Menabung di bank bisa
terjatuh dalam RIBA
Berikut perincian dan keterangan para ulama
kontemporer tentang hukum menabung di bank dengan aneka niat dan tujuan :
Pertama,
menabung untuk mengambil dan memiliki bunganya.
Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang haram. Untuk itu, mereka sepakat, menabung di bank dengan maksud mengambil dan memanfaatkan bunga untuk kepentingan pribadi, hukumnya terlarang.
Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang haram. Untuk itu, mereka sepakat, menabung di bank dengan maksud mengambil dan memanfaatkan bunga untuk kepentingan pribadi, hukumnya terlarang.
Dalam salah satu keputusan Majma’ Al-Buhuts
Al-Islami, dalam muktamarnya yang kedua, yang diadakan di Kairo, tahun
1965. Dalam keputusan tersebut dinyatakan:
“Bunga dari transaksi utang-piutang, semuanya adalah riba yang haram. Tidak ada bedanya, baik utang untuk kegiatan konsumtif maupun utang untuk kegiatan produktif. Karena dalil Alquran dan sunah, semuanya dengan tegas menyatakan haramnya kedua jenis riba dari utang tersebut.” (Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal. 130)
“Bunga dari transaksi utang-piutang, semuanya adalah riba yang haram. Tidak ada bedanya, baik utang untuk kegiatan konsumtif maupun utang untuk kegiatan produktif. Karena dalil Alquran dan sunah, semuanya dengan tegas menyatakan haramnya kedua jenis riba dari utang tersebut.” (Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal. 130)
Kedua,
menabung di bank tanpa keinginan mengambil bunga.
Para ulama melarang menabung di bank, meskipun tanpa ada keinginan untuk mengambil bunga. Karena menaruh dana di bank, akan membantu bank dalam melancarkan transaksi riba. Hanya saja para ulama membolehkan jika ada kebutuhan yang mendesak. Lajnah Daimah, dalam salah satu fatwanya menyatakan, “Haram menyimpan uang di bank, kecuali karena darurat, dan tanpa mengambil bunga.” (Majmu’ Fatawa Lanjah Daimah, 13:384)
Para ulama melarang menabung di bank, meskipun tanpa ada keinginan untuk mengambil bunga. Karena menaruh dana di bank, akan membantu bank dalam melancarkan transaksi riba. Hanya saja para ulama membolehkan jika ada kebutuhan yang mendesak. Lajnah Daimah, dalam salah satu fatwanya menyatakan, “Haram menyimpan uang di bank, kecuali karena darurat, dan tanpa mengambil bunga.” (Majmu’ Fatawa Lanjah Daimah, 13:384)
Ketiga,
menabung di bank untuk mengamankan uang.
Seberapakah ukuran kebutuhan dan darurat yang membolehkan seseorang menabung di bank?
Seberapakah ukuran kebutuhan dan darurat yang membolehkan seseorang menabung di bank?
Dalam banyak fatwanya, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz
membolehkan menabung di bank untuk mengamankan uang, yang tidak memungkinkan
untuk disimpan di selain bank. Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang
menabung gajinya di bank tanpa mengambil bunga karena khawatir hilang. Beliau
menjawab, “Tidak masalah Anda melakukan demikian, menabung di bank karena
khawatir uang Anda hilang. Dan ini termasuk keadaan mendesak, jika Anda
membutuhkannya maka tidak mengapa, dengan tanpa mengambil bunga.” (Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 19:153)
Hal ini juga menjadi keputusan Majlis Al-Fiqhi
Al-Islami, di bawah Rabithah Al-Alam Al-Islami, dalam konferensi kesembilan di
Mekah. Pada keputusan no. 3, dinyatakan:
“Haram bagi seorang muslim, untuk bertransaksi dengan riba, selama masih memungkinkan untuk bertransaksi dengan bank non riba, baik di dalam maupun luar negeri. Karena tidak ada alasan baginya untuk berinteraksi dengan bank riba sementara sudah ada penggantinya, yaitu bank non riba” (Diambil dari Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal. 140)
“Haram bagi seorang muslim, untuk bertransaksi dengan riba, selama masih memungkinkan untuk bertransaksi dengan bank non riba, baik di dalam maupun luar negeri. Karena tidak ada alasan baginya untuk berinteraksi dengan bank riba sementara sudah ada penggantinya, yaitu bank non riba” (Diambil dari Fawaidul Bunuk Hiyar Riba, Hal. 140)
Keempat,
membuka rekening tabungan agar bisa melakukan transaksi yang dibutuhkan.
Terdapat beberapa keterangan dari para ulama, yang mengisyaratkan bolehnya membuat rekening bank, untuk memanfaatkan jasa bank, semacam transfer gaji atau yang lainnya. Di antaranya:
Terdapat beberapa keterangan dari para ulama, yang mengisyaratkan bolehnya membuat rekening bank, untuk memanfaatkan jasa bank, semacam transfer gaji atau yang lainnya. Di antaranya:
Fatwa ahli hadis abad ini, Muhammad Nasiruddin
Al-Albani rahimahullah. Dalam program Silsilatul Huda
wan Nur, beliau ditanya:
Terkait gaji beberapa pegawai yang diambil melalui bank, apakah gaji pegawai ini haram, karena termasuk harta riba?
Terkait gaji beberapa pegawai yang diambil melalui bank, apakah gaji pegawai ini haram, karena termasuk harta riba?
Beliau memberikan jawaban: Saya tidak menganggap
hal itu (gaji mereka termasuk riba). Karena yang saya tahu, mereka tidak
melakukan hal itu karena keinginan mereka, tapi sebagai aturan yang wajib
mereka ikuti. Yang penting gaji itu sampai kepada pegawai dengan jalan yang
halal. Akan tetapi jika gaji itu harus melalui fase yang tidak halal, seperti
ditabung dulu di bank maka itu di luar tanggung jawab pegawai, namun dia harus
berusaha untuk mengambil uang tersebut sesegera mungkin. (Silsilah Huda wan
Nur, rekaman no.387).
Keterangan beliau ini juga diaminkan oleh Lajnah
Daimah. Pada kasus pertanyaan yang sama, mereka Lajnah menegaskan:
Tidak masalah mengambil gaji yang ditransfer
melalui bank. Karena pegawai ini mengambil gaji sebagai imbalan dari pekerjaan
yang dia lakukan, yang tidak ada kaitannya dengan bank. Akan tetapi dengan
syarat, jangan sampai dia tinggalkan di bank untuk dibungakan, setelah gaji itu
ditransfer ke rekening pegawai. (Fatawa Lajnah, no.16501)
Syarat yang disampaikan Lajnah, bahwa gaji yang
sudah ditransfer harus segera diambil. Ini bertujuan agar nasabah tidak
dianggap mengendapkan dana di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan bank untuk
pengembangan riba. Sebagaimana hal ini juga ditegaskan dalam Kumpulan Fatwa
Syabakah Islamiyah. Dalam salah satu fatwanya dinyatakan:
Bahwa transfer gaji melalui bank, meskipun bukan
untuk tujuan membungakan uang, tetapi dana tersebut akan dimanfaatkan bank
untuk transaksi mereka yang penuh dengan riba maka hukumnya tidak
diperbolehkan, karena termasuk membantu orang lain untuk maksiat. (Fatwa
Syabakah Islamiyah, no. 115367)
Kelima,
hukum menabung dengan tujuan mengambil bunga untuk disedekahkan.
Pemahaman semacam ini sama halnya dengan orang yang mencuri dengan tujuan untuk bersedekah. Padahal Allah Ta’ala hanyalah menerima amal yang baik dari hamba.
Pemahaman semacam ini sama halnya dengan orang yang mencuri dengan tujuan untuk bersedekah. Padahal Allah Ta’ala hanyalah menerima amal yang baik dari hamba.
Allah berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya
Allah hanya menerima amal dari orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Maidah: 27).
Sementara sedekah dengan cara yang haram, bukanlah termasuk amal orang yang
bertaqwa. Ibnu Sa’di mengatakan:
Pendapat yang paling kuat tentang makna ‘orang yang bertaqwa‘ di ayat ini adalah orang yang bertaqwa kepada Allah ketika melakukan amal tersebut. Artinya, dia beramal dengan ikhlas mengharap wajah Allah, dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir As-Sa’di, Hal. 228)
Pendapat yang paling kuat tentang makna ‘orang yang bertaqwa‘ di ayat ini adalah orang yang bertaqwa kepada Allah ketika melakukan amal tersebut. Artinya, dia beramal dengan ikhlas mengharap wajah Allah, dan mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir As-Sa’di, Hal. 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Allah
tidak menerima shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sedekah dari
hasil ghulul.” (HR. Muslim no. 224)
Makna ghulul pada asalnya adalah
harta rampasan perang yang dicuri sebelum dibagikan. Kemudian makna ini
mengalami perluasan menjadi harta khianat, sehingga mencakup semua harta yang diperoleh
dengan cara haram. (Lihat Syarh Nawawi untuk shahih Muslim, 3:103)
Fatwa terkait hal ini adalah keterangan Lajnah
Quthaul Ifta’ Kuwait. Komite ulama Kuwait ini memberikan jawaban yang tegas:
“Sesungguhnya menyimpan uang di bank, dengan maksud
untuk mendapatkan bunga (riba), dalam rangka untuk disedekahkan di jalan
kebaikan, hukumnya terlarang. Lebih-lebih jika dijadikan sebagai gaji pegawai.”
(Fatawa Quthaul Ifta’ Kuwait, no. 815)
Konsultasisyariah
SDS IT ALFALAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar