ULAMA SUNNAH TIDAK
BEBAS DARI KESALAHAN
Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Sepeninggal Rasulullah -shalallahu 'alaihi wa sallam- tidak ada seorangpun yang
ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim sunnah; dia pun tidak
akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah
kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya selama dia adalah ulama
sunnah dan berpegang dengan manhaj Ahlus Sunnah. Dan tidak boleh kesalahannya
itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir, terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang
sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki.
Alangkah
bagusnya perkataan Imam Malik, “Semua orang bisa diambil atau ditolak ucapannya kecuali pemilik kubur ini” Beliau
mengisyaratkan ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”
Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”
Para salaf yang lain berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas
dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia
adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya
maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)”
Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil
Barr (II/48).
Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar,
apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari
kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang
shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita
tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan
kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya.
Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [10]
Lihat Siyar A’lam An-Nubala V/271
Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan
memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang
yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang
ada padanya” [15]
Lihat kitab Al-Qawa’id hal.3
Barang siapa yang meyakini bahwa ulama makshum, bebas dosa, dan tidak boleh ada kesalahan, maka ini adalah manhaj Syiah dan Shufiyah, bukan Manhaj Ahlis Sunnah Salafiyah.
Barang siapa yang meyakini bahwa ulama makshum, bebas dosa, dan tidak boleh ada kesalahan, maka ini adalah manhaj Syiah dan Shufiyah, bukan Manhaj Ahlis Sunnah Salafiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar