HANYA LAPAR DAN
DAHAGA...
Sebentar lagi tamu istimewa akan mengunjungi kita, yaitu
Bulan Ramadhan, dimana diwajibkan bagi umat Islam untuk berpuasa padanya. Namun
diantara saudara kita umat Islam yang berpuasa, tidaklah mendapatkan apa-apa
kecuali rasa lapar dan dahaga.
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang
berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar
dan dahaga.”
(HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al
Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no.
1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu
shohih dilihat dari jalur lainnya).
Datang Bulan Ramadhan akan tetapi tidak bisa menambah
pahalanya dan tidak mengurangi dosanya, sungguh suatu kerugian.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال :
آمين آمين آمين فقيل له يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي
جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم
أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم
أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik
mimbar lalu beliau mengucapkan, ‘Amin … amin … amin.’ Para
sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian,
beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku,
‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa
mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata
lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya
masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti
kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Amin.’ Kemudian,
Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak
bersalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Amin.””
Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa
At-Tarhib, 2:114, 2:406, 2:407, dan 3:295; juga oleh Adz-Dzahabi dalam
Al-Madzhab, 4:1682. Dinilai hasan oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid,
8:142; juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Badi‘, no. 212; juga
oleh Al-Albani di Shahih At-Targhib, no. 1679.
SEBABNYA APA...
Salah satu sebab
utamanya adalah :
Beramal ibadah di
bulan Ramadhan tanpa di dasari ilmu
Pentingnya ILMU
Untuk menunjukkan sikap ini, seorang ulama, yang bernama Sufyan
at-Tsauri mengatakan:
إِنْ اسْتَطَعتَ ، أَلَّا تَحُكَّ رَأسَكَ إِلَّا بِأَثَرٍ فَافعَلْ
Jika kamu mampu tidak akan
menggaruk kepala kecuali jika ada dalilnya maka lakukanlah
(Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi
wa Adab as-Sami’, Khatib al-Baghdadi, Mauqi Jami’ al-Hadis: 1/197)
Ulama ini menasehatkan agar
setiap amal yang kita lakukan sebisa mungkin didasari dengan dalil. Sampai-pun
dalam masalah kebiasaan kita, atau bahkan sampai dalam masalah yang mungkin
dianggap sepele. Apalagi dalam masalah ibadah. Karena inilah syarat mutlak
seseorang dikatakan mengamalkan dalil.
Ilmu Syarat Sah Amal
Mengapa harus berilmu
sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas,
yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan
ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:
بَابٌ العِلمُ قَبلَ القَولِ وَالعَمَلِ
“Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”
(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa
al amal)
Ucapan Imam Bukhari ini
telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Karena itu, perkataan
beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-buku
mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغفِرْ لِذَنبِكَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan mintalah ampunan untuk
dosamu” (QS. Muhammad: 19)
Di ayat ini, Allah memulai
perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah
sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan
di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”.
Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan
tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah
memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta
memahami tata cara
ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini,
bolehlah amal
tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului
dengan ilmu.
Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan
pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka
hakekatnya bukanlah amal, namun ini
seperti perbuatan orang gila, yang tidak dicatat amalnya.
(Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal, Syamilah,
1/145)
Lebih dari itu, setiap orang
yang hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan.
Agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima.
Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya:
Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar