A.
Al-Qadariah, Majusi Umat ini
Siapakah yang tak mengenal Majusi? Aliran penyembah api
atau lazim disebut Zoroaster ini, punya dualisme keyakinan tentang sumber
kebaikan dan sumber kejahatan. Di umat ini, juga telah muncul aliran serupa.
Dialah al-Qadariyyah.
Siapakah Mereka?
Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Al-Qadariyyah adalah orang-orang yang ingkar terhadap takdir. Mereka
mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang terjadi di alam semesta ini bukan karena
takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’la. Akan
tetapi semua terjadi dikarenakan perbuatan hamba, tanpa ada takdir sebelumnya
dari Allah subhanahu wa ta’la.’
Mereka ingkar terhadap rukun iman yang keenam.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh-dhallah, hlm. 29)
Kapan Munculnya dan Siapa Pelopornya?
Kelompok ingkar takdir ini
belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
juga di zaman al-Khulafa ar-Rasyidin. Mereka baru muncul di pertengahan abad
pertama hijriyyah di akhir masa generasi terbaik umat ini (para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). tetapi kemunculannya sudah diperkirakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk. Dan jika meninggal dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 338 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Pelopornya adalah Ma’bad
bin Khalid al-Juhani, salah seorang penduduk kota Bashrah. Al-Imam Muslim bin
al-Hajjaj rahimahullahmeriwayatkan
dalam Shahih-nya hadits no. 1 dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Yang pertama
kali memelopori (menyebarkan) paham ingkar takdir di Bashrah adalah Ma’bad
al-Juhani.”
Dia menimba paham sesat
ini dari Susan, seorang Nasrani yang masuk Islam namun kemudian kembali kepada
agama Nasrani. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Auza’i rahimahullah, “Yang pertama kali mencetuskan paham ingkar takdir
adalah Susan, seorang penduduk Irak. Ia tadinya seorang Nasrani lalu masuk
Islam, kemudian kembali kepada agamanya semula. Ma’bad al-Juhani menimba (paham
sesat ini) darinya, kemudian Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi menimbanya dari
Ma’bad.” (Syarh
Ushul I’tiqad Ahlis Sunnati wal Jama’ah, karya
al-Imam al-Lalika-i rahimahullah, 4/827)
Bagaimanakah Ideologi Mereka?
Al-Qadariyyah di awal kemunculannya, menampakkan
ideologi:
لاَ
قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ
Yakni tidak ada takdir dan
semua perkara yang ada merupakan sesuatu yang baru, di luar takdir dan ilmu
Allah subhanahu
wa ta’la(terjadi seketika, red.). Allah subhanahu wa ta’la baru
mengetahuinya setelah perkara itu terjadi. (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
bin al-Hajjaj, karya al-Imam
an-Nawawi rahimahullah, 1/138)
Ketika bantahan dan pengingkaran as-Salafush Shalih
terhadap paham sesat ini demikian gencar, sedikit demi sedikit ideologi ini
sirna. Namun karena tidak sedikit dari ahlul ilmi dan ahli ibadah yang hanyut
bersama mereka, ada yang justru bergeser kepada ideologi bid’ah lainnya.
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ideologi ini telah sirna, dan kami tidak
mengetahui salah seorang dari muta’akhirin (yang datang belakangan, red.) yang berpaham dengannya. Adapun Al-Qadariyyah di hari
ini, mereka semua sepakat bahwa Allah subhanahu wa ta’la Maha
Mengetahui segala perbuatan hamba sebelum terjadi, namun mereka menyelisihi
As-Salafush Shalih dengan menyatakan bahwa perbuatan hamba adalah hasil
kemampuan dan ciptaan hamba itu sendiri.” (Fathul Bari, karya
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, 1/145)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika paham al-Qadariyyah telah merebak
serta tidak sedikit dari ahlul ilmi dan ibadah yang hanyut bersama mereka,
akhirnya mayoritas mereka menetapkan adanya ilmu Allah subhanahu wa ta’la tentang segala sesuatu sebelum terjadinya. Namun
mereka mengingkari keumuman masyi’ah (kehendak Allah subhanahu wa ta’la) dan penciptaan.”[1](Kitab al-Iman, hlm. 331)
Mengapa Disebut “Majusi Umat Ini”?
Sebutan ini sebenarnya
berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam sabda beliau:
الْقَدَرِيَّةُ
مَجُوْسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا
فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka sakit, maka jangan
dijenguk. Dan jika meninggal dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 338 dan dihasankan oleh asy-Syaikh
al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Juga sabda beliau:
إِنَّ
لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوْسًا وَإِنَّ مَجُوْسَ أُمَّتِيْ يَقُوْلُوْنَ: لاَ قَدَر،
فَإِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Sesungguhnya tiap-tiap umat ada Majusinya, dan Majusi umatku
adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir. Jika mereka sakit, maka
jangan dijenguk, dan jika meninggal dunia jangan disaksikan jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 339 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam Zhilalul
Jannah)
Al-Imam
al-Khaththabi rahimahullah berkata,
“Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menyamakan
al-Qadariyyah dengan Majusi, karena ideologi mereka serupa dengan ideologi
orang-orang Majusi dalam hal (dua sumber kehidupan): cahaya dan kegelapan.
Mereka (Majusi) menyatakan bahwa kebaikan bersumber dari cahaya sedangkan
kejelekan bersumber dari kegelapan, sehingga mereka merupakan orang-orang yang
mempunyai dualisme keyakinan.
Demikian pula
al-Qadariyyah, mereka menyandarkan kebaikan kepada Allah subhanahu wa ta’la dan kejelekan kepada selain Allah subhanahu wa ta’la. Padahal Allah subhanahu wa ta’la adalah
Pencipta kebaikan dan kejelekan itu, tidak akan terjadi sedikit pun dari
kebaikan ataupun kejelekan kecuali dengan kehendak-Nya. Keduanya disandarkan
kepada Allah subhanahu wa ta’la dari
sisi penciptaan dan disandarkan kepada para pelaku yaitu hamba-hamba-Nya dari
sisi yang mengerjakan dan mengupayakannya. Wallahu a’lam.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 1/138—139)
Sikap Para Ulama dan Umara Terhadap Mereka
Al-Imam al-Lalika-i rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu az-Zubair, ia berkata,
(Suatu hari) kami thawaf bersama Thawus rahimahullah (salah
seorang tabi’in, murid Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.)
dan kami pun melewati Ma’bad al-Juhani. Maka disampaikanlah kepada Thawus bahwa
ini adalah Ma’bad yang mengatakan tidak ada takdir. Thawus pun kemudian berkata
kepada Ma’bad, “Engkaukah orang yang berdusta atas nama Allah dengan apa yang
kamu tidak tahu?!”
Ma’bad berkata, “Itu tuduhan kepadaku belaka.”
Abu az-Zubair berkata, “Akhirnya kami mengunjungi Ibnu
‘Abbas, kemudian Thawus berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abbas (yakni Ibnu Abbas,
pen.), ada orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir.”
Ibnu Abbas berkata, “Tunjukkan kepadaku sebagian dari
mereka.”
Thawus pun bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan?”
Beliau menjawab, “Aku akan
masukkan tanganku pada kepalanya, lalu aku patahkan lehernya.” (Syarh Ushul I’tiqad
Ahlissunnati wal Jama’ah, 4/787)
Al-Imam Abu Bakr Muhammad
bin al-Husain al-Ajurri rahimahullahmeriwayatkan
dari jalan ‘Amr bin Muhajir, ia berkata, “Telah sampai informasi kepada
Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahbahwa Ghailan
bin Muslim mengatakan, ‘Takdir itu tidak ada’. Maka beliau mengutus seseorang
untuk memanggil Ghailan. (Setelah datang), ia dibiarkan (tidak ditemui) selama
beberapa hari. Kemudian setelah itu dibawa menghadap beliau. ‘Umar bin Abdul
‘Aziz berkata, ‘Ghailan, apa ini yang aku dengar tentang dirimu?!’
‘Amr bin Muhajir
memberikan isyarat agar ia tidak menjawab, namun Ghailan tetap menjawabnya,
‘Ya, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:
1.
هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ
حِينٞ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡٔٗا مَّذۡكُورًا ١ إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢ إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ
إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا ٣
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
dia ketika itu belum berupa sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), oleh karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus,
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 1—3)[2]
‘Umar bin Abdul
‘Aziz rahimahullah berkata, ‘Bacalah akhir dari surat tersebut!’
2.
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن
يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ يُدۡخِلُ مَن يَشَآءُ فِي
رَحۡمَتِهِۦۚ وَٱلظَّٰلِمِينَ أَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمَۢا ٣١
“Dan kalian tidak mampu
(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya
ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang yang zalim, Ia sediakan azab yang
pedih.” (al-Insan: 30—31)
Kemudian beliau berkata, ‘Bagaimana pendapatmu, wahai
Ghailan?’
Ghailan berkata, ‘Sungguh sebelumnya aku buta lalu engkau
menerangiku, aku tuli lalu engkau membuka pendengaranku, dan aku sesat lalu
engkau menunjukiku.’
Maka ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, ‘Ya Allah, semoga
hamba-Mu Ghailan jujur. Kalau tidak, maka saliblah ia!’.....Maka Ghailan pun
tidak lagi berkata tentang takdir, sehingga ia diangkat oleh ‘Umar bin Abdul
‘Aziz sebagai penanggung jawab kantor pembayaran kas khilafah di Damaskus. Ketika
‘Umar bin Abdul ‘Aziz wafat dan khilafah dipegang Hisyam bin Abdul Malik, ia
kembali berbicara tentang tidak adanya takdir. Maka akhirnya Hisyam mengirim
utusan untuk memotong tangannya. Ketika tangannya (setelah dipotong, pen.) sedang dikerumuni lalat, lewatlah seorang laki-laki
seraya berkata kepadanya, ‘Wahai Ghailan, ini adalah qadha dan qadar.’ Maka ia
menjawab, ‘Engkau berdusta, demi Allah ini bukan qadha dan bukan pula qadar.’
Maka Hisyam mengirim utusan kembali untuk menyalib Ghailan.” (asy-Syari’ah, hlm. 208—209)
Demikianlah sikap tegas
‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik rahimahumallah di dalam menindak penyeru bid’ah dari kalangan
al-Qadariyyah. Sikap keduanya ini didukung oleh para ulama sebagaimana
diriwayatkan al-Lalika-i dari jalan Ibrahim bin Abu Ablah. Ia berkata, “Suatu
saat aku berada di sisi ‘Ubadah bin Nusai, lalu datanglah seseorang seraya
berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin (Hisyam) telah memotong tangan dan kaki
Ghailan serta menyalibnya. Bagaimana pendapatmu?’
‘Ubadah berkata,
‘Boleh-boleh saja. Demi Allah, tindakannya tepat dan mencocoki sunnah. Sungguh
aku akan menulis surat kepadanya dan aku nyatakan bahwa pendapatnya benar-benar
baik’.” (Syarh
Ushul I’tiqad Ahlis Sunnati wal Jama’ah,
4/793)
sumber kesesatan mereka :
- tidak mau kembali kepada pemahaman shahabat nabi, para salafus shalih, ulama kibar umat Islam, tetapi bangga dan mendahulukan dengan pendapatnya sendiri.
- mari kita kembalikan urusan agama kita kepada ulama kibar agar tidak sesat seperti mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar