Bimbingan Aqidah
[ Perayaan IMLEK ]
1.
Sejarah Imlek di Indonesia :
Di Indonesia, Sejak tahun 1968 s/d 1999, perayaan
tahun baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Hal itu berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang dikeluarkan oleh Presiden
Soeharto. Serta melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk di antaranya
tahun baru Imlek.
Namun, sejak kepemerintahan berganti, masyarakat
keturunan Tionghoa di Indonesia, kembali mendapatkan kebebasan dalam merayakan
tahun baru Imlek, yaitu di mulai pada tahun 2000. Di mana, saat itu secara
resmi dicabut Inpres Nomor 14/1967. Serta menggantikannya dengan Keputusan
Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai
hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Selanjutnya, baru pada tahun 2002, Imlek resmi
dinyatakan sebagai salah satu Hari Libur Nasional, mulai tahun 2003 hingga saat ini.
(Sumber: Wikipedia)
Islam Hanya Mengenal Dua Hari Raya Besar
Dalam Islam, hari raya besar itu cuma dua, tidak
ada yang lainnya, yaitu hari raya Idul Fithri (1 Syawal) dan Idul Adha (10
Dzulhijjah).
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَدِمَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ
يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ
تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً
مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk
bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku
datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang
kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang
lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)”
(HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai
syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Itu Perayaan Agama Non Islam.
Apalagi jika ditelusuri, perayaan Imlek ini
bukanlah perayaan kaum muslimin. Sehingga sudah barang tentu, umat Islam tidak
perlu merayakan dan memeriahkannya. Tidak perlu juga memeriahkannya dengan
pesta kembang api maupun bagi-bagi ampau, begitu pula tidak boleh mengucapkan
selamat tahun baru Imlek.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menegaskan,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud no. 4031 dan Ahmad 2: 92.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Tidak boleh pula seorang muslim bersikap boros pada
perayaan non-muslim dengan memeriahkannya melalui pesta kembang api.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلا
تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27)
Memberi ucapan selamat tahun baru Imlek, ada yang
mengucapkan do’a ‘gong he xin xi’ (hormat bahagia menyambut tahun baru)
atau ‘gong xi fa cai’ (hormat bahagia berlimpah rejeki) pun terlarang.
Hal ini disebabkan karena telah ada klaim ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa
mengucapkan selamat atau mendoakan untuk perayaan non-muslim itu haram. Ijma’
adalah satu dalil yang menjadi pegangan. Nukilan ijma’ tersebut dikatakan oleh
Ibnul Qayyim, di mana beliau rahimahullah berkata,
وأما
التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم
، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من
الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند
الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه
، وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً
بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar
kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal
dan selamat tahun baru imlek, pen) adalah sesuatu yang diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah
memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan,
‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat
pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal
ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang
diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan
kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat
pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal
tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang
mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada
seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan
kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1:
441).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar