukah ia harus senantiasa memakai jubah panjang setiap saat, dan
apakah ia diharamkan dan termasuk tasyabbuh dengan orang kafir
?. Beliau menjawab :
أما لبس البنطلون فلست
أراه من التشبه لأنه زي غلب على ديار المسلمين وكما في القاعدة الفقهية إذا ضاق
الأمر اتسع ومع ذلك ففيه حرج من جهة الصلاة فيه ولذلك أرى ألا يلبسه المسلم اذا لم
يكن هناك داع اليه
“Adapun memakai pantalon, maka aku
tidak memandang itu termasuk tasyabbuh(dengan orang kafir), karena
ia adalah pakaian yang umum dipakai di negeri-negeri kaum muslimin. Dan
sebagaimana kaedah fiqhiyyah : ‘apabila satu perkara menjadi sempit, ia
menjadi luas’. Bersamaan dengan hal itu, padanya terdapat kesempitan
(larangan) dari sisi shalat jika mengenakannya. Oleh karena itu aku
berpandangan seorang muslim tidak memakainya apabila tidak ada alasan yang
mendesak” [lihat :http://ar.islamway.com/fatwa/9814].
d. Asy-Syaikh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah pernah
ditanya : “Apakah boleh memakai baju orang Eropa dan pantalon ?”. Dijawab :
نعم، يجوز العمل في
القميص (الإفرنجي) وفي (البنطلون) إذا كان واسعاً وسابغاً
“Ya, diperbolehkan memakai baju orang
Eropa dan pantalon jika longgar dan besar” [Silsilatut-Tafsiir, 17/46].
Berikut sebagian perkataan ulama
madzhab :
Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah berkata
:
( قَوْلُهُ لَا يَصِفُ مَا
تَحْتَهُ ) بِأَنْ لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ احْتِرَازًا عَنْ
الرَّقِيقِ وَنَحْوِ الزُّجَاجِ ( قَوْلُهُ وَلَا يَضُرُّ الْتِصَاقُهُ ) أَيْ
بِالْأَلْيَةِ مَثَلًا ، ....... وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُنْيَةِ : أَمَّا لَوْ
كَانَ غَلِيظًا لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ إلَّا أَنَّهُ الْتَصَقَ
بِالْعُضْوِ وَتَشَكَّلَ بِشَكْلِهِ فَصَارَ شَكْلُ الْعُضْوِ مَرْئِيًّا
فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَمْنَعَ جَوَازَ الصَّلَاةِ لِحُصُولِ السَّتْرِ
“(Perkataannya : Tidak menyifatkan
apa-apa yang ada di bawahnya), yaitu tidak terlihat darinya warna kulit,
terhindar dari sifat tipis dan transparan. (Perkataannya : Tidak memudlaratkan
jika pakaian/kain itu ‘ngepres’/menempel/ketat), yaitu dengan pantat
misalnya..... Dan ‘ibarat dalam kitab Syarh Al-Mun-yah :
Adapun jika kain/pakaian tersebut tebal tidak nampak darinya warna kulit, namun
ia ‘ngepres’/menempel dengan anggota badan dan tergambar bentuk/rupanya, lalu
terlihatlah bentuk tubuhnya; maka itu tidak menghalangi kebolehan (sahnya)
shalat dengan adanya penutup tadi” [Raddul-Muhtaar, 3/270 – via
Syaamilah].
Ibnu Syaas Al-Maalikiy rahimahullah berkata
:
في صفة الساتر : وليكن
صفيقا كثيفا، ولا يكون شفا، ولا بحيث يصف، فإن كان شفا، فهو كالعدم مع الانفراد.
وإن كان بحيث يصف وليس يشف فهو مكروه، ولا يؤدي إلى بطلان الصلاة
“Tentang sifat penutup (‘aurat) :
Hendaknya tebal, tidak tipis, dan tidak bisa mensifati (‘aurat). Apabila tipis,
maka ia seperti ketiadaannya. Dan apabila dapat menyifatkan ‘aurat, namun tidak
tipis, maka makruh, dan shalatnya tidak batal sehingga perlu diulang” [‘Iqdul-Jawaahir
Ats-Tsamiinah fii Madzhab ‘Aalimil-Madiinah, 1/159].
An-Nawawiy rahimahullah berkata
:
قال أصحابنا يجب الستر
بما يحول بين الناظر ولون البشرة، فلا يكفي ثوب رقيق يُشاهد من ورائه سواد البشرة
أو بياضها، ولا يكفي أيضاً الغليظ المهلهل النسج الذي يُظهر بعض العورة من خلله.
فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والإلية ونحوهما، صحت الصلاة فيه لوجود الستر
“Shahabat-shahabat kami (kalangan ulama
Syaafi’iyyah – Abul-Jauzaa’) berkata : wajib menutup ‘aurat
dengan sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang memandang dengan warna
kulit. Maka, tidaklah mencukupi pakaian tipis yang dapat dilihat hitam atau
putihnya kulit yang ada dibaliknya. Dan tidak mencukupi juga kain tenun tebal
yang menampakkan sebagian ‘aurat dikarenakan tenunnya renggang. Seandainya ia
dapat menutupi warna kulit namun masih menyifatkan bentuk kulit luar (badan)
seperti lutut, pantat, dan yang semisalnya; maka sah shalatnya karena
keberadaan penutup (‘aurat) tersebut” [Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab,
3/170].
Al-Khathiib Asy-Syarbiiniy
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
فلا يكفي ثوب رقيق ولا
مهلهل لا يمنع إدراك اللون ولا زجاج يحكي اللون لأن مقصود الستر لا يحصل بذلك. أما
إدراك الحجم فلا يضر لكنه للمرأة مكروه وللرجل خلاف الأولى
“Maka tidaklah mencukupi pakaian tipis
yang tidak menghalangi nampaknya warna kulit, tidak pula (mencukupi) pakaian
yang transparan yang dapat menggambarkan warna kulit; karena tujuan menutupi
‘aurat tidak tercapai dengan hal itu. Adapun nampaknya bentuk tubuh, tidak
memudlaratkannya, akan tetapi bagi wanita adalah makruh dan bagi
laki-laki khilaaful-ulaa[7] (meninggalkannya
lebih baik)” [Mughnil-Muhtaaj, 1/398].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata
:
وأن كان يستر لونها
ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Dan apabila pakaian tersebut menutup
warna kulitnya, namun menyifatkan bentuk badannya, maka shalatnya sah, karena
tidak mungkin menghindarkan diri dari hal tersebut meskipun pakaian/kain
penutup itu tebal” [Al-Mughniy, 2/286-287].
Ibnu Muflih Al-Hanbaliy rahimahullah berkata
:
إذا وصف بياض الجلد،
أو حمرته فليس بساتر، وإذا ستر اللون، ووصف الخلقة، أي: حجم العضو، صحت الصلاة
فيه، لأن البشرة مستورة، وهذا لا يمكن التحرز منه
“Apabila pakaian/kain dapat menyifatkan
putih atau merahnya warna kulit, maka itu bukanlah penutup. Dan apabila ia
dapat menutupi warna kulit, namun masih menyifati bentuk tubuh/anggota badan;
sah shalatnya, karena kulit telah tertutup. Dan yang demikian tidaklah mungkin
untuk menghindarinya” [Al-Mubdi’ Syarh Al-Muqni’, 2/51 – via Maktabah
Syaamilah].
Dalil yang dipakai untuk membangun
pendapat di atas di antaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو
عَامِرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنِ ابْنِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، أَنَّ
أَبَاهُ أُسَامَةَ، قَالَ: كَسَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا أَهْدَاهَا دِحْيَةُ
الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسْ الْقُبْطِيَّةَ "،
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً،
إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا "
Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari ‘Abdullah bin
Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ibnu Usaamah bin Zaid, bahwasannya ayahnya yaitu
Usaamah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah
memberiku baju Qubthiyyah yang tipis yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbiy.
Lalu aku memberikannya kepada istriku untuk dipakai. Setelah itu Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Mengapa engkau tidak
mengenakan baju Qubthiyyah ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah
memberikannya kepada istriku agar ia memakainya”. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Perintahkanlah ia agar ia
mengenakan di bawahnya ghilaalah[8].
Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan bentuk tulangnya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/205; sanadnya dla’iif dengan sebab
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil. Al-Arna’uth mengatakan : “Kemungkinan untuk
dihasankan”[9]].
Faedah : Riwayat ini menunjukkan
perintah menutup ‘aurat bagi wanita lebih keras/ketat daripada perintah menutup
‘aurat bagi laki-laki, karena ketika Usaamah memberitahukan pakaian/kain
Qubthiyyah kepada istrinya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya untuk melapisinya dengan ghilaalah.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal
yang sama ketika kain itu diberikan kepada Usaamah di kali pertama.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ
بْنُ يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ
الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي
حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: " إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْتَسِي وَهُوَ عَارٍ،
يَعْنِي الثِّيَابَ الرِّقَاقَ "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Yahyaa Al-Hulwaaniy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan,
dari ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi
Haazim dari Jariir (bin ‘Abdillah Al-Bajaliy) radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berpakaian, namun
hakekatnya telanjang. Yaitu pakaiannya tipis” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausathno. 2215; sanadnya shahih].
Walhasil, jika seseorang shalat dengan pakaian/kain yang dapat untuk menutupi
kulit sehingga tidak dapat terlihat dari luar, meskipun akan membentuk sebagian
anggota tubuh; maka shalat sah, walau sebagian ulama ada yang memakruhkannya.
Kembali pada masalah pantalon.
Seseorang yang shalat dengan memakai pantalon yang dapat menutupi ‘auratnya
sehingga warna kulitnya tidak terlihat, sah shalatnya. Jika pantalonnya sempit[10] hingga
dapat membentuk anggota badannya, maka makruh. Bahkan jika terlalu sempit, saya
khawatir itu masuk dalam hukum : keberadaannya seperti ketiadaannya. Jika
longgar[11],
maka boleh. Yang lebih sempurna dan lebih menutupi ‘aurat (lagi terhindar dari
perselisihan pendapat), maka ia shalat dengan didobeli kain sarung atau gamis
panjang (model Pakistan, Saudi, atau yang semisalnya).
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata
:
ويصلى الرجل في
السراويل إذا وارى ما بين السرة والركبة، والإزار أستر وأحب منه .قال وأحب إلى أن
لا يصلى إلا وعلى عاتقه شيء عمامة أو غيرها ولو حبلا يضعه
“Seorang laki-laki boleh shalat
dengan saraawiil apabila dapat menutupi apa-apa yang terletak
antara pusar dan lutut. Dan sarung lebih menutupi dan lebih aku sukai darinya (saraawiil).
Dan aku lebih suka jika ia tidak shalat kecuali jika di atas pundaknya ada
sesuatu berupa ‘imaamah atau yang lainnya, meskipun hanya
seutas tali yang ia letakkan padanya (pundak)” [Al-Umm, 1/89].
Al-Barbahaariy rahimahullah berkata
:
ولا بأس بالصلاة في
السراويل
“Tidak mengapa shalat dengan
mengenakan saraawiil” [Syarhus-Sunnah, hal. 61 no. 37].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah
ditanya tentang hukum memakai celana pantalon dimana sebagian pemakainya tersingkap
sebagian auratnya ketika rukuk dan sujud dalam shalat. Beliau rahimahullah menjawab
:
إذا كان البنطلون -
وهو السراويل - ساتراً ما بين السرة والركبة للرجل، واسعاً غير ضيق صحت فيه
الصلاة، والأفضل أن يكون فوقه قميص يستر ما بين السرة والركبة، وينزل عن ذلك إلى
نصف الساق أو إلى الكعب؛ لأن ذلك أكمل في الستر.
والصلاة في الإزار
الساتر أفضل من الصلاة في السراويل إذا لم يكن فوقها قميص ساتر؛ لأن الإزار أكمل
في الستر من السراويل
“Apabila pantalon – yaitu saraawiil –
dapat menutupi apa-apa yang terdapat antara pusar dan lutut bagi laki-laki,
longgar lagi tidak sempit, maka sah shalatnya. Dan afdlal-nya agar
didobeli qamiish yang menutup antara pusar dan lutut, dan
lebih rendah lagi hingga pertengahan betis atau hingga mata kaki. Hal itu
dikarenakan lebih sempurna dalam menutup aurat. Dan shalat dengan memakai
sarung penutup aurat lebih utama daripada shalat dengan memakai saraawiil bila
tanpa didobeli qamiish sebagai penutup aurat. Karena, sarung
lebih sempurna untuk menutup aurat daripada saraawiil” [sumber
: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480].
Wallaahu a’lam.