Catatan Kajian
Qowaid Arba’ [ 4 pedoman tauhid ]
Masjid Al Falah, Senin 05 Maret 2018.
[ KESYIRIKAN
ZAMAN SEKARANG DIBANDINGKAN ZAMAN DULU ]
Kesyirikan
pada zaman sekarang lebih berbahaya, lebih banyak dan lebih parah daripada
kesyirikan pada zaman dahulu.
1.
Zaman dulu
kesyirikan terjadi hanya pada waktu lapang, sedangkan pada zaman ini kesyirikan
terjadi pada setiap waktu baik waktu lapang maupun pada waktu kesempitan.
ü Dalil yang menunjukkan orang musrik zaman dahulu
kesyirikan mereka hanya pada waktu lapang saja, adalah :
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ (53) ثُمَّ إِذَا
كَشَفَ الضُّرَّ عَنْكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ (54)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah-lah (datangnya). Dan
bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan. Kemudian apabila dia telah menghilangkan
kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba sebagian dari kamu mempersekutukan
Rabb-nya dengan (yang lain)”.
(QS.
An-Nahl [16]: 53-54).
ü Pada zaman kita
amalan kesyirikan sudah dijadikan adat istiadat yang harus dilakukan rutin
setiap waktu, contohnya ritual “larung” setiap bulan Suro di pantai laut
selatan dengan menyembelih hewan kerbau kemudian kepalanya dilempar ke laut.
2.
Zaman dulu
kesyirikan hanya dalam hal ibadah dalam uluhiyah akan tetapi sekarang
kesyirikan dalam rububiyah dan uluhiyah.
Di
antara dalil yang menunjukkan bahwa orang musrik mengimani rububiyah adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ
لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ
لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ
وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
(87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ
عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى
تُسْحَرُونَ (89)
“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi
ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan
Allah’. Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah,
’Siapakah yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang besar?’
Mereka akan menjawab, ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘Maka
apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi, tetapi tidak ada
yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan
menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian),
maka dari jalan manakah kamu ditipu?’”
(QS. Al-Mu’minuun
[23]: 84-89).
ü Pada
zaman sekarang kesyirikan terjadi pada tauhid uluhiyah dan rububiyah :
Pertama, keyakinan mereka
bahwa ada “Dewi” khusus yang berjasa untuk menyuburkan tanah sehingga dapat menjadikan
hasil panen mereka -terutama padi- berlimpah ruah. Sehingga pada saat-saat
tertentu, mereka membuat “jamuan” khusus kepada sang Dewi tersebut sebagai
ungkapan rasa terima kasih mereka karena telah diberi hasil panen yang
berlimpah. Dalam kasus ini terjadi kesyirikan dalam dua aspek sekaligus.
Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena mereka meyakini
adanya pemberi rezeki (berupa panen yang melimpah) selain Allah Ta’ala. Kedua,
dalam tauhid uluhiyyah, karena mereka menujukan ibadah kepada
Dewi tersebut, di antaranya berupa sesajen berupa makanan atau sembelihan.
Kedua, keyakinan sebagian
masyarakat kita terhadap Nyi Roro Kidul sebagai “penguasa” laut selatan.
Keyakinan ini dapat dilihat dari “budaya” atau kebiasaan mereka ketika
melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan)
ke Laut Selatan dengan keyakinan agar laut tersebut tidak ngamuk. Menurut
keyakinan mereka, tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa Laut Selatan
yaitu jin Nyi Roro Kidul. Padahal, menyembelih merupakan salah
satu aktivitas ibadah karena di dalamnya terkandung unsur ibadah, yaitu
merendahkan diri dan ketundukan.
3.
Zaman dahulu
menjadikan perantara kepada orang shalih, sedang zaman
sekarang pada orang orang shalih dan orang fasik.
Kesyirikan
yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kesyirikan yang dilakukan
oleh kaum Nuh ‘alaihis salaam. Kesyirikan tersebut terjadi
karena sikap mereka yang ghulu (berlebih-lebihan dalam memuji)
terhadap orang-orang shalih. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ
وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) terhadap tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, dan jangan pula
Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’”
(QS.
Nuh [71]: 23).
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan sesembahan-sesembahan
kaum Nuh dalam ayat di atas,
أَسْمَاءُ رِجَالٍ
صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى
قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِى كَانُوا يَجْلِسُونَ
أَنْصَابًا ، وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى
إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
“(Itu adalah) nama-nama orang shalih di kalangan
umat Nuh. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum Nuh untuk
membuat patung-patung di tempat-tempat mereka beribadah, serta menamai
patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kaum Nuh pun menuruti bisikan
tersebut, namun patung tersebut belum sampai disembah. Ketika kaum Nuh tersebut
meninggal, dan hilanglah ilmu, patung-patung itu pun akhirnya disembah”
(HR. Bukhari no. 4920).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para
ulama salaf mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang shalih di
kalangan umat Nuh. Ketika mereka meninggal, umat Nuh beri’tikaf di
kubur-kubur mereka serta membuat patung-patung mereka. Kemudian, seiring dengan
berjalannya waktu, umat Nuh pun akhirnya menyembah mereka.”
Contoh
kesyirikan pada zaman ini :
Marilah
kita melihat betapa banyaknya orang yang berbondong-bondong “ngalap
berkah” ke makam Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung
Kemukus, Sragen, Jawa Tengah.
Dikisahkan
bahwa mereka berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari
kerajaan Majapahit yang berselingkuh (baca: berzina). Kemudian mereka diusir
dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal dunia. Konon
sebelum meninggal, Pangeran Samudro berpesan bahwa keinginan peziarah dapat
terkabul jika mereka bersedia melakukan seperti apa yang pernah dia lakukan
bersama ibu tirinya (yaitu berzina). Sehingga sebagai syarat “mujarab”untuk
mendapat berkah di sana adalah harus dengan berselingkuh terlebih dahulu.
Demikianlah kisah salah satu sesembahan orang-orang musyrik zaman sekarang ini
yang ternyata adalah seorang pezina (baca: pelaku dosa besar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar