4 Refleksi Bagi
Guru
1. Tugas dan PR yang tidak
tepat
Sebagai seorang yang pernah menjadi
guru, saya mengerti bahwa jam mengajar guru di sekolah terkadang terasa
kurang untuk memastikan para murid untuk betul-betul memahami materi yang
dibahas. Oleh karena itulah, guru memberikan PR atau tugas dengan harapan
membantu para siswa memahami materi di luar jam kelas. Secara umum, tujuan guru
memberikan PR/tugas kurang-lebih seperti ini:
1.
Mengevaluasi
materi yang sudah dipelajari di kelas.
2.
Mendorong
murid untuk berlatih mengerjakan soal.
3.
Mendorong
murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.
Di satu sisi, saya juga mengerti
maksud dan tujuan guru itu baik dalam memberikan PR atau tugas, tapi saya
kira ada saatnya PR/tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif bagi para
siswa.
Menyingkapi hal ini, saya pribadi
berpendapat bahwa PR dan tugas itu bisa jadi hal yang positif, dengan
catatan porsinya wajar. Jika ingin memberikan tugas dan PR yang cukup
banyak, sebaiknya guru memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas dan PR
tersebut mengingat kemungkinan siswa mendapat tugas dan PR dari guru mata
pelajaran lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika guru bisa memberikan tugas yang
justru bisa menjadi pemicu siswa untuk menikmati proses belajar itu sendiri,
memberi tantangan yang menarik bagi siswa untuk mencari tau lebih jauh materi
yang mereka pelajari, bukan justru menekan siswa untuk harus belajar.
Di sisi lain, saya juga tau bahwa
tugas seorang pelajar ya memang belajar. Tapi perlu kita sadari juga, bahwa
definisi “belajar” bagi anak-remaja tidak hanya sebatas pada dinding ruang
kelas, PR, atau tugas dari sekolah saja. Saya percaya, ada banyak hal di
luar sana yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa, di luar konteks
akademis, seperti bersosialisasi, membaca, menjenguk orang sakit, ikut kajian dimasjid, berinteraksi lingkungan sosial, dan
sebagainya. Intinya, jangan sampai jumlah/frekuensi tugas yang diberikan
oleh guru bukan memberikan dampak positif, tapi membuat siswa merasa
jenuh, tertekan, dan malah tidak menikmati proses belajar itu sendiri.
2. Pendekatan cara
mengajar yang kurang tepat
Mau tidak mau, kita harus mengakui
bahwa para siswa seringkali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap cara
mengajar guru-gurunya. Sederhananya, ada guru yang dipandang oleh para siswa
sebagai guru yang cara ngajarnya asik, seru, mudah dipahami.
Guru-guru seperti ini seringkali menjadi idola murid-murid bahkan jam
pelajarannya ditunggu-tunggu oleh para siswa. Sementara itu, di sisi lain ada
juga guru yang dipandang siswa sebagai guru yang cara mengajarnya membosankan,
bikin ngantuk, materinya tidak menarik, dll. Dua bentuk polarisasi dari cara
pandang siswa terhadap gurunya ini memang seringkali ada, bahkan bersifat
kolektif. Kalo ada beberapa anak yang menganggap gurunya ini membosankan, masa
satu kelas akan kompak menganggap guru tsb membosankan.
Menjadi seorang guru, memang
bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar,
mendidik, dan membagikan ilmunya… ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang
ngelamun, ada yang malah gambar-gambar, dan sebagainya. Hal ini tentu membuat
guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk mengambil
jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya
proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin
merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain, saya kira
kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena
sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang
siswa terhadap guru-gurunya. Udah gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah
sudah.
Saya rasa, ada banyak cara yang bisa
digunakan oleh guru untuk bisa “menguasai kelas”, membawa suasana belajar yang
menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang sehat bagi para siswa.
Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang, sampai saat
ini pun saya masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar yang
positif di kelas. Tapi, sedikit-banyak saya hanya ingin berbagi beberapa tips
yang mungkin bisa jadi masukan bagi guru-guru lain. Moga-moga tips yang saya
bagikan ini bisa berguna bagi rekan-rekan guru yang lain.
A. Bangun interaksi dan hubungan emosional dengan
para murid di luar kelas
Saat menjadi seorang guru, saya
selalu berusaha untuk tidak membatasi interaksi saya kepada murid dalam lingkup
akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan mereka. Dari hanya
sekadar mendengarkan keluhan dan curhatan mereka, makan bersama, atau
bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di waktu luang… semua itu saya
rasa sangat membantu saya untuk membangun nuansa belajar yang positif di kelas.
Dengan membangun hubungan emosional
dengan para murid, saya jadi jauh lebih mudah untuk menguasai kelas,
berinteraksi langsung dengan murid yang saya anggap belum paham, membaca
keinginan mereka, memahami cara mengajar seperti apa yang diharapkan oleh
mereka, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh lebih menghargai saya
ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol
sendiri, atau melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai
usaha saya di kelas. Saya percaya, di sekolah seorang murid memang
perlu memahami pelajaran, sementara seorang guru perlu memahami murid-murid
mereka.
B. Fokus pada bagaimana cara membuat siswa
menikmati proses belajar
Menurut pendapat saya pribadi, tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tapi
yang lebih penting adalah membuat murid-muridnya suka belajar. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi menurut
saya cara pandang seperti ini krusial sekali dengan bagaimana cara guru membawa
materi di kelas.
Dari pengalaman saya menjadi murid,
seorang guru yang berfokus hanya pada konteks “mengajar”, mentransfer ilmu pada
murid-muridnya, membawa misi agar murid-muridnya mampu mengerjakan soal…
seringkali justru kurang berhasil membawa suasana kelas yang positif dan
bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang guru yang fokus untuk
membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang
berbagai contoh nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk
dikuasai, kenapa materi itu menarik dan seru untuk dibahas… guru semacam ini
lebih bisa membangun nuansa kelas yang siap menerima pengajaran, sehingga
proses belajar-mengajar jadi lebih menyenangkan, seru, menarik, tidak
membosankan, dan para siswa jadi lebih termotivasi belajar.
3. Memberi hukuman yang
tidak menyelesaikan masalah.
Menjadi guru memang bukan pekerjaan
yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi
dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas,
memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering
terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dan
sebagainya. Dalam hal ini, saya mengerti jika guru menggunakan metode hukuman
untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus
memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain.
Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa
berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang
diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?
Seorang psikolog klinis
dari Columbia University, Laura Markham, mengatakan bahwa hukuman tidak selalu mampu
mengubah anak didik menjadi lebih baik, terutama untuk jangka panjang.
Sebaliknya, menurut pendapat Laura, hukuman dari pihak otoritas (guru / orangtua)
malah bisa membuat pihak terhukum merasa rendah diri, hilang kepercayaan,
kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak, bahkan
memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir,
hal ini juga bisa jadi relevan dalam konteks hubungan guru dengan murid.
Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi
membuat siswa untuk bersikap antipati terhadap guru, bahkan
membenci mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam konteks ini, saya pribadi
berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi
penerapan “hukuman” sebagai alat kontrol di dalam kelas.
Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk
menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya
kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian
masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu kaki, lari
keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan
tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat “aku tidak akan terlambat” sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya
yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.
4. Sikap antikritik
dan tertutup pada evaluasi
Point terakhir
yang mau saya sampaikan adalah hal yang saya kira perlu kita semua renungkan,
termasuk untuk diri saya sendiri. Menjadi seorang guru terkadang membuat diri
kita selalu berada dalam posisi yang ‘dominan’ di depan kelas. Sehingga tidak
jarang hal ini menumbuhkan sikap antikritik, tertutup pada evaluasi, bahkan
merasa diri paling mengerti “caranya mengajar” karena pengalaman mengajar yang
lama. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua
adalah manusia biasa, yang tentu tidak luput pada kekeliruan. Oleh karena itu,
saya kira peran seorang guru (yang notabene sangatlah penting) juga
perlu diiringi rasa keterbukaan untuk dapat terus mengevaluasi diri dan
terbuka pada kritik.
Saya tau bahwa memang setiap
guru memiliki cara yang unik dalam mengajar. Ada yang pembawaannya
cenderung serius, ada yang sambil bercanda, ada yang cuma duduk di kursi
sepanjang jam pelajaran berlangsung, ada yang kalo ngajar nggak bisa diem,
ada yang lebih suka menjelaskan secara satu arah, ada yang cenderung
mengajak 2–3 orang siswa berinteraksi, ada yang suka mengajak seluruh
kelas berdiskusi, dan sebagainya. Sebetulnya bagi saya, tidak masalah cara
mengajar guru itu seperti apa, selama tujuan proses mengajar itu
tercapai, yaitu siswa dapat memahami materinya dan juga menikmati proses
belajar itu sendiri.
Untuk melahirkan generasi penerus
yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik perlu memiliki sikap
terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini sudah
tepat? Apakah cara kita mengajar mampu membuat siswa paham dengan materi
yang dipelajari dan menikmati proses belajar?
Bagikan angket anonim yang berisi
pertanyaan tentang kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika
setiap pendidik memiliki keterbukaan pada kritik dan saran, maka
kualitas guru di Indonesia akan semakin baik.