Ingin Anak Rajin Beribadah? Mari Mengaca!
13 Aug 2018 00:00:00
SAHABAT KELUARGA-
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
Pekerjaan yang banyak dan harus segera
diselesaikan, membuat saya harus keluar kota beberapa hari. Kemudian pulang
malam, tidur malam, sehingga bangun tidur tidak bisa lebih pagi dari biasanya.
Yang membuat sedih, saya jarang bercakap dan bermain dengan anak-anak.
Pagi itu saya bangun terlalu siang. Itu saja yang membangunkan Nera,
”Ayah, bangun. Disuruh ibu salat Subuh dan antarkan Kakak Mafi dan Nera ke
sekolah!”
Saya segera bangun mengambil air wudhu, salat Subuh, dan menyiapkan
segala sesuatunya. Saya pun mengantarkan Mafi dan Nera ke sekolah. Di tengah
jalan saya bertanya, ”Tadi salat Subuh sama siapa?”
”Ibu!” jawab Mafi dan Nera serentak.
”Semalam salat Maghrib dan Isyanya?” tanya saya kembali.
”Maghrib di musala….,” Mafi menghentikan kata-katanya.
”Kak Mafi dan Nera ketiduran, Yah. Tidak salat Isya. Lupa, Yah,” Nera
menjelaskan pelan.
Saya tidak bisa berkomentar apa-apa. Saya menyalahkan diri saya sendiri
yang beberapa hari terlalu sibuk.
Selepas mengatarkan anak-anak ke sekolah, di rumah saya berbincang
dengan Istri. ”Apa yang terjadi dengan salatnya anak-anak selama ayah
disibukkan dengan pekerjaan?” tanya saya.
”Anak-anak semangat salatnya menurun. Lebih asyik bermain. Jika
diingatkan sering dicuekin. Dan saat malam, sebelum Isya lebih dulu tertidur,”
Istri menjelaskan panjang lebar.
Saya pun terdiam. Pangkal salahnya adalah saya: Tidak bisa menghadirkan
dan menjaga semangat salat anak-anak di keluarga.
Anak-anak adalah individu yang menyerap. Akan selalu bisa menyerap
kejadian di lingkungannya dan tidak terkecuali energi dari orangtuanya. Di
sinilah, tugas orangtua tidak melulu soal menasihati, mendidik, memberi, dan
mengasihi, akan tetapi harus mampu menghadirkan energi atau semangat, termasuk
semangat dalam menjalankan ibadah salat.
Saya teringat hari-hari sebelumnya, saat terdengar adzan, kemudian saya
mengambil air wudhu, terus berkata, ”Saatnya salat!” Maka anak-anak akan
bersegera salat mengikuti saya. Kami pun berangkat salat berjamaah di musala
dengan penuh bahagia.
Waktu lainnya di rumah selalu saya isi dengan berdiskusi, bermain,
sampai membacakan, dan menceritakan kisah-kisah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya, yang semakin menegaskan kehadiran suasana
semangat religius untuk salat dalam keluarga. Bahkan, tidak hanya sampai di
situ, saat saya sendiri sedang senang dengan salat, maka anak-anak pun
mengikuti hal yang sama.
Ini menunjukkan kehadiran semangat dan energi salat ini diserap dan dipahami
oleh anak. Sehingga mereka pun mendapatkan energi salat yang sama dari
orangtuanya. Energi inilah yang kemudian menggerakkan anak-anak melakukan hal
yang sama dengan orangtuanya.
Jadi, jika ada keluarga yang semangat dan suasana salatnya tidak ada, itu
terjadi karena orangtuanya tidak mau dan mampu menghadirkan energi salat dalam
keluarganya. Kita pun pasti banyak melihat fenomena, anak-anak yang sejak kecil
rajin salat karena orangtua yang setiap hari memberikan contoh dan energi salat
juga pada anak-anaknya.
Sebaliknya, anak-anak yang perilaku salatnya tidak konsisten, bisa jadi
bukan karena orangtuanya tidak menyuruh dan memberi contoh. Tapi, orangtuanya
tidak mampu menghadirkan dan menjaga semangat dan suasana untuk salat. Kita pun
banyak melihat kejadian di keluarga yang orang tuanya rajin salat, tetapi
anak-anaknya tidak mengikuti.
Orangtua teladan bagi anak
Di sinilah, menghadirkan semangat salat menjadi kunci penting dalam
membimbing anak-anak untuk rajin salat. Menghadirkan semangat ini harus
dilakukan dengan memberikan contoh, menunjukkan semangat dan
menyenangkannya salat, selalu berdiskusi tentang ibadah dan salat dengan anak,
sampai selalu berkisah tentang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya.
Dengan cara ini suasana semangat untuk melakukan ibadah salat diciptakan
dan dijaga secara baik. Anak-anak kita pun akan menyerap semangat itu sehingga
menjadi energi yang menggerakkan mereka untuk selalu menunaikan salat sebaik
mungkin.
Saya pun mendadak teringat kejadian beberapa lalu saat terdengar
kumandang adzan. Saya bergeas berganti baju, kemudian mengambil air wudhu, dan
mengajak anak-anak salat berjamaah. Anak-anak pun bergegas melakukan hal yang
sama. Kemudian kami salat berjamaah. Rasanya kenyataan itu sangat bahagia dan
menyenangkan.
Saat kemudian terjebak dalam pekerjaan, saat energi salat tidak bisa
saya hadirkan dan jaga di keluarga secara baik, saya pun mendapatkan kenyataan
pahit ini. Anak-anak semangat salatnya menurun. Anak-anak menyerap kenyataan
ayahnya yang sedang kehilangan semangat ibadahnya.
Di sinilah anak-anak harus diakui menjadi cermin dan miniatur kenyataan
keimanan orangtuanya. Jika orangtuanya mampu menghadirkan dan menjaga semangat
dan suasana salatnya secara baik, anak-anak pun akan demikian. Tapi,
sebaliknya, jika orangtua gagal menghadirkan dan menjaga suasana salatnya secara
baik, maka anak-anak akan kehilangan arah.
Saya pun tertunduk sedih menyaksikan kenyataan ini. Istri saya tahu
keadaan ini, dia pun berkata, ”Nanti selepas anak-anak pulang sekolah hadirkan
kembali semangat dan suasan salat seperti kemarin. Pasti anak-anak akan paham
dan mengerti. Dan semangat dan suasana salat akan hadir kembali di keluarga
kita.”
Aku menganggukkan kepala. Anak-anakku telah mengajariku cara bertobat dengan sikap-sikap yang istimewa.
Aku menganggukkan kepala. Anak-anakku telah mengajariku cara bertobat dengan sikap-sikap yang istimewa.
Semoga. (Heru Kurniawan-seorang Ayah di Purwokerto)