Hukum
Sinetron, Sandiwara atau Film Islamy :
Kesimpulannya
: Hukum sandiwara Islamy tidak diperbolehkan karena hal-hal berikut ini :
1.
Menyia nyiakan
waktu.
2. Ada wanita tabarruj (pamer kecantikan aurat).
3. Music dan nyanyian.
4. Dusta.
5. Pemikiran menyimpang.
6. Berasal dari ajaran orang Kafir.
Berikut Fatwa-Fatwa
Ulama :
1.
Syaikh
Shalih Fauzan -hafizhahullah ta’ala-
Pertanyaan : bagaimana hukum menonton sinetron ?
Jawab:
Wajib bagi seorang muslim untuk menjaga waktunya dengan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, karena dia bertanggung jawab dengan waktu yang dia habiskan. Bagaimana dia habiskan waktu tersebut?
Wajib bagi seorang muslim untuk menjaga waktunya dengan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya, karena dia bertanggung jawab dengan waktu yang dia habiskan. Bagaimana dia habiskan waktu tersebut?
Allah ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ
Apakah
Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang
yang mau berfikir (Faatir: 37)
Dan
di dalam hadits (riwayat At Tirmidzi), seseorang akan ditanya tentang
kehidupannya dan waktu yang dia habiskan.
Menonton
sinetron menghabiskan waktu, sehingga tidak sepantasnya seorang muslim
menyibukkan diri menontonnya.
Apabila
di dalam sinetron tersebut terdapat perkara-perkara yang haram, maka
menontonnya pun haram seperti: wanita yang berhias dan bertabarruj (tidak
berhijab, menampakkan kecantikannya di hadapan selain mahram –pent), musik dan
nyanyian, dan juga sinetron yang mengandung ajaran/pemikiran yang rusak, yang
jauh dari tuntunan agama dan akhlak yang mulia. Begitu juga sinetron yang
menampilkan perilaku yang tidak tahu malu dan merusak akhlak. Sinetron semacam
ini tidak boleh ditonton.
(Diterjemahkan dari Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3
nomor 516 untuk blog https://ulamasunnah.wordpress.com)
Tanya : Bagaimana hukumnya
sandiwara (sinetron, film, red) ?
Jawab
: Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:
Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta’ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,’Telah bersabda Rasulullah, “Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. ” [Dikeluarkan Imam At Tirmidzi (2417) dan dia menshahihkannya]
Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Ta’ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,’Telah bersabda Rasulullah, “Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa dia kerahkan. ” [Dikeluarkan Imam At Tirmidzi (2417) dan dia menshahihkannya]
Umumnya
sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan
menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa.
Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari
Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman
yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda :
“Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.”[Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315).]
“Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.”[Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315).]
Mengiringi
hadits ini Syaikh Islam berkata, ‘Dan sungguh Ibnu Mas’ud berkata,
“Sesungguhnya
dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda.”
Adapun
apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan
atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang
menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar’i
yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.[Majmu Fatawa(32/256)]
(Dinukil
dari Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah hal 84-93, Syaikh Dr
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
2. Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas dalam Kitab : Iqafun Nabil ‘ala
Hukmit-Tamtsil
Pembuatan film atau sinetron, tidak lepas dari dua kondisi. Pertama.
Sinetron yang bersifat fiktif atau khayalan belaka. Kedua. Berkisah tentang
peristiwa nyata yang telah terjadi dengan melibatkan sejumlah orang.
Aktualisasi dua jenis cerita ini hukumnya haram dan tidak diperbolehkan
oleh syari’at, karena mengandung kedustaan. Di antara kedustaan yang
diperlihatkan sinetron adalah :
• Menamakan pemainnya dengan nama yang lain.
• Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya. Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
• Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan dan khayalannya.
• Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat, orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
• Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih, misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat, yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
• Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya. Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
• Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan dan khayalannya.
• Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat, orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
• Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih, misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat, yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
Untuk peran pertama, bila memang tokohnya benar-benar orang-orang
shalih, akan menunjukkan tazkiyah (mensucikan diri). Sedangkan peran yang kedua
(sebagai orang jahat), apabila memang orangnya begitu, berarti telah membuka
kedoknya sendiri sebagai pelaku maksiat di hadapan orang banyak.
Jenis-jenis kedustaan sebagaimana tersebut di atas sulit dilepaskan dari
sinetron-sinetron, baik yang bernuansa religi, ataupun lainnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ
خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ: (منها) وَإِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ
“Empat sifat, apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi
seorang munafik. Barangsiapa terdapat satu sifat dari sifat-sifat itu, maka
pada dirinya terdapat satu sifat dari sifat-sifat munafik: (di antaranya), jika
berkata ia berdusta”. [HR al Bukhari dan Muslim].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar