PENENTUAN
AWAL PUASA DAN AWAL IED
ANTARA
RU’YAH DAN HISAB...
Antara
pendapat yang menggunakan ru’yah dan hisab, tentu saja masing-masing pihak mempunyai
argumentasi (dalil) baik dari
ayat-ayat Al Qur’an ataupun hadits-hadits shahihah. Adapun sumber perbedaannya
adalah dari sisi pemahaman dalil-dalil tersebut.
Maka
diperlukan suatu argumentasi (dalil) yang pasti, jelas, kuat dan tidak
memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Argumentasi yang dimaksud adalah
IJMA’ ULAMA.
IJMA
adalah : “konsensus (kesepakatan) ulama dalam suatu permasalahan syariat
yang terjadi setelah kematian Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-“.
Alhamdulillah
dalam masalah penentuan awal puasa dan awal ied ternyata telah ada IJMA’ ULAMA
sehingga bisa memberikan pegangan yang kuat dan menenangkan bagi seluruh umat
Islam dan menghindarkan dari perselisihan dan perbedaan pendapat.
§ Mana IJMA’ nya ?
يقول سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز
(رحمه الله) : ذكر شيخ الإسلام ابن تيمية (رحمه الله) في رسالة صنفها في هذه
المسألة (1) كما جاء في المجلد (25) من الفتاوى صفحة (132) إجماع العلماء على أنه
لا يجوز العمل بالحساب في إثبات الأهلة وهو (رحمه الله) من أعلم الناس بمسائل
الإجماع والخلاف. ونقل الحافظ في الفتح ج4 صفحة (127) عن أبي الوليد الباجي: إجماع
السلف على عدم الاعتداد بالحساب، وأن إجماعهم حجة على من بعدهم.
§ Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz-semoga Allah merahmatinya-(mufti
Saudi Arabia lampau) :
“ Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- telah menyebutkan di dalam sebuah karya
yang beliau karang dalam permasalahan ini, di dalam jilid 25 dari Kitab “Majmu’
Fatawa halaman 132 : “Para ulama telah bersepakat tidak bolehnya menggunakan
hisab di dalam penetapan awal bulan”
Dan beliau (syaikhul
Islam) termasuk orang yang paling ahli di dalam permasalahan Ijma” dan “perbedaan
pendapat”
§ Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani menukil dalam kitabnya “Fathul
Bary” Jilid 4 Halaman 127 dari Abil Walid Al Baaji :
“ Telah sepakat para ulama salaf tidak bolehnya menyandarkan diri
dengan metode hisab dan kesepakatan mereka merupakan hujjah (sesuatu yang harus
di ikuti) oleh orang-orang setelahnya”.
وقال ابن عرفة:
بل قد حكى الإجماع
على موجبه غير واحد من أهل العلم
في القديم والحديث منهم: ابن المنذر في الإشراف، وسند من المالكية،
والباجي، وابن رشد القرطبي، وشيخ الإسلام ابن تيمية، والحافظ ابن حجر، والسبكي، والعيني، وابن عابدين، والشوكاني، وصديق حسن
خان في تفسيرهما
لقوله تعالى {إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ} الآية.
§ Berkata Ibnu ‘Arafah :
“Bahkan telah menukil
IJMA’ atas keharusan (menggunakan ru’yah) beberapa dari ulama terdahulu dan
jaman sekarang, diantara mereka Ibnul Mundzir di dalam “Isyraaf” dan Sand dari
kalangan Malikiyah dan Al Baaji, Ibnu Rusd Al Qurthuby, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnu Hajar Al Asqalani, As Subkhi, Al ‘Aini, Ibnu ‘Abidin, dan
Syaukani dan Shiddiq Hassan Khan dalam tafsir firman Allah ta’ala {إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ} الآية.
[fiqh Nawazil : Syaikh Bakr Abu Zaid]
§
Fatwa-fatwa dari beberapa ulama :
1.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin :
: لا يجوز اعتماد حساب المراصد الفلكية إذا لم يكن رؤية،
“Tidak boleh penggunaan
hisab, jika tidak menggunakan rukyah”.
2.
Imam Malik bin Anas –semoga Allah merahmatinya- :
قال مالك رحمه الله تعالى: إن من يصوم بالحساب لا يقتدى به.
“Sesungguhnya barang
siapa yang berpuasa berdasarkan hisab, tidak boleh diikuti”.
[sumber fiqh nawazil : syaikh Bakr Abu Zaid]
3.
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah
mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan
itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan
hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan
dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum
puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi
terbaik membuat hal baru dalam masalah
ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas
bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin
terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa
melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30
hari.” Di sini Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak
mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30
hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
§ Sebagian kelompok memang ada yang sering
merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum
Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al
Baaji mengatakan, “Cukup
kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan
hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.”
Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen)
adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun
dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah
ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara
dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang
menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8] Fathul Bari, 4/127.
§
Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata: Menurut pendapat saya,
hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]
Kalau Ada Nukilan
Ijma’ Ulama, Maka …
Kalau ada
nukilan ijma’ ulama, maka tidak tepat kaedah ini digunakan,
لاَ
إِنْكَارَ فِي مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ
“Tidak ada
pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah.”
Karena
masalah hisab bukan lagi masalah yang boleh diijtihadkan. Karena menurut
kesepakatan ulama tidak boleh hisab dijadikan standar dalam penentuan awal
bulan.
Kalau
dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Kata sepakat ini bukan
kata sepakat sembarang orang, bukan orang awam.
Dan umat
tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itu
teramat bahaya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan
orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin.
AYAT INI MENUNJUKKAN BAHWA MENGIKUTI IJMA’ ITU WAJIB.
Referensi :
1. Fiqh nawazil
: bakr abu zaid
2. Muslim.or.id
3. Al manhaj.or.id
4. Rumaisho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar