Jakarta -
Saat ini Timur-Tengah sedang berjuang melawan wabah corona. Mereka mengambil langkah-langkah pencegahan secara ketat, khususnya karantina, pemberlakuan jam malam, hingga beribadah di rumah. Mereka tidak main-main dalam mencegah penyebaran virus corona, sehingga para ulama berada di garda terdepan dalam memberikan pemahaman terhadap umat. Sebab itu, fikih corona menjadi sesuatu yang tidak dielakkan.
Al-Azhar dan Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Isfta' al-Mishriyyah) menjadi institusi terdepan dalam mengeluarkan fatwa atau pandangan keagamaan dalam rangka memberikan pemahaman dan penyadaran kepada publik. Salah satu yang menjadi perhatian ulama adalah soal beribadah di rumah. Bahkan, Kementerian Wakaf Mesir mengeluarkan maklumat untuk menutup masjid selama pandemi Covid-19.
Dalam suasana normal, masjid selalu dipenuhi warga untuk melaksanakan shalat lima waktu dan Salat Jumat, termasuk Salat Tarawih dan Salat Idul Fitri. Sebab itu, para ulama mengambil langkah-langkah pencegahan setelah mendengarkan pemaparan para ahli virus dan wabah perihal bahaya Covid-19. Di samping itu, kebijakan pemerintah sejalan dengan protokol World Health Organization (WHO) yang juga menjadi pertimbangan penting dalam memutuskan sebuah fatwa.
Atas dasar itu, para ulama di Timur-Tengah berpandangan bahwa kebijakan para pemimpin harus sejalan dengan prinsip kemaslahatan (tasharruf al-imam 'al-ra'iyyah manuthun bil mashlalah). Para ulama secara kompak sampai pada kesimpulan bahwa wabah corona merupakan wabah yang harus dicegah tanpa memperhatikan zona merah dan zona hijau. Sifat wabah yang transmisinya bisa berlangsung dari manusia ke manusia, maka apapun yang di dalamnya mengindikasikan adanya kontak antara manusia dengan manusia yang lain dalam jumlah yang relatif besar, perlu diambil langkah-langkah pencegahan sesuai dengan instrumen fikih.
Lembaga Fatwa Mesir berangkat dari sebuah pandangan bahwa di dalam fikih terdapat keringanan (al-rukshah) dan kemudahan (al-taysir) bagi seorang Muslim untuk tidak melaksanakan salat berjemaah di masjid. Keringanan dan kemudahan tersebut mengacu pada beberapa alasan yang bersifat umum dan khusus. Yang bersifat umum, seperti hujan deras yang menyebabkan jalanan becek dan banyak genangan air, serta jalanan gelap yang menyebabkan kita tidak berjalan ke masjid. Sedangkan alasan yang bersifat khusus, seperti sakit, melindungi jiwa dan harta dari ancaman orang lain, makan makanan yang menyebabkan bau menyengat, tertidur, dan lain-lain.
Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, saat terjadi hujan deras Ibnu 'Abbas pernah meminta kepada juru adzan untuk mengganti kalimat hayya 'ala al-shalat (mari menunaikan shalat) menjadi shallu fi buyutikum (salatlah di rumah-rumah kalian). Orang-orang pada saat itu tidak mau menerima permintaan Ibnu 'Abbas. Lalu Ibnu 'Abbas, menyatakan kepada mereka, "Jangan kaget, orang yang lebih baik dari saya, yaitu Nabi Muhammad SAW telah melakukan hal ini. Salat Jumat adalah wajib, tetapi aku khawatir jika memaksakan kalian keluar rumah, sehingga kalian berjalan di tengah jalanan yang becek dan berlumpur, menyebabkan kalian tergelincir."
Jika hujan saja yang menyebabkan seseorang mendapatkan keringanan dan kemudahan untuk tidak melaksanakan salat berjemaah, maka alasan yang lebih berbahaya seperti pandemi Covid-19 sudah dapat menjadi pijakan untuk salat di rumah, bukan salat di masjid. Menurut para ulama di Lembaga Fatwa Mesir, hendaknya kita berpegang pada prinsip, "tidak berbahaya bagi diri sendiri dan tidak membahayakan orang lain" (la dharar wa la dhirar).
Al-Azhar sebagai institusi keagamaan yang selama ini dijadikan kiblat di Timur-Tengah, bahkan dunia Islam, juga mengeluarkan fatwa atau pandangan keagamaan yang memperkuat pandangan keagamaan Lembaga Fatwa Mesir. Intinya, syariat Islam bertujuan untuk melindungi kemaslahatan umum, tidak egois, serta mengedepankan kepentingan umum. Menyelamatkan jiwa (hifdz al-nafs) merupakan inti ajaran Islam. Di dalam al-Quran disebutkan, Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu pada bahaya (QS. al-Baqarah [2]: 195).
Ada hadis Nabi yang dapat menjadi landasan kuat agar diberlakukan secara ketat pada pembatasan sosial (social distancing), jaga jarak fisik (physical distancing), bahkan menunda mudik hingga waktu yang benar-benar aman dari wabah corona. Yaitu, hadis Nabi yang berbunyi, Jika kalian mendengarkan adanya wabah atau penyakit menular dalam sebuah wilayah, maka hendaklah kalian tidak masuk ke daerah itu. Dan jika kalian berada di dalam sebuah wilayah yang di dalamnya terdapat wabah atau penyakit menulis, maka hendaklah kalian tidak keluar dari wilayah itu.
Terhadap para jenazah pasien Covid-19, al-Azhar menyatakan mereka adalah para syuhada, terlebih para tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam menyembuhkan para pasien. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi korban, hingga merenggut nyawa. Mereka adalah para syuhada dan pahlawan yang harus diberikan penghormatan setinggi-tingginya. Sebab itu, al-Azhar meminta kepada mereka yang masih hidup, termasuk keluarga dan masyarakat memberikan penghormatan terakhir terhadap para jenazah pasien Covid-19, di antaranya memandikan, mengafani, mensalatkan, dan menguburkannya.
Al-Azhar juga menjadikan rumah sakit yang berada di bawah naungan al-Azhar sebagai tempat merawat para pasien, serta memberikan sumbangan finansial yang lumayan besar di seantero Mesir. Al-Azhar ingin memberikan pencerahan kepada publik di Timur-Tengah agar jangan main-main menghadapi dan mencegah wabah corona.
Sikap al-Azhar ini menjadi rujukan hampir seluruh negara-negara di Timur-Tengah untuk melahirkan fikih corona yang sejalan dengan kebijakan pemerintah dan protokol WHO, sehingga semua pihak mempunyai kesadaran kolektif untuk tidak menyepelekan wabah corona.
Selain itu, Iran juga menjadi negara yang paling awal meniadakan Salat Jumat sebagai pencegahan dari penyebaran corona. Mereka juga menutup masjid dan tempat-tempat suci (al-haram) yang selama ini ramai diziarahi, seperti makam Imam Ridha di Mashhad dan makam Sayyidah Ma'shumah di Qom. Bahkan, yang paling menarik dari Iran yaitu mengubah masjid menjadi tempat pelayanan bantuan sembako bagi warga yang terdampak wabah corona. Kita bisa melihat masjid-masjid di Iran dipenuhi dengan makanan.
Di saat warga tidak salat berjamaah di masjid, tetapi masjid dipenuhi dengan makanan yang dapat membantu mereka yang membutuhkan. Bahkan, para ulama Iran berlomba-lomba menjadi relawan di berbagai rumah sakit. Mereka berlomba-lomba dalam kebajikan, membantu para medis menyembuhkan pasien Covid-19. Dan tidak sedikit dari para ulama itu yang meninggal dunia, ingin menjadi syahid.
Itulah fikih corona di Timur-Tengah yang tidak hanya berhenti pada pandangan keagamaan atau fatwa semata, melainkan telah menjadi tindakan nyata yang mengetuk kesadaran individu dan kolektif bahwa corona harus membuka mata kepala dan mata batin kita, saatnya kemanusiaan dan keselamatan bersama diutamakan daripada berdebat dan menyebarluaskan kepanikan.
Zuhairi Misrawi cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah, The Middle East Institute, Jakarta