HUKUM
MAKAN MAKANAN
ACARA
YANG TIDAK SESUAI SYARIAT
Hukum makan makanan dalam
acara-acara yang tidak sesuai syariat, seperti acara mauludan, acara tahlilan,
yasinan dan yang lainnya, terbagi menjadi 3 :
1. Jika seseorang
makan makanan tersebut dan hadir dalam acara tersebut.
Maka hukumnya TIDAK BOLEH, karena
termasuk di dalam bentuk dukungan dalam acara tersebut, sedangkan Allah ta’ala
melarang seseorang mendukung perbuatan dosa dan permusuhan.
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.
[Al
Maidah :2 ]
2. Jika makanan
tersebut diantar ke rumah kita, tapi terdapat unsur kesyirikan di dalam makanan
tersebut.
Seperti jika makanan tersebut
terdapat daging ayam, atau kambing atau sapi, yang disembelih diperuntukkan
kepada selain Allah ta’ala, seperti ayam disembelih dikorbankan untuk “danyang”
untuk “yang Mbau Rekso” dan lain-lain.
Atau makanan tersebut yang
menyembelih adalah dukun, atau orang-orang yang terkenal sebagai tokoh
kesyirikan. Maka hukumnya juga TIDAK BOLEH
untuk memakannya, dagingnya dan makanan lain yang terkena kuahnya.
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah,
[Al Maidah : 3]
3. Jika makanan
tersebut diantar ke rumah kita, dan tidak unsur kesyirikan di atas.
Hukumnya
BOLEH untuk memakannya.
Diriwayatkan
bahwa Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu menerima hadiah dari orang yang
merayakan hari raya Nayruz.[3] Aisyah Radhiyallahu anhuma juga
ditanya tentang hukum menerima hadiah dari orang Mâjusi saat mereka berhari
raya, maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:
أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ
الْيَوْمِ فَلَا تَأْكُلُوا، وَلَكِنْ كُلُوا مِنْ أَشْجَارِهِمْ
Adapun
yang disembelih untuk acara itu, jangan kalian makan. Makanlah makanan selain
sembelihan (sayur, buah dan semacamnya) [HR.
Ibnu Abi Syaibah no. 24.371][4]
Setelah
menukil atsar ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
“Semua
atsar ini menunjukkan bahwa ‘ied (hari raya) tidak berpengaruh
pada bolehnya menerima hadiah dari mereka. Jadi tidak ada bedanya antara
menerima hadiah dari mereka, saat ‘ied maupun di luar ‘ied, karena hal itu
tidak mengandung unsur mendukung syi’ar kekafiran mereka.”
Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
(Muhaddits kota Medinah dan pengajar di Masjid Nabawy saat ini) pernah ditanya:
هل يجوز أكل الذبيحة التي تقدم بمناسبة
بدعية مثل المولد النبوي أو في العزاء؟
“Bolehkah
memakan sembelihan yang dihidangkan pada acara bid’ah seperti maulud nabi atau
ketika ta’ziyah?”
Beliau
menjawab:
يجوز أكل الذبائح التي تقدم في مناسبات
بدعية، ومن كانت بدعته مكفرة لا تؤكل ذبيحته.
“Boleh memakan sembelihan yang dihidangkan untuk
acara-acara bid’ah, dan barangsiapa yang jenis bid’ahnya adalah jenis yang
mengkafirkan maka tidak boleh dimakan.”
(Pertanyaan ini diajukan kepada beliau di
Masjid Nabawy ketika mensyarh Sunan Abi Dawud, Kitab Adh-Dhahaya, Bab
Fi An-Nahy an tushbara Al-Baha’im wa Ar-rifq bi Adz-dzabihah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar