Fatwa Penuntut Ilmu (1): Antara Ilmu dan Ijazah
September 19, 2013 oleh Wira Mandiri Bachrun
Soal Pertama:
Termasuk yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, khususnya di universitas-universitas dan yayasan-yayasan pendidikan, pernyataan sebagian orang bahwa ilmu telah pergi bersama pemiliknya; dan bahwa tidak akan ditemukan seseorang yang belajar di sebuah yayasan pendidikan kecuali dia bertujuan untuk mencari ijazah dan perkara dunia. Bagaimana bantahan terhadap mereka? Apa hukumnya apabila seseorang meniatkan mencari ilmu untuk mendapatkan dunia dan ijazah, namun di samping itu dia juga meniatkan untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya?
Termasuk yang tersebar di kalangan para penuntut ilmu, khususnya di universitas-universitas dan yayasan-yayasan pendidikan, pernyataan sebagian orang bahwa ilmu telah pergi bersama pemiliknya; dan bahwa tidak akan ditemukan seseorang yang belajar di sebuah yayasan pendidikan kecuali dia bertujuan untuk mencari ijazah dan perkara dunia. Bagaimana bantahan terhadap mereka? Apa hukumnya apabila seseorang meniatkan mencari ilmu untuk mendapatkan dunia dan ijazah, namun di samping itu dia juga meniatkan untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya?
Jawaban:
Pendapat tersebut tidaklah benar dan tidak semestinya terucap. Seseorang yang mengatakan bahwa manusia telah binasa, maka dialah yang telah membinasakannya. Justru hendaknya dia memberikan motivasi serta mengajak orang lain dalam mencari dan berkonsentrasi untuk ilmu, bersabar, meneguhkan kesabaran dalam mencarinya, dan berprasangka baik terhadap para pencari ilmu. Kecuali orang yang diketahui bahwa dia memiliki sifat yang bertolak belakang dari hal-hal tersebut.
Pendapat tersebut tidaklah benar dan tidak semestinya terucap. Seseorang yang mengatakan bahwa manusia telah binasa, maka dialah yang telah membinasakannya. Justru hendaknya dia memberikan motivasi serta mengajak orang lain dalam mencari dan berkonsentrasi untuk ilmu, bersabar, meneguhkan kesabaran dalam mencarinya, dan berprasangka baik terhadap para pencari ilmu. Kecuali orang yang diketahui bahwa dia memiliki sifat yang bertolak belakang dari hal-hal tersebut.
Ketika menjelang wafat, Mu’adz radhiyallahu ‘anhu (dalam sebuah riwayat) mewasiatkan kepada orang-orang yang di sekitarnya untuk mencari ilmu seraya berkata, “Sesungguhnya ilmu dan iman memiliki kedudukan. Barangsiapa menginginkan, maka dia akan mendapatkannya keduanya.”
Maksudnya, kedudukan keduanya sangat agung dalam Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya seorang yang berilmu diwafatkan bersama dengan ilmunya, dan ilmu dicabut dengan diwafatkannya para ulama. Namun, alhamdulillah, senantiasa ada sekelompok manusia yang berada di atas kebenaran yang ditolong oleh Allah subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِمَوْتِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
”Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan serta merta dicabut dari qalbu manusia. Namun Allah mencabutnya dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorang ulamapun, manusia akan mengambil pimpinan-pimpinan yang bodoh. Lalu pimpinan-pimpinan yang bodoh tersebut akan ditanya dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya)
Inilah perkara yang sesungguhnya ditakutkan. Orang-orang bodoh tampil untuk berfatwa dan mengajar, sehingga merekapun sesat dan menyesatkan. Adapun perkataan orang itu bahwa ilmu telah pergi dan tidak tersisa kecuali demikian dan demikian, dikhawatirkan dia akan mengendorkan semangat sebagian manusia. Meskipun orang yang kokoh dan berilmu tidak akan kendor semangatnya, bahkan hal tersebut akan mendorongnya untuk menuntut ilmu sehingga mampu menutup lubang (kekurangan) tersebut.
Ketika menghadapi ucapan semacam ini, orang yang faham, ikhlas, jujur dan berilmu, tidak akan kendor semangatnya. Dia justru maju dan bersungguh-sungguh mencari ilmu, terus-menerus belajar dan bersegera melakukannya, karena kebutuhan yang sangat terhadap ilmu serta untuk menutup celah yang digunakan oleh orang-orang untuk mengatakan bahwa tidak tersisa seorang pun yang berilmu. Sehingga walaupun ilmu berkurang dan sebagian besar ulama wafat, namun alhamdulillah akan senantiasa ada sekelompok orang yang berada di atas kebenaran dan ditolong oleh Allah ‘azza wajalla, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ مَنْصُوْرَةً لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَلاَ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأتِيَ أَمْرُ اللهِ
“Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berada di atas kebenaran dan mereka tertolong. Tidak akan menyusahkan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka dan orang-orang yang meninggalkan mereka, sampai datang keputusan Allah (hari kiamat).”
Sehingga kita wajib bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, memberikan motivasi untuk melakukannya, bersemangat untuk menutup kekurangan, menegakkan kewajiban di kota kita maupun yang lainnya, dalam rangka mengamalkan dalil-dalil syar’i yang memberikan motivasi untuk melakukan hal tersebut. Kita juga wajib bersemangat untuk memberikan manfaat pada kaum muslimin dan mengajari ilmu agama kepada mereka. Sebagaimana hendaknya kita juga memberi semangat untuk ikhlas dan jujur dalam mencari ilmu.
Barangsiapa menginginkan ijazah agar menjadi kuat dalam menyampaikan ilmu dan berdakwah kepada kebaikan, maka dia telah berbuat sesuatu yang baik. Kalau dia menginginkan harta agar menjadi kuat dalam berdakwah, tidak mengapa dia pergi belajar kemudian mendapatkan ijazah yang akan membantunya dalam menyebarkan ilmu serta mengambil harta yang dapat membantunya dalam hal itu, agar manusia dapat menerima ilmu darinya. Karena sesungguhnya kalau bukan karena pertolongan Allah subhanahu wata’ala, kemudian manfaat dari harta tersebut maka kebanyakan manusia tidak akan mampu untuk belajar dan menyampaikan dakwahnya.
Harta dapat membantu seorang muslim dalam mencari ilmu, menyelesaikan kebutuhannya, dan membantu dalam menyampaikan ilmu kepada manusia. Tatkala ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menangani beberapa pekerjaan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta kepadanya. Namun ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Berikan harta itu kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خُذْ هَذَا الْمَالَ فَتَمُولُهُ أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالُ وَأَنتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ تَتَّبِعْهُ نَفْسُكَ
“Ambillah harta ini agar engkau bisa menyimpannya atau mengembangkannya. Apa yang telah engkau terima dari harta ini sementara engkau bukanlah seorang yang mengharapkan dan meminta harta tersebut, maka ambillah. Dan jika harta tersebut tidak ditawarkan kepadamu, maka janganlah jiwamu meliriknya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta kepada para muallaf yang dibujuk hatinya untuk memberikan dorongan kepada mereka, sehingga mereka masuk ke dalam agama Allah subhanahu wata’ala dengan berbondong-bondong. Seandainya perbuatan tersebut hukumnya adalah haram maka niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan memberikan harta tersebut kepada mereka. Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikannya baik sebelum maupun setelah Fathu Makkah. Ketika Fathu Makkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan seratus unta kepada sebagian shahabatnya dan beliau memberi sebagaimana pemberian orang yang tidak takut miskin. Hal tersebut dalam rangka memberi motivasi untuk masuk Islam dan berdakwah kepada Islam.
Sungguh Allah subhanahu wata’ala telah memberikan hak bagi orang-orang muallaf yang dibujuk hatinya untuk mendapatkan zakat. Allah subhanahu wata’ala juga memberikan hak bagi para muallaf, para pengajar, hakim-hakim dan kaum muslimin yang lainnya untuk memperoleh bagian dari baitul mal.
(Sumber: https://ulamasunnah.wordpress.com dinukil dari kitab Masuliyati Thalibil Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna, Jogjakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar