Menghadirkan Energi Ibadah Dalam Keluarga :
SAHABAT KELUARGA-
Ada sebuah kisah nyata dalam keluarga, diceritakan
seorang ayah : pekerjaan yang banyak
dan harus segera diselesaikan, membuat saya harus keluar kota beberapa hari.
Kemudian pulang malam, tidur malam, sehingga bangun tidur tidak bisa lebih pagi
dari biasanya.
Yang membuat sedih, saya jarang bercakap dan bermain dengan anak-anak.
Pagi itu saya bangun terlalu siang. Itu saja yang membangunkan Nera, ”Ayah,
bangun. Disuruh ibu salat Subuh dan antarkan Kakak Mafi dan Nera ke sekolah!”
Saya segera bangun mengambil air wudhu, salat Subuh, dan menyiapkan segala
sesuatunya. Saya pun mengantarkan Mafi dan Nera ke sekolah.
Di tengah jalan saya bertanya, ”Tadi salat Subuh sama siapa?” ”Ibu!”
jawab Mafi dan Nera serentak. ”Semalam salat Maghrib dan Isyanya?” tanya saya
kembali. ”Maghrib di musala….,” Mafi menghentikan kata-katanya. ”Kak Mafi dan
Nera ketiduran, Yah. Tidak salat Isya. Lupa, Yah,” Nera menjelaskan pelan. Saya
tidak bisa berkomentar apa-apa. Saya menyalahkan diri saya sendiri yang
beberapa hari terlalu sibuk.
Selepas mengatarkan anak-anak ke sekolah, di rumah saya berbincang
dengan Istri. ”Apa yang terjadi dengan salatnya anak-anak selama ayah
disibukkan dengan pekerjaan?” tanya saya. ”Anak-anak semangat salatnya menurun.
Lebih asyik bermain. Jika diingatkan sering dicuekin. Dan saat malam, sebelum
Isya lebih dulu tertidur,” Istri menjelaskan panjang lebar.
Saya pun terdiam. Pangkal salahnya adalah saya: Tidak bisa menghadirkan
dan menjaga energi
ibadah dan semangat salat
anak-anak di keluarga.
Anak-anak adalah individu yang menyerap. Akan selalu bisa menyerap
kejadian di lingkungannya dan tidak terkecuali energi dari orangtuanya. Di
sinilah, tugas orangtua tidak melulu soal menasihati, mendidik, memberi, dan
mengasihi, akan tetapi harus mampu menghadirkan energi atau semangat, termasuk
semangat dalam menjalankan ibadah salat.
Saya teringat hari-hari sebelumnya, saat terdengar adzan, kemudian saya
mengambil air wudhu, terus berkata, ”Saatnya salat!” Maka anak-anak akan
bersegera salat mengikuti saya. Kami pun berangkat salat berjamaah di musala
dengan penuh bahagia. Waktu lainnya di rumah selalu saya isi dengan berdiskusi,
bermain, sampai membacakan, dan menceritakan kisah-kisah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang semakin menegaskan
kehadiran suasana semangat religius untuk salat dalam keluarga.
Bahkan, tidak hanya sampai di situ, saat saya sendiri sedang senang
dengan salat, maka anak-anak pun mengikuti hal yang sama. Ini menunjukkan
kehadiran semangat dan energi salat ini diserap dan dipahami oleh anak.
Sehingga mereka pun mendapatkan energi salat yang sama dari orangtuanya. Energi
inilah yang kemudian menggerakkan anak-anak melakukan hal yang sama dengan
orangtuanya. Jadi, jika ada keluarga yang semangat dan suasana salatnya tidak
ada, itu terjadi karena orangtuanya tidak mau dan mampu menghadirkan energi
salat dalam keluarganya.
Kita pun pasti banyak melihat fenomena, anak-anak yang sejak kecil rajin
salat karena orangtua yang setiap hari memberikan contoh dan energi salat juga
pada anak-anaknya. Sebaliknya, anak-anak yang perilaku salatnya tidak
konsisten, bisa jadi bukan karena orangtuanya tidak menyuruh dan memberi
contoh. Tapi, orangtuanya tidak mampu menghadirkan dan menjaga semangat dan
suasana untuk salat. Kita pun banyak melihat kejadian di keluarga yang orang
tuanya rajin salat, tetapi anak-anaknya tidak mengikuti.
Anak Cerminan Orangtua Di sinilah, menghadirkan semangat salat menjadi
kunci penting dalam membimbing anak-anak untuk rajin salat. Menghadirkan
semangat ini harus dilakukan dengan memberikan contoh, menunjukkan
semangat dan menyenangkannya salat, selalu berdiskusi tentang ibadah dan salat
dengan anak, sampai selalu berkisah tentang Rasulullah Shalalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dengan cara ini suasana
semangat untuk melakukan ibadah salat diciptakan dan dijaga secara baik.
Anak-anak kita pun akan menyerap semangat itu sehingga menjadi energi
yang menggerakkan mereka untuk selalu menunaikan salat sebaik mungkin. Saya pun
mendadak teringat kejadian beberapa lalu saat terdengar kumandang adzan. Saya
bergeas berganti baju, kemudian mengambil air wudhu, dan mengajak anak-anak
salat berjamaah. Anak-anak pun bergegas melakukan hal yang sama. Kemudian kami
salat berjamaah.
Rasanya kenyataan itu sangat bahagia dan menyenangkan. Saat kemudian
terjebak dalam pekerjaan, saat energi salat tidak bisa saya hadirkan dan jaga
di keluarga secara baik, saya pun mendapatkan kenyataan pahit ini. Anak-anak
semangat salatnya menurun. Anak-anak menyerap kenyataan ayahnya yang sedang
kehilangan semangat ibadahnya. Di sinilah anak-anak harus diakui menjadi cermin
dan miniatur kenyataan keimanan orangtuanya.
Jika orangtuanya mampu menghadirkan dan menjaga semangat dan suasana
salatnya secara baik, anak-anak pun akan demikian. Tapi, sebaliknya, jika
orangtua gagal menghadirkan dan menjaga suasana salatnya secara baik, maka
anak-anak akan kehilangan arah.
Saya pun tertunduk sedih menyaksikan kenyataan ini. Istri saya tahu
keadaan ini, dia pun berkata, ”Nanti selepas anak-anak pulang sekolah hadirkan
kembali semangat dan suasan salat seperti kemarin. Pasti anak-anak akan paham
dan mengerti. Dan semangat dan suasana salat akan hadir kembali di keluarga
kita.” Aku menganggukkan kepala. Anak-anakku telah mengajariku cara bertobat
dengan sikap-sikap yang istimewa. Semoga menginspirasi. Silakan bagikan artikel ini:
TwitterFacebookWhatsAppLine.
SDS IT
ALFALAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar