Rabu, 30 Agustus 2017

SAHABAT KELUARGA-
 Apa yang akan Anda lakukan jika anak-anak malas, tidak punya keinginan untuk maju, dan keras kepala ketika dinasehati?
Berbagai alasan, permohonan, ancaman, bahkan pertengkaran setiap hari tidak bisa membuat perbedaan dalam tingkah laku mereka. Apapun yang orang tua katakan seolah tidak ada yang masuk dalam hati dan pikiran mereka. Bahkan, semakin kita memberikan mereka dorongan, semakin menjadi pula sikap semau hati mereka. 
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan terlebih dahulu sebelum memotivasi anak, yakni :
1. Anak merupakan ujian bagi orang tua : SABAR
عَجَباً ِلإَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنََّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ فَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهَ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin, sungguh semua urusannya baik baginya, yang demikian itu tidaklah dimiliki seorang pun kecuali hanya orang yang beriman. Jika mendapat kebaikan (kemudian) ia bersyukurmaka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika keburukan menimpanya (kemudian) ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)


.Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu berkata:  “Kami merasakan manisnya kehidupan dunia dengan kesabaranKalau sekiranya sabar itu ada pada salah seorang niscaya ia akan menjadi orang mulia.”.
Introspeksi Diri
Bila anak Anda tidak peduli dengan pelajaran sekolah, tidak tergerak untuk ingin hidup lebih baik, sebaiknya orang tua mengevaluasi pola asuh yang selama ini diterapkan. Misalnya, apakah terlalu sering memaksanya, atau sebaliknya melakukan pembiaran terhadap apa yang dilakukannya, atau apakah sering menyalahkannya terhadap segala sesuatu atau terlalu banyak menuruti apa yang dia inginkan? 
Orang tua harus membuka mata hati, dan mau menyadari kesalahan dalam mendidik anak. Yakinlah, orang tua juga manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan.

Kekompakan Orangtua
Sering terjadi perbedaan sikap atau pola asuh antara ibu dan ayah bisa juga menyebabkan anak malas. Ayah yang terlalu keras pada anak, dan ibu yang terlalu lembut pada anak atau sebaliknya seringkali dimanfaatkan oleh anak untuk “mengadu domba” ayah dan ibunya demi mendapatkan apa yang ia inginkan.
Sudah menjadi satu keharusan bagi orangtua untuk kompak dalam mendidik dan mengasuh anak. Tentukan pola asuh yang disepakati, jika perlu konsultasikan terlebih dahulu pada orang yang ahli di bidang pendidikan anak. Selalu diskusikan segala sesuatunya, dan jangan saling menyalahkan.

Mau Mengakui Kesalahan dan Berbesar Hati
Tidak semua orangtua mau mengakui kesalahan dalam pola asuh mereka. Padahal, sudah jelas aturannya, kalau ingin ada perubahan maka perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri.
Mengakui kesalahan itu bukanlah sesuatu yang salah atau buruk. Melainkan mengajarkan anak bahwa kita sebagai orangtua pun masih harus belajar banyak.
Ingat ngga kita sendiri pernah menjadi anak-anak, mengalami pula masa remaja yang penuh gejolak. Di saat kita merasa frustrasi, merasa jengkel pada orangtua, kita akan berbuat nakal untuk menarik perhatian mereka. Untuk membuat orangtua “sadar” bahwa ada sesuatu yang salah dalam pola mendidik mereka terhadap kita. Kita mengharapkan kata “maaf” dan kesadaran dari orangtua.

Anak Adalah Refleksi Orangtua Mereka
Bagaimanapun, anak adalah cerminan orang tuanya. Anak kita tidak akan menjadi lebih baik dengan tarikan atau segala bentuk pemaksaan kehendak. Tapi mereka akan menjadi lebih baik dengan perhatian yang cukup dan kasih sayang yang tidak memanjakan.

Ambil Langkah Mundur
Saat anak keras kepala, tak mau mendengar nasehat, cobalah untuk mengambil langkah mundur, alias hindarilah pertengkaran. Tenangkan diri Anda sejenak, jika perlu katakan pada anak Anda bahwa Anda membutuhkan waktu sesaat untuk mengontrol diri. Begitupun dengan dia.
Setelah Anda dan anak Anda bisa melanjutkan dengan mencari solusi, gunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang apa yang ia inginkan.

Memberitahukan Harapan dan Pilihan, Bukan Pemaksaan
Setelah Anda mendengarkan apa yang diinginkan anak, kini saatnya Anda mengatakan apa yang Anda harapkan darinya. Misalnya, Anda mengharapkan anak Anda untuk bisa lebih membagi waktu belajar dan bermain secara proporsional. Anda juga bisa mengajaknya mengatur waktu dan konsekuensi terhadap apa yang ia lakukan.
Kalau perlu, buatlah kesepakatan-kesepakatan dengan anak. Semuanya harus dilakukan dengan kerelaan hati, namun Anda pun tetap bisa tegas padanya.
Selain harapan, Anda pun harus bisa memberinya berbagai pilihan “sikap” yang bisa ia ambil. Agar anak-anak pun dapat ikut berpikir tentang konsekuensi dari segala perbuatan dan langkah yang mereka ambil. Misalnya, ketika anak tidak mau mengikuti kelas yang Anda usulkan. Anda bisa memberinya beberapa pilihan beserta resiko dari keputusannya.

Berikan Tanggung jawab Pada Anak
Setelah mendiskusikan harapan-harapan Anda dan anak Anda berikut dengan konsekuensinya, maka kini sudah saatnya Anda untuk keluar dan memberikan anak Anda kesempatan untuk memilih jalannya dan bertanggungjawab atas resiko pilihannya.
Kita orangtua hanya bisa memberikan arahan, memberikan masukan, support, dan nasehat. Tapi, kita tidak bisa memaksakan terlalu banyak. Bukan membiarkan mereka berbuat semaunya, tapi memberikan mereka tanggungjawab dengan sambil terus memantau dan siap untuk membantu mereka di saat mereka salah.

 Yanuar Jatnika
WA Wali Murid Al Falah

Sabtu, 26 Agustus 2017

PEMIMPIN ADALAH CERMINAN BAWAHANNYA

-Sebuah ketetapan Illahi...
Untuk intropeksi diri...



Firman Allah ta’ala :
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan begitulah kami jadikan pemimpin bagi sebagian orang-orang yang dzalim, orang yang dzalim pula, disebabkan kedzaliman  yang telah mereka kerjakan”.

(QS. Al-An’am: 129)


·       ‘Abidatu as-Salmaini berkata kepada Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu :
“Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma, kenapa semua rakyat tunduk dan patuh kepada keduanya?
 Wilayah kekuasaan yang semula lebih sempit dari satu jengkal lalu meluas dalam kekuasaan mereka?
Lalu saat engkau dan Utsman menggantikannya posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua, sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian?
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menjawab,
 “Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu.”


·         Seorang khalifah dari dinasti Bani Umayyah mendengar perkataan buruk rakyatnya tentang khilafah yang dipimpinnya. Karena hal itu, sang khalifah mengundang dan mengumpulkan para tokoh dan orang-orang yang berpengaruh dari rakyatnya.

Dalam pertemuan itu khalifah berkata :

“Wahai rakyatku sekalian! apakah kalian ingin aku menjadi khalifah seperti Abu Bakar dan Umar?. Mereka pun menjawab, “ya”. Kemudian khalifah berkata lagi,

“Jika kalian menginginkan hal itu, maka jadilah kalian seperti rakyatnya Abu bakar dan Umar!

karena Allah Subhanahu wa ta’ala yang maha bijaksana akan memberikan pemimpin pada suatu kaum sesuai dengan amal-amal yang dikerjakannya.

Jika amal mereka buruk, maka pemimpinnya pun akan buruk. Dan jika amal mereka baik, maka pemimpinnya pun akan baik.

(Syarh Riyadh Al-Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin)

Setelah menyampaikan kisah Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan pesan,
“Beginilah dahulu kondisi para khalifah di masa-masa awal umat ini, ketika rakyatnya selalu menegakkan perintah Allâh Azza wa Jalla , takut terhadap siksa-Nya dan senantiasa berharap limpahan pahala-Nya.
Namun ketika rakyat berubah dan mulai menzhalimi diri mereka, maka berubahlah pula sikap dan karakter permimpin-pemimpin mereka, Sebagaimana keadaan kalian, begitulah penguasa kalian.”[20]



Allâh Azza wa Jalla menjadikan Fir’aun sebagai penguasa bagi kaumnya, karena mereka sama seperti Fir’aun. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.
[Az-Zukhruf/43:54]
Al-Ajlauni berkata, “Imam Thabrani t meriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa ia mendengar seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk al-Hajjâj (salah seorang pemimpin yang kejam), lantas ia berkata,
“Janganlah kamu lakukan itu! Kalian diberikan pemimpin seperti ini karena diri kalian sendiri. Kami khawatir, jika al-Hajjâj digulingkan atau meninggal, maka monyet dan babi yang akan menjadi penguasa kalian, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian.[4]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyapaikan sebuah pesan yang sangat menyentuh, seakan belum pernah ada pesan ahli ilmu yang lebih menyentuh dari itu.
 Beliau rahimahullah mengatakan :
“Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah memilih para raja, penguasa dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan perbuatan rakyat tergambar dalam perilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan berbuat zalim pula.
Jika menyebar tindakan penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika rakyat bakhil dan tidak menunaikan hak-hak Allâh Azza wa Jalla yang ada pada mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak-hak rakyat yang ada pada mereka.
Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari orang-orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi (karakter) para penguasa itu tampak jelas pada prilaku rakyatnya.
Jelas bukan hikmah ilahiyah, mengangkat penguasa bagi orang jahat dan buruk perangainya kecuali dari orang yang sama dengan mereka.

Jadi :
Jika ingin pemimpin baik, maka wahai para rakyat... perbaikilah diri kalian sendiri terlebih dahulu, otomatis Allah akan menganugrahkan kepada kalian pemimpin yang baik

Wallahu’alam.
© Abul Hasan Ali Cawas

Selasa, 22 Agustus 2017

Hukum Berkaitan Shalat Id #3

[  HUKUM MENGANGKAT TANGAN SAAT TAKBIR TAMBAHAN DALAM SHALAT ID ]

Pada saat shalat id, sering kita melihat imam atau jamaah ada diantara mereka, mengangkat tangan saat takbir tambahan ada juga yang bertakbir tanpa mengangkat tangan, sehingga terkadang menimbulkan pertanyaan dan kebingungan.

Dalam pembahasan ini kita akan mencoba menelaah masalah tersebut dan mencari pendapat yang paling rajih, paling kuat dengan tetap menghormati dan berlapang dada dengan pendapat lainnya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan (selain takbiratul ihram) dalam shalat ‘id itu termasuk sunnah atau bukan.

1.    Pendapat Pertama  :

Menyatakan disyari’atkannya mengangkat kedua tangan dalam semua  takbir.
Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan salah satu pendapat dari madzhab Maliki.
Dan di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah An-Nawawi, Al-Juzajani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnul Qayyim, Ath-Thahawi, Asy-Syaikh bin Baz, Asy-Syaikh Al-Fauzan, dan juga Al-Lajnah Ad-Da’imah, serta para ulama yang lain.

Dalilnya adalah :

1. Al-Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Al-Baihaqi, dan yang lainnya berdalil dengan hadits dari Ibnu ‘Umar, bahwa dia berkata:

كان رسول الله -صلى الله عليه وسلم- إذا قام إلى الصلاة رفع يديه حتى إذا كانتا حذو منكبيه كبر ، ثم إذا أراد أن يركع رفعهما حتى يكونا حذو منكبيه ، كبر وهما كذلك ، فركع ، ثم إذا أراد أن يرفع صلبه رفعهما حتى يكونا حذو منكبيه، ثم قال سمع الله لمن حمده ، ثم يسجد ، ولا يرفع يديه في السجود ، ويرفعهما في كل ركعة وتكبيرة كبرها قبل الركوع حتى تنقضي صلاته

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya, sampai ketika keduanya sejajar dengan pundaknya, beliau bertakbir. Kemudian ketika hendak ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar pundaknya, dan beliau pun bertakbir dalam keadaan kedua tangannya tetap pada posisi demikian. Kemudian beliau ruku’. Kemudian ketika hendak mengangkat punggungnya (bangkit dari ruku’), beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar kedua pundaknya, kemudian mengatakan : sami’allahu liman hamidah. Kemudian beliau sujud, dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud. Dan beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap rakaat dan takbir yang dilakukan sebelum rukuk sampai selesai shalat beliau.”

[HR. Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud dalam Sunannya, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’, Ibnul Mundzir, Ad-Daraquthni dalam sunannya, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, dan yang lainnya, sanadnya shahih].

Adapun sisi pendalilannya adalah keumuman lafazh:

ويرفعهما في كل ركعة وتكبيرة كبرها قبل الركوع حتى تنقضي صلاته

“Dan beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap rakaat dan takbir yang dilakukan sebelum rukuk sampai selesai shalat beliau.”

Dan takbir-takbir tambahan (pada shalat ‘id) adalah termasuk takbir yang dilakukan sebelum rukuk.

2. Hadits dari shahabat Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ التَّكْبِيرِ

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir.” [HR. Ahmad dan yang lainnya dengan lafazh yang serupa, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ no. 641]

3. Atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu

أن عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- كان يرفع يديه في كل تكبيرة من الصلاة على الجنازة وفي الفطر والأضحى

“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir-takbir shalat jenazah, idul fithri dan idul adha.”

 [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (III/293), Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath (IV/282), atsar ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Al-Irwa’ no. 640].

4. Atsar dari ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau dahulu juga mengangkat kedua tangannya ketika takbir-takbir shalat jenazah.
Adapun sisi pendalilan dari atsar ini adalah bahwa takbir-takbir shalat id diqiyaskan dengan takbir-takbir shalat jenazah.

5. Atsar dari ‘Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah

قال ابن جريج : قلت لعطاء : يرفع الإمام يديه كلما كبر هذه التكبيرة الزيادة في صلاة الفطر؟ قال: نعم ، ويرفع الناس أيضاً.

“Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya kepada ‘Atha’: ‘Apakah seorang imam disyari’atkan untuk mengangakat kedua tangannya pada setiap takbir-takbir tambahan shalat idul fithri?’ ‘Atha’ menjawab: ‘Ya, dan orang-orang (para makmum) juga disyari’atkan untuk mengangkat tangan-tangan mereka.” 

[HR. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf  no. 5699, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (III/293), dan sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim].

Dan ‘Atha’ adalah seorang imam dari kalangan tabi’in yang sangat bersemangat di dalam berpegang teguh dan mengamalkan sunnah, telah berguru dan mengambil ilmu dari sekian shahabat di antaranya Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Az-Zubair, Abu Hurairah, Abu Sa’id, ‘Aisyah, dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum.

Perkataan para ulama terkait pendapat ini:

Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Angkat kedua tanganmu pada setiap takbir.” [Ahkamul ‘Idain, karya Al-Firyabi hal. 182].

Yahya bin Ma’in berkata: “Aku berpendapat (disyari’atkannya) mengangkat kedua tangan pada setiap takbir.” [Su’alaat Ad-Duuri (III/464)].

Ibnu Qudamah berkata: “Jadi kesimpulannya adalah disukai untuk mengangkat kedua tangan.” [Al-Mughni (II/119)].

Ibnul Qayyim berkata: “Ibnu ‘Umar yang beliau adalah seorang yang benar-benar berupaya untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.” [Zaadul Ma’ad (I/443)].

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di mengatakan dalam Manhajus Salikin, ketika menyebutkan tata cara shalat id, beliau mengatakan: “Dan mengangkat kedua tangan pada setiap takbir.”

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata tentang hadits Ibnu ‘Umar tersebut: “Cukuplah hadits tersebut sebagai dalil disyari’atkannya mengangkat kedua tangan.” [At-Ta’liq terhadap kitab Fathul Bari (III/190)].

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan ketika ditanya dengan beberapa pertanyaan, di antaranya tentang hukum mengangkat kedua tangan pada takbir-takbir  tambahan shalat id, beliau menjawab: “Dan adapun mengangkat kedua tangan pada setiap takbir adalah sunnah.”




2.    Pendapat Kedua     :

Menyatakan tidak disyari’atkannya mengangkat kedua tangan ketika takbir.
Ini adalah satu pendapat dari madzhab Maliki, Ibnu Hazm Azh-Zhahiri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Asy-Syaikh Al-Albani, dan yang lainnya.

Dalilnya adalah:

1. Tidak ada di dalam sunnah shahihah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.

Al-Imam Malik berkata: “Tidak disyari’atkan mengangkat kedua tangan sekalipun pada setiap takbir shalat idul fithri dan idul adha kecuali pada takbir yang pertama (yakni takbiratul ihram).”

Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau dahulu juga mengangkat kedua tangannya ketika takbir-takbir shalat jenazah.

Beliau (Asy-Syaikh Al-Albani ) berkata ketika menyanggah pendapat yang menshahihkan atsar tersebut: “Adapun penshahihan sebagian ulama yang mulia terhadap atsar yang menyebutkan diyari’atkannya mengangkat kedua tangan sebagaimana dalam ta’liq beliau terhadap Fathul Bari [III/190] adalah merupakan kesalahan yang nyata sebagaimana hal ini tidak tersamarkan lagi di kalangan orang yang mengetahui bidang ini (ilmu hadits).” [Ahkamul Jana’iz (148)]

Beliau (Asy-Syaikh Al-Albani ) juga berkata: “Tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan karena yang demikian tidak pernah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang diriwayatkan dari ‘Umar dan putranya (Ibnu ‘Umar) tidak menjadaikan amalan ini sebagai amalan yang sunnah.” [Tamamul Minnah (348)]

Beliau (Asy-Syaikh Al-Albani ) juga berkata: “Kami tidak mendapatkan dalam sunnah satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya mengangkat kedua tangan selain dari takbir pertama (takbiratul ihram), dan ini adalah madzhab Al-Hanifiyyah, dan pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaukani, dan Ibnu Hazm juga memilih madzhab ini.” [Ahkamul Jana’iz (148)].

Asy-Syaikh Al-Albani juga berkata ketika mengomentari hadits Wail bin Hujr di atas: “Pembahasan hadits ini sama dengan pembahasan hadits Ibnu ‘Umar sebelumnya, yaitu tentang tidak bisanya hadits tersebut dijadikan dalil disyari’atkannya mengangkat kedua tangan pada setiap takbir-takbir tambahan, wallahu a’lam.” [Irwa’ul Ghalil (III/114)]
Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad berkata: “Aku tidak mendapati satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya mengangkat kedua tangan pada takbir-takbir shalat id.” [Kutub Wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad (V/260)].

KESIMPULAN :

Kedua pendapat mempunyai dalil-dalil yang sama kuat akan tetapi pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat pertama dari jumhur ulama, karena walau tidak ada hadits dari Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- tetapi atsar dan fatwa-fatwa para shahabat dan tabiin cukup dijadikan landasan bahwa mengangkat tangan saat takbir tambahan dalam shalat id, ada dasarnya.

Juga seorang imam yang memimpin shalat di suatu daerah hendaklah memperhatikan keadaan pemahaman umat dalam masalah ini, jangan sampai dia melakukan sesuatu yang dianggap “aneh” dan berbeda dari kebiasaan yang sudah berlaku, tanpa ada penjelasan terlebih dahulu, dalam permasalahan ijtihadiyah.

ALLAHU A’LAM

Referensi :

((Salafybpp))

© Abul Hasan Ali

sditalfalahcawas


Senin, 21 Agustus 2017

Hukum Berkaitan Shalat Id #2

[ BERTEMUNYA SHALAT ID DAN SHALAT JUM’AT DALAM SATU HARI ]

Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, :

“Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom :

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”
(HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini :

1.    Pendapat pertama    : tetap wajib melaksanakan shalat jum’at walaupun sudah melaksanakan shalat id.Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i.

2.    Pendapat kedua       : jatuhnya kewajiban shalat jum’at bagi umat Islam dan mereka melaksanakan shalat dhuhur, kecuali imam dan khotib, tetap wajib bagi mereka mendirikan shalat jum’at. Jadi barang siapa yang sudah shalat id boleh bagi mereka tetap shalat jum’at dan itu lebih utama, tetapi juga boleh mereka tidak hadir jum’atan dan melakukan shalat dhuhur saja.

Ini merupakan salah satu pendapat yang mashur dari Imam Ahmad, juga pendapat An Nakho’i, Asy Sya’bi dan Al Auza’i.
Ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh bin Baz, Syaikh Utsaimin dan Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad.

3.    Pendapat ketiga       : jatuhnya kewajiban shalat jum’at, bagi seluruh umat Islam, baik imam dan makmuum, wajib bagi mereka shalat dhuhur saja.

Ini merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.

4.    Pendapat ke empat   : jatuh kewajiban shalat jum’at dan dhuhur bagi seluruh umat Islam.

Ini merupakan pendapat Atho’ bin Abi Rabbah, Imam Syaukani dan di kuatkan oleh Syaikh Al Albany dalam salah satu pendapatnya.

Masing-masing pendapat mempunyai dalil-dalil yang banyak, tetapi bisa disimpulkan pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang kedua :

Jika bertemu shalat id dan shalat juma’t maka bagi makmum boleh memilih antara tetap menghadiri shalat jum’at dan itu lebih utama, atau boleh bagi dirinya untuk tidak mengerjakan shalat jum’at tetapi cukup shalat dhuhur saja.

Bagi imam, khotib dan muadzin yang punya jadwal tugas tetap wajib bagi mereka mendirikan shalat jum’at.

" قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا
مُجَمِّعون "
. رواه ابو داود . وصححه الالباني في صحيح سنن ابي داود برقم 984
“Telah berkumpul pada hari ini dua hari raya, barang siapa yang sudah shalat id maka telah mencukupi dari shalat jum’at, dan kami tetap mendirikan shalat jum’at”
[HR Abu Dawud 984, di shahihkan Syaikh Al Albani]


ALLAHU A’LAM

referensi :
((hidayatul mustafidl)

© Abul Hasan Ali
€ sditalfalahcawas





Hukum Berkaitan Idul Adha #1

[ LARANGAN POTONG RAMBUT DAN KUKU PADA BULAN DZULHIJJAH ]



مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
”Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berkurban maka janganlah dia menyentuh (memotong) sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya.” 
(HR. Muslim)

1)   Larangan ini berlaku untuk siapa ?
Larangan ini berlaku bagi orang yang akan berkurban, dia tidak boleh memotong kukunya dan rambutnya, bukan pada hewannya, karena dalam hadits tersebut jelas sekali “dhomir” (kata ganti) larangan tersebut kepada orang yang akan berkurban.
2)   Larangan tersebut apakah berlaku khusus bagi orang yang berkurban saja, ataukah juga berlaku kepada keluarganya, istri dan anak-anaknya ?
Larangan ini hanya khusus berlaku khusus bagi orang yang akan berkurban saja dan tidak berlaku bagi keluarganya. Berikut ini Fatwa Lajnah Daimah :
Secara jelas pula, larangan hadits ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum asal ini.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[Diambil dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Ifta’]

3)   Apa yang dimaksud dengan memotong dan rambut dalam larangan diatas ?
Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut di sini adalah dengan cara apapun baik, memotong, memecahkan atau cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya, mencabutnya, membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilarang dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan juga rambut yang ada di badan.
4)   Apa hikmah dibalik larangan tersebut ?
Berikut penjelasan dari syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,
“Jika ada orang yang bertanya, apa hikmah larangan memotong kuku dan rambut, maka kita jawab dengan dua alasan:
Pertama:
Tidak diragukan lagi bahwa larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam pasti mengandung hikmah. Demikian juga perintah terhadap sesuatu adalah hikmah, hal ini cukuplah menjadi keyakinan setiap orang yang beriman (yaitu yakin bahwa setiap perintah dan larangan pasti ada hikmahnya baik yang diketahui ataupun tidak diketahui, pent).
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orangorang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (QS. an-Nur: 51)
Kedua:
Agar manusia di berbagai penjuru dunia mencocoki orang yang berihram haji dan umrah karena orang yang berihram untuk haji dan umrah juga tidak boleh memotong kuku dan rambut.
Ketiga :
hikmah larangan di sini adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya makin banyak dari anggota tubuh ini terbebas dari api neraka.
© Abul Hasan Ali
SDIT AL FALAH CAWAS






Rabu, 09 Agustus 2017

Hukum kurban 6

HUKUM-HUKUM BERKAITAN DENGAN IBADAH KURBAN

BAGIAN 6

[ KRITERIA JAGAL ]

Agar kurban kita bisa sah dan berpahala yang baik disisi Allah ta’ala maka kita harus selektif dalam memilih jagal.
Diantara kriteria jagal yang dituntunkan syariat adalah :

I.                   MUMAYYIZ ( DEWASA DAN BERAKAL SEHAT).


Tidak boleh seorang jagal masih kecil usianya ataupun jagal yang sudah tua renta pikun, karena menyembelih kurban ada aturan dan tata caranya, dikhawatirkan  kalau masih kecil atau tua mereka tidak mampu memahami tata caranya dengan baik.

Karena juga kurban perlu ada niat dan tujuan dalam rangka ibadah dan pendekatan kepada Allah ta’ala.

(إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ) (المائدة: 3)
3.  kecuali yang  kamu –niatkan – menyembelihnya

II.               MUSLIM.


Tidak sah penyembelihan dari orang kafir asli atau orang kafir murtad ataupun orang musrik, termasuk juga orang Islam yang tidak pernah mengerjakan shalat.

Ada pengecualian orang ahli kitab ( Yahudi dan Nashara ) boleh memakan sembelihan mereka :

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ

5.  Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.

III.            MENYEMBELIH DENGAN ATAS NAMA ALLAH.


Dengan membaca “bismillah” tidak boleh menyembelih atas nama selain Allah ta’ala :

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

121.  Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya[501]. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.

IV.             MENYEMBELIH TUJUAN UNTUK MENHARAP PAHALA DARI ALLAH


Bukan untuk mencari pujian atau popularitas :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

3.  Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih untuk  selain Allah, [al maidah 3]

V.                MENYEMBELIH DENGAN MENGALIRKAN DARAH MENGGUNAKAN BENDA TAJAM.

Jika binatang kurban mati bukan dengan cara disembelih, tetapi mati karena disetrum atau dipukul benda tumpul yang menyakiti hewan, maka tidak sah hewan kurbannya, atau disembelih  dengan kuku atau tulang, demikian ini juga terlarang penyembelihannya.


ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكلوا، ما لم يكن سنّاً أو ظفراً
“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang digunakan bukanlah gigi dan kuku. [ HR Bukhori 2488 ].


ALLAHU A’LAM
REFERENSI :

((Ahkamu Udhiyah wa dzakah ))

© Abul Hasan Ali Cawas.