Jumat, 06 April 2018

ULAMA SUNNAH TIDAK BEBAS DARI KESALAHAN

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Sepeninggal Rasulullah -shalallahu 'alaihi wa sallam- tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim sunnah; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya selama dia adalah ulama sunnah dan berpegang dengan manhaj Ahlus Sunnah. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir,  terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki.
Alangkah bagusnya perkataan Imam Malik, “Semua orang bisa diambil atau ditolak ucapannya kecuali pemilik kubur ini” Beliau mengisyaratkan ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”
Para salaf yang lain berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)”
Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48).
Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [10]
Lihat Siyar A’lam An-Nubala V/271
Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya” [15]
Lihat kitab Al-Qawa’id hal.3

Barang siapa yang meyakini bahwa ulama makshum, bebas dosa, dan tidak boleh ada kesalahan, maka ini adalah manhaj Syiah dan Shufiyah, bukan Manhaj Ahlis Sunnah Salafiyah.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar