Fatwa Lembaga Resmi Internasional, Ulama
Internasional dan Lembaga Nasional tentang Imunisasi
1. Fatwa
Majma’ Fiqih Al-Islami
Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi
Al-Islami di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami
atau Liga Muslim Sedunia adalah organisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam
atau Liga Muslim Sedunia adalah organisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam
2. Fatwa
Al-Lajnah Ad-Daimah
Dewan fatwa di Saudi Arabia yang fatwanya sering dipakai
mayoritas kaum muslimin di dunia.
3. Fatwa
Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European Council for Fatwa
and Research
Lembaga ini berkedudukan di Republik Irlandia. Majelis
ini mulai didirikan dari sebuah pertemuan yang diadakan di London di Inggris
pada 29-30 Maret 1997, yang dihadiri lebih dari lima belas ulama dunia, atas
prakarsa dari Ittihad Munazhzhamah fi Uruba (Persatuan Organisasi Islam di
Eropa).
Perlu diketahui bahwa ulama tidak gegabah berfatwa,
mereka juga perlu tahu fikhul waqi’ (realita), karenanya mereka sebelum
berfatwa mencari tahu hakikat persoalan. Misalnya majma’ fiqh Al-Islami ,
terkait vaksinasi, maka mereka mengundang para ahli vaksin dan dokter untuk
dihadirkan dalam muktamar dan diminta menjelaskan mengenai hakikat dan cara
pembuatan vaksin serta hal-hal terkait vaksin
Karena jika salah memahami fikhul waqi’, maka salah juga
mengeluarkan fatwa, sebagaimana dikenal dalam kaidah
الْحُكْمَ عَلَى
الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
“Fatwa
mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi
fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”
Artinya: Jika informasi yang sampai ke pemberi fatwa
salah, maka salah juga fatwanya (dalam hal ini bukan salah ustadz/ulamanya).
Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz, apa hukum vaksin yang
MENGANDUNG babi dan berbahaya.”
Ustadz
menjawab: Haram
Maka menyebarlah fatwa “vaksin haram”
Padahal: Faktanya TIDAK demikian, program vaksinasi di
Indonesia tidak ada satupun yang mengandung babi.[1]
Mohon maaf, ada sebagian orang yang bukan ahli fikh bukan
juga ahli kesehatan tapi berani bicara vaksin dan hukumnya (ada juga ustadz
yang selama ini jadi panutannya dan diikuti segala hal fikhnya, tiba-tiba
ustadznya bicara vaksin berdasarkan fakta yang benar mengenai mubahnya vaksin,
tiba-tiba ia tolak dan tidak terima, kemudian hilang lah sisi ilmiah pada
dirinya).
Ini bentuk hati-hati para ulama sebelum berfatwa, jika
saja para ulama sudah diragukan fatwanya, tentu kurang baik.
1. Fatwa
Majma’ Fiqih Al-Islami
Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul
(بيان للتشجيع على
التطعيم ضد شلل الأطفال)
“Penjelasan
untuk MEMOTIVASI gerakan imunisasi memberantas penyakit POLIO
Berikut isi fatwanya:
إن دفع الأمراض بالتطعيم
لا ينافي التوكل؛ كما لا ينافيه دفع داء الجوع والعطش والحر والبرد بأضدادها، بل
لا تتم حقيقة التوكل إلا بمباشرة الأسباب الظاهرة التي نصبها الله تعالى مقتضيات
لمسبباتها قدرا وشرعا، وقد يكون ترك التطعيم إذا ترتب عليه ضرر محرما.
“Mencegah penyakit dengan imunisasi tidak menafikkan
tawakkal, sebagaimana mencegah lapar, haus, panas dan dingin. Bahkan tidak
sempurna hakikat tawakkal kecuali dengan melakukan sebab-sebab nyata yang telah
Allah tetapkan sebagai penyebabnya baik sebagai sebab qadariyah (sebab-akibat,
pent) atau sebagai sebab syar’i. Dan bisa jadi tidak melakukan imunisasi
kemudian muncul bahaya, maka ini hukumnya haram.”[2]
2. Fatwa
Al-Lajnah Ad-Daimah
Vaksin mubah dan termasuk perkara yang disyariatkan
menempuh sebab secara ilmiah.
وبعد دراسة اللجنة
للمعاملة أفتت: بأن استعمال اللقاح المذكور في السؤال وغيره من الأدوية المباحة
أمر مشروع وهو من عمل الأسباب المشروعة التي يدفع الله بها الأمراض، ويحصن بها
الإنسان أطفاله لما يرجى من النفع في التحصن من الأمراض الخطيرة كالشلل وغيره
لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها؛ لقول النبي صلى الله عليه
وسلم: من تصبح بسبع تمرات عجوة لم يضره ذلك اليوم سم ولا سحر أخرجه البخاري ومسلم
في (صحيحيهما).
وهذا من باب دفع البلاء
قبل وقوعه، وهو لا ينافي التوكل؛ لأنه من فعل الأسباب المشروعة للتوقي من الأدواء
والأمراض التي يخشى نزولها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: اعقلها وتوكل أخرجه
الترمذي في (جامعه) من حديث أنس رضي الله عنه، والحاكم في (المستدرك) من حديث عمرو
بن أمية الضمري، كما أخرجه الطبراني من طرق، وقال الذهبي في (تلخيص المستدرك):
(سنده جيد).
Setelah al-Lajnah Lil Muammalah menelaah (program
imunisasi), maka al-Lajnah berfatwa:
“Penggunaan vaksin yang telah disebutkan (oleh
Kementerian Kesehatan Saudi Arabia) ataupun vaksin/obat lainnya yang mubah,
maka ini termasuk perkara yang disyariatkan dan merupakan bentuk menempuh sebab
yang disyariatkan, yang dengannya Allah akan menghindarkan hambanya dari
berbagi macam penyakit.
Masyarakat bisa melindungi anak-anaknya, karena adanya
manfaat yang diharapkan dengan imunitas tubuh dari bermacam-macam penyakit yang
berbahaya. Misalnya Polio, atau penyakit lainnya yang timbul karena adanya
wabah ataupun sebab-sebab lainnya yang dikhawatirkan timbulnya penyakit
karenanya.
Hal ini
berdasarkan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang pada pagi hari memakan
tujuh butir kurma ajwah, maka tidak ada satupun racun dan sihir yang akan
membahayakannya pada hari tersebut” (HR. Al-Bukhari dan Muslim,
dalam kitab Shahihnya).
Hal ini termasuk dalam kategori mencegah bahaya sebelum
terjadinya, dan tidak bertemtangan dengan tawakal, karena merupakan upaya yang
disyariatkan untuk melindungi diri dari bermacam-macam penyakit dan akibatnya
yang dikhawatirkan terjadi.”[3]
3. Fatwa negara Islam Eropa, yaitu Al-Majelis Al-Urubi li
Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European Council for Fatwa anda Research ( ﺍﻟﻤﺠﻠﺲ ﺍﻷﻭﺭﻭﺑﻲ ﻟﻺﻓﺘﺎﺀ ﻭﺍﻟﺒﺤﻮﺙ )
Isinya menjelasakan kehalalan vaksin dan memotivasi
penggunaan vaksin
Berikut fatwanya, terkait vaksin, memutuskan dua hal:
أولا: إن استعمال هذا
الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل
بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله
في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب
الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه
النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو
الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو
تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا: يوصي المجلس أئمة
المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق
مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية
Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi
medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari
kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada
gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat
semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan
alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah. Dalam bab fikih,
masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis
(jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis
tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci
yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan
begitu primer, dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan
syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan
bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang
berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara
ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama
tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).[4]
Jika ada yang berkata: “Pegangan kita adalah Al-Quran dan
As-sunnah, bukan fatwa”
Jawab: Ulama juga berfatwa berdasarkan Al-Quran dan
sunnah dan ulama lebih paham mengenai hal ini
Demikian semoga bermanfaat
NOTE:
Vaksin Saudi dimpor juga dari Indonesia, Indonesia
Eksport banyak sekali vaksin ke berbagai negara, termasuk 30 lebih negara
Islam, memenuhi kebutuhan Asia Tenggara, karena vaksin Indonesia buatan dalam
negeri oleh PT biofarma sejak zaman belanda, bukan buatan Yahudi atau Amerika
bahkan sebelum negara Israel ada.
Baca Indonesia ekspor vaksin ke Saudi:
@ Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel muslim.or.id
Artikel muslim.or.id
Soal ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menerbitkan
Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa ini diterbitkan pada 23
Januari 2016.
MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan MUI
dalam mengeluarkan fatwa ini.
1. Bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga
kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar
tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan
kembali, yaitu dengan imunisasi.
2. Bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah
terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat,
kecacatan, dan kematian.
3. Bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik
karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir
maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya.
[Baca Juga: Mengenal Hepatitis]
Dalam fatwanya, MUI menyebut imunisasi adalah suatu proses untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara
memasukkan vaksin. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk
usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu
penyakit tertentu.
Imunisasi semestinya menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan
vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram dan tidak
dibolehkan, kecuali ada beberapa hal ini:
1. Digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat. A-ldlarurat
(darurat) ialah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat
mengancam jiwa manusia. Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan yang
apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau
kecacatan pada seseorang.
2. Belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.
3. Adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak
ada vaksin yang halal
[Baca Juga: Ditemukan Vaksin Ebola Baru yang 100 Persen Ampuh]
Fatwa itu juga memutuskan imunisasi wajib hukumnya bila seseorang yang
tidak diimunisasi bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan
permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan
dipercaya.
Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang
kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).
MUI juga memberikan rekomendasi terkait imunisasi. Ada 7 rekomendasi
dari MUI:
1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik
melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan
imunisasi bagi masyarakat.
3. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi
halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan
sertifikasi produk vaksin.
4. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal.
5. Produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan
sosialisasi pelaksanaan imunisasi.
7. Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan,
termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.
A. Fatwa-Fatwa Ulama Dunia
1.
Fatwa Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, mufti besar Kerajaan Arab
Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah
2.
Fatwa Syaikh
Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, imam masjid dan khatib
di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu
keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com
3.
Fatwa Majelis
Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس
الأوربي للبحوث والإفتاء]
B.Fatwa
Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1.
Fatwa MUI [Majelis
Ulama Indonesia]
2.
Fatwa dari Tim
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
3.
Fatwa LBM-NU
[Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama] Indonesia
C.
Keterangan Para Ustadz di Indonesia
1.
Ustadz DR.
Muhammad Arifin Badri, MA hafizhahullah, lulusan Doktoral Fikh
Universitas Islam Madinah, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI),
kontributor Yufid.TV, dosen STDI Imam Syafi’i Jember
2.
Ustadz Firanda
Andirja, MA hafizhahullah, pengajar di masjidil
Nabawi, lulusan Master jurusan Akidah Universitas Madinah, calon Doktor
di jurusan yang sama, pengasuh situs firanda.com
3.
Ustadz Abu
Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah, lulusan
Markaz Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Pimred Majalah Al-Furqon
4.
Ustadz Abu
Hudzaifah Al Atsary, MA hafizhahullah, lulusan Pascasarjana Jurusan
Ulumul Hadits, Islamic University of Medina, KSA.
5.
Ustadz Aris
Munandar, SS. MA hafizhahullah, pembina Komunitas Pengusaha
Muslim Indonesia (KPMI), pembina PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta,
pembina Mahad Al Ilmi Yogyakarta, aktif mengisi kajian dan daurah di
Yogyakarta dan sekitar.
6.
Ustadz Muhammad
Abduh Tuasikal, ST hafizhahullah, Lulusan S1 Teknik Kimia UGM,
lulusan S2 Master of Chemical Engineering di Jami’ah Malik Su’ud Riyadh
KSA, pembina PP Darus Sholihin Yogyakarta, pimpinan redaksi
Muslim.Or.Id, pengasuh situs Islami www.rumaysho.com, pembina Komunitas Pengusaha
Muslim Indonesia (KPMI), murid Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah.
Kemudian
kami tambahkan keterangan dari ahli dan pakarnya. menerapkan perintah
Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ
“Tanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak
tahu”. (An Nahl : 43).
D.Keterangan
Dokter dan pakar ahli
Dari
dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, beliau adalah:
1.
Ketua III
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia 2002-2008
2.
Sekretaris
Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI).
3.
Dokter Spesialis
Anak Konsultan Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial, Magister Sains Psikologi
Perkembangan.
Teks
Fatawa
Berikut
rincian dan penjelasannya:
A.
Fatwa-Fatwa Ulama Dunia
1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Mufti
Besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas
Islam Madinah
Ketika
beliau ditanya ditanya tentang hal ini,
ما
هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟
“Apakah
hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
Beliau
menjawab,
لا
بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء
بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع لبلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله
عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا
سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء
الواقع في البلد أو في أي كان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض
النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.
“La
ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan
tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak
masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang
dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh
butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir
atau racun”
Ini
termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika
dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan
penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak
masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang
datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
[sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]
2. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah
Imam
masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen
ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com
Dalam
fatwa beliau mengenai imunisasi dan valsin beliau menjawab. Rincian bagian
ketiga yang sesuai dengan pembahasan imunisasi dengan bahan yang haram tetapi
memberi manfaat yang lebih besar. syaikh berkata,
لقسم
الثالث : ما كان منها مواد محرَّمة أو نجسة في أصلها ، ولكنها عولجت كيميائيّاً أو
أضيفت إليها مواد أخرى غيَّرت من اسمها ووصفها إلى مواد مباحة ، وهو ما يسمَّى ”
الاستحالة ” ، ويكون لها آثار نافعة .
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .
“rincian
ketiga: vaksin yang terdapat didalamnya bahan yang haram atau najis pada
asalnya. Akan tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain
yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan
“istihalah”. Dan bahan [mubah ini] mempunyai efek yang bermanfaat.
Vaksin
jenis ini bisa digunakan karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya.
Dan mengubah hukumnya menjadi mubah/boleh digunakan.”
[Dirangkum
dari sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/159845/%D8%AA%D8%B7%D8%B9%D9%8A%D9%85 ]
3. Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa
dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]
Memutuskan
dua hal:
أولا: إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته
طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا
يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز
لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن
النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في
المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل
من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق المصالح
والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن
لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين
ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية
Pertama:
Penggunaan
obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat
melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat
semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan
menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan
pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit)
yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada
sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan
tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami
istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak.
Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang
dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah
menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis
merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi
mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada
maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil
yang definitif (qath’i).
B.Fatwa
Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1. Fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]
Fatwa
MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M [Fatwa Terbaru MUI]
Fatwa
no. 06 tahun 2010 tentang: Penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji
atau umrah
Menetapkan
ketentuan hukum:
1.
Vaksin
MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
2.
Vaksin Menveo
meningococal dan vaksin meningococcal hukumnya halal
3.
Vaksin yang
boleh digunakan hanya vaksin yang halal
4.
Ketentuan dalam
fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan
wajib haji atau umrah wajib, boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena
Al-hajah [kebutuhan mendesak] dinyatakan tidak berlaku lagi
2. Fatwa dari Tim
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pertanyaan
dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang
status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai
memanfaatkan enzim dari babi.
Jawaban:
Sebagai
kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang
memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah
atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu.
Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang dan
berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan
enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga
suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari
barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.
3. Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul
Ulama] Indonesia
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama akan menindak lanjuti hasil sidang Lembaga Bahtsul
Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang menyatakan secara umum hukum vaksin
meningitis suci dan boleh dipergunakan.
Menurut
Katib Aam Suriah PBNU, Malik Madani, keputusan tersebut merupakan kesimpulan di
internal LBM-NU. Secara pasti, hasilnya akan segera dibahas di kalangan suriah.
‘Tunggu hasilnya bisa disetujui dan bisa tidak,’ ujar dia kepada Republika di
Jakarta, Rabu (1/9)
Apapun
hasilnya kelak, ungkap Malik, PBNU merekomendasikan ke pemerintah agar
melakukan vaksinasi kepada para jamaah haji dengan memakai vaksin yang halal
berdasarkan syari’i. Hal ini penting, agar jamaah haji mendapat rasa nyaman dan
kekhidmatan beribadah. Selain itu, masyarakat dihimbau tidak terlalu resah
dengan informasi apapun terkait vaksin meningitis yang belum jelas.
Ketua
LBM-NU, Zulfa Musthafa, mengemukakan berdasarkan informasi dan pemaparan
sejumlah pakar dalam sidang LBM-NU diketahui bahwa semua produk vaksin
meningitis pernah bersinggungan dengan enzim babi. Termasuk produk yang
dikeluarkan oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i dan Meningococcal
Vaccine produksi Zheijiang Tianyuan Bior Pharmaceutical Co. Ltd. Akan tetapi,
secara kesuluruhan hasil akhir produk-produk tersebut dinilai telah bersih dan
suci.
Zulfa
menuturkan, dalam pembahasannya, LBM-NU tidak terpaku pada produk tertentu.
Tetapi, pembahasan lebih menitik beratkan pada proses pembuatan vaksin.
Hasilnya, secara umum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan. ”Dengan
demikian, vaksin jenis Mancevax ACW135 Y, produksi Glaxo Smith Kline (GSK), Beecham
Pharmaceutical, Belgia pun bisa dinyatakan halal,” tandas dia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar