-SAHABAT KELUARGA AL
FALAH–
Pertandingan futsal digelar di sebuah sekolah beberapa
tahun lalu. Pesertanya cukup banyak, 26 tim. Tim-tim itu dibagi menjadi 3
kategori sesuai usia peserta—tingkat TK satu kategori, tingkat SD dua kategori.
Walaupun tak suka sepakbola atau futsal, saya menikmati pertandingan demi
pertandingan yang berlangsung.
Hal yang paling mengesankan saya di pertandingan itu
adalah kemenangan yang diraih oleh sebuah tim SD di salah satu kategori. Mereka
tim yang amat tangguh. Sebabnya, mereka tak punya lapangan sendiri, namun bisa
meraih juara 1!
Padahal
lawan-lawan mereka cukup berat, beberapa di antaranya mempunyai fasilitas
lengkap olahraga di sekolah masing-masing.
Bangga rasanya melihat anak-anak yang sederhana ini
meraih kemenangan yang gemilang. Pelatih mereka bercerita bahwa untuk latihan,
kadang mereka harus berpatungan uang menyewa lapangan. Yang terus-menerus
dipompa adalah semangat anak-anak itu. Begitulah, semangat itulah—bukan
fasilitas—yang menjadi kunci utama kemenangan mereka.
Antusiasme anak-anak yang memenangkan pertandingan itu
tak mungkin muncul kalau mereka tidak menyaksikan suatu teladan.
Dalam hal ini, yang menjadi modelnya adalah sang guru,
sang pelatih.
Sang Pelatih, sang guru
- yang selalu mendampingi siswa-siswinya,
- selalu disiplin dalam mengajar,
- semangat dan disiplin dalam setiap latihan,
- datang dalam keadaan gembira,
- tidak bermalas-malasan,
- jarang terlambat apalagi absent dan bolos latihan
juga meyakini bahwa mereka bisa menjadi pemenang,
menjadi ilham terbesar bagi anak-anak itu. Semangat hidup pun menular,
keyakinan untuk menjadi juara melahirkan niat dan upaya memberikan yang
terbaik.
Yah..KETELADANAN
KUNCI SUKSES PENDIDIKAN.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
21. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Metode
pendidikan Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam- yang paling sukses.
Beliau
mendidik muridnya para shahabat untuk beraqidah yang lurus dan berhasil dalam
pendidikannya, karena Rasulullah memberi keteladanan, aqidah beliau yang paling lurus.
Beliau
mendidik muridnya untuk rajin ibadah kepada Allah ta’ala dan berhasil, karena
Rasulullah memberi keteladanan dalam ibadah.
Beliau
mendidik muridnya untuk berakhlak mulia dan berhasil karena beliau memberi
teladan dengan akhlak yang paling mulia.
Beliau
mendidik muridnya untuk menghafal Al Qur’an, dan berhasil murid beliau, para
shahabat menjadi huffazh Al Qur’an, karena Rasulullah memberi teladan dengan
rajin menghafal Al Qur’an pula.
Kenapa
pada jaman ini, pendidikan banyak yang kurang berhasil, baik pendidikan in formal
di rumah maupun pendidikan formal di sekolah.
Inilah
jawabannya : karena KRISIS KETELADANAN
Baik
dari guru maupun orang tua.
Anak-anak lebih mudah dimotivasi memberikan yang
terbaik dalam berbagai hal, tidak seperti orang dewasa yang cenderung
mempertimbangkan keuntungan-keuntungan tertentu. Orang dewasa lebih sering akan
berpikir ulang bila upaya ekstranya dalam mengerjakan suatu hal tidak mendapat
imbalan lebih.
Antusiasme anak-anak itu mengingatkan saya pada
kebenaran pepatah lama: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Bila
mereka merasakan antusiasme dalam sebuah kegiatan pembelajaran—yang bagi mereka
menarik, menyenangkan, atau menantang—anak-anak akan bersemangat melakukan sesuatu
yang melampaui target yang dikehendaki gurunya.
Psikolog Jerman William Stern dalam Soetopo (1982)
menyatakan bahwa perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh hereditas
(penurunan sifat genetik dari orang tua) dan lingkungan di mana ia berada.
Kalau kita melihat di sekeliling kita ada anak-anak yang kurang antusias
belajar, enggan ke sekolah, yang perlu dicek adalah lingkungan di mana ia
berada, baik sekolah maupun keluarganya.
Di sekolah, apakah anak-anak bertemu dengan guru yang
inspiratif, seperti pelatih futsal yang saya ceritakan di muka? Di beberapa
sekolah, saya masih mendengar, guru banyak yang suka—dan tampaknya enggan
meninggalkan kebiasaan—berceramah berlama-lama. Siswa kemudian mengantuk dan
bosan di kelas, tapi mereka dimarahi, jika mereka tidak memerhatikan gurunya.
Begitu pun di rumah. Apakah orang tua lebih sibuk
dengan berbagai tuntutan pekerjaan, dan karenanya kemudian mengesampingkan
kebersamaan dengan keluarga dan anak?
Saya pernah membaca tentang seorang anak yang mendapat
kado istimewa dari ayahnya suatu malam.
Kado itu hanya berupa kertas kecil, bertuliskan janji
sang ayah kepadanya, akan memberikan waktu sehari sejam, . Ya, 365 jam kebersamaan.
Sang ayah memang sangat sibuk, kebersamaan mereka satu
jam sehari adalah pemberian terbaiknya bagi si anak. Jam demi jam yang mereka
lewati bersama di kemudian hari menyadarkan anak itu akan pentingnya
kebersamaan dan berkomunikasi.
Saat anak itu dewasa dan menjadi orang yang hebat,
ia menyatakan bahwa 365 jam dalam setahun yang diberikan oleh ayahnya adalah
pemberian yang paling berarti untuk dirinya.
Anak-anak lebih menyukai kata-kata “Mari kita
menggambar bunga!” daripada “Gambarlah sebuah bunga!”
Keteladanan yang dilandasi kasih sayang pun pada
akhirnya menjadi bekal penting bagi seorang anak untuk menapaki kehidupan,
mengenali bakat yang ada pada dirinya, bahkan mengenal dunia.
Kritikus
Inggris John Ruskin berkata: “Berikanlah kasih kepada seorang anak, dan engkau
akan memperoleh kasih itu kembali.”
Repost : WA wali murid AL FALAH CAWAS.
Sumber :
Sahabat pendidikan Kemendikbud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar