الرَّاشِدِيْنَ
اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa
kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan)
meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa
yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku
dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk-
sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah
kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama,
karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi,
shahih Albani].
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا
وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah meridhai
tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk
menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang
teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci
tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak
bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715)
A.
MEMURNIKAN
IBADAH UNTUK ALLAH TA’ALA DAN MEMERANGI KESYIRIKAN.
1.
Prioritas
dakwah tauhid, mengapa ?
a)
Tujuan
utama penciptaan manusia dan jin.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap
istilah ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.”
(lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20)
b)
Kewajiban
pertama dan terakhir.
وعن ابن عباس رضى الله عنهما أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذاً إلى اليمن قال : “إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب
. فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله الا الله | وفى رواية إلى أن يوحدوا
الله
Dan dari ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya Rasuulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam
mengutus Mu’aadz ke Yaman, dan beliau bersabda padanya: “Sungguh kamu akan
mendatangi orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah PERTAMA
KALI yang HARUS KAMU SAMPAIKAN kepada mereka adalah SYAHADAT LAA ILAAHA
ILLALLAH – dalam riwayat yang lain disebutkan “SUPAYA MEREKA MENTAUHIDKAN
ALLAH”-…
عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Dari
Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya “laa ilaaha
illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233
dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]
c)
Amalan
banyak, tauhid rusak maka tidak berguna.
يخَرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَتيِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآَنْ. لَيْسَ
قِرَاءَتُكُمْ إِليَ قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ. وَلاَ
صَلاَتُكُمْ إِلىَ صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ. وَلاَ
صِيَامُكُمْ إِلىَ صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ
“Akan
muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian
tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding
dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan
puasa mereka sedikitpun”
Tetapi mereka keluar dari agama seperti anak
panah keluar dari sasarannya. [ HR Muslim ]
d)
Amalan
sedikit, tauhid benar pasti masuk surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ
أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia
masuk Surga.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ”
أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ
مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، قُلْتُ: وَإِنْ
زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ “
Dari
Abu Dzar radliyallahu
‘anhu, ia
berkata, Rasulullah bersabda shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Malaikat
utusan Rabbku datang kepadaku, lalu ia mengabarkan kepadaku – atau : ia
memberikan berita gembira untukku – bahwasannya barangsiapa yang meninggal dari
kalangan umatku yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun niscaya akan
masuk surga”. Aku (Abu Dzarr) berkata : “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri
?”. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab
: “Ya, walau ia pernah
berzina dan mencuri?”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1236].
e)
Prioritas
dakwah para nabi dan rasul
وَلَقَدْ بَعَثْنَا
فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu", [ An Nahl : 36 ].
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَقَالَ يَا
قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ
عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya Kami
telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah
Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau
kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar
(kiamat). [ Al A’raf 59 ]
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia
berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan
selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih.
Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan
selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu
Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian
sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).
Sampai
dengan Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- :
Buktinya
pertanyaan Raja Heraklius kepada Abu Sufyan ketika masa perjanjian Hudaibiyah.
Heraklius menanyakan tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,”Apa yang diperintahkan kepada kalian?” Aku (Abu Sufyan)
berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا
بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
“Sembahlah Allah semata, dan janganlah
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah perkataan nenek
moyang kalian! Beliau memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat, jujur,
menjaga kehormatan diri, dan menyambung persaudaraan.”
Maka
bagi setiap muslim harus menjadikan tauhid dan aqidah sebagai prioritas
dakwahnya.
·
Dakwah ibadah shalat, puasa, zakat dan haji,
hendaknya dilakukan setelah dakwah tauhid dan aqidah.
اِنَّكَ سَتَأْتِى
قَوْمًا مِنْ اَهْلِ اْلكِتَابِ، فَاِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ اِلَى اَنْ
يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ،
فَاِنْ هُمْ طَاعُوْا لَكَ بِذلِكَ فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ
عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ، فَاِنْ هُمْ طَاعُوْا
لَكَ بِذلِكَ فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمْ صَدَقَةً
تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ.. البخارى 5: 109
(Hai Mu’adz), bahwasanya kamu akan datang kepada
orang-orang ahli kitab, maka apabila kamu telah sampai kepada mereka, pertama
kali ajaklah mereka kepada mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang benar
selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah. Maka jika mereka telah
mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Lalu
jika mereka telah mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah
kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada kalian membayar zakat, yang
diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian dikembalikan (dibagikan) kepada
orang-orang miskin mereka. [HR. Bukhari juz 5, hal.
109].
Bukankah Rasululullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-
di kota Makkah 10 hanya dakwah tauhid, bukankah kewajiban shalat 5 waktu turun
setelah peristiwa Isra’ mi’raj, tahun berapakan peristiwa Isra mi’raj ?
·
Dakwah politik mencapai kepemimpinan dalam rangka
penegakan syariat Islam, juga harus dilakukan setelah dakwah tauhid, seperti
perjalanan dakwah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam : pemerintahan
Islam dan penegakan hukum Islam beliau laksanakan di kota Madinah, setelah
Tauhid kokoh dan telah merasuk kuat di seluruh umat Islam dan kesyirikan telah
di tinggalkan.
Kisah
Nabi Musa dengan Firaun seorang penguasa yang paling jahat :
Al-Qur'an mengabadikan,
saat Fir’aun sudah sampai pada puncak ketaghutan dengan mengatakan, “Akulah
tuhanmu yang paling tinggi,” maka Allah mengutus Nabi Musa dan Harun untuk
memperingatkannya dan mendakwahinya seraya berpesan,
اذْهَبَا إِلَى
فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ
أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah
kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat atau takut.” (QS. Thaahaa: 44).
Kenapa Musa tidak
menggulingkan dan memberontak kepada Fir’aun,?
tetapi silakan Engkau miliki kekuasaan yang
terpenting adalah Engkau dan rakyatmu mengesakan Allah ta’ala
Hadits
pertama, dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا مَلَكٌ
يَنْزِلُ فَقَالَ جِبْرِيلُ إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ
خُلِقَ قَبْلَ السَّاعَةِ فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَرْسَلَنِى
إِلَيْكَ رَبُّكَ أَفَمَلَكاً نَبِيًّا يَجْعَلُكَ أَوْ عَبْداً رَسُولاً قَالَ
جِبْرِيلُ تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ « بَلْ عَبْداً رَسُولاً »
“Malaikat
Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau
menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun.
Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan
kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai
Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin
dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus
Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai
Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang
hamba dan Rasul.’” [1]
[1] HR.
Ahmad dalam Musnad no. 7359 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
no. 6365. Syaikh Syu’aib Arnauth berkata dalam tahqiq beliau
terhadap Shahih Ibnu Hibban,”Sanadnya shahih sesuai dengan syarat
Bukhari dan Muslim”. Hadits ini dinilai shahih oleh
Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1002.
Hadits
ke dua, ketika
dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai
merisaukan hati orang-orang kafir Quraisy, maka mereka mengutus ‘Utbah bin
Rabi’ah untuk memberikan beberapa penawaran kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. ‘Utbah bin Rabi’ah berkata,
يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ
كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا
لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ
بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ
كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي
يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك
الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى
مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ
“Wahai
keponakanku! Jika yang Engkau inginkan dari dakwahmu ini adalah harta, maka
akan kami kumpulkan harta-harta yang kami miliki untukmu sehingga Engkau
menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika yang Engkau
inginkan adalah kemuliaan, maka akan kami serahkan kemuliaan itu untukmu,
sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu perkara tanpa dirimu. Jika
yang Engkau inginkan adalah menjadi Raja, maka akan kami angkat Engkau menjadi
Raja atas kami. Apabila Engkau terkena jin yang dapat Engkau lihat
namun Engkau tidak dapat menolaknya dari dirimu, maka akan kami carikan
pengobatan untukmu. Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk
mengobatimu, karena seseorang terkadang dikalahkan oleh jin yang mengikutinya
sampai dia diobati darinya”. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh
‘Utbah, sampai dia menyelesaikan perkataannya.
Setelah
‘Utbah selesai berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian membacakan surat Fushshilat, dan ketika sampai ke ayat
as-sajdah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersujud.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
·
قَدْ
سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ
“Wahai
Abul Walid! Sungguh Engkau telah mendengar apa yang telah kau dengar. Maka
terserah padamu.” [2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/292
dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Kisah
ini mempunyai penguat dalam hadits Jabir yang dikeluarkan oleh ‘Abdu bin Humaid
dan Abu Ya’la. Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya (hal.
96) [dan beliau menyatakan bahwa sanadnya tsiqoh, pen.] sehingga
kisah ini menjadi kuat dan kokoh”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi
Ad-Da’wati Ilallah, hal. 113.
Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
مَا بِي مَا تَقُولُونَ مَا
جِئْتُ بِمَا جِئْتُكُمْ بِهِ أَطْلُبُ أَمْوَالَكُمْ وَلَا الشّرَفَ فِيكُمْ
وَلَا الْمُلْكَ عَلَيْكُمْ وَلَكِنّ اللّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ رَسُولًا ،
وَأَنْزَلَ عَلَيّ كِتَابًا ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَكُونَ لَكُمْ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
، فَبَلّغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبّي ، وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَإِنْ تَقْبَلُوا مِنّي
مَا جِئْتُكُمْ بِهِ فَهُوَ حَظّكُمْ فِي الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَإِنّ تَرُدّوهُ
عَلَيّ أَصْبِرْ لِأَمْرِ اللّهِ حَتّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ
“Aku
tidak menginginkan tawaran kalian. Aku tidaklah datang dengan membawa misi-misi
itu. Aku tidak meminta harta-harta kalian, tidak pula kemuliaan di
tengah-tengah kalian, dan tidak pula meminta tahta kerajaan atas
kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang
Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk memberikan
kabar gembira dan peringatan kepada kalian. Aku telah menyampaikan risalah
Rabb-ku kepada kalian dan telah menasihati kalian. Jika kalian menerima apa
yang aku bawa, maka itulah keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika
kalian menolaknya, maka kewajibanku adalah bersabar atas urusan Allah tersebut
sampai Allah memutuskan (perkara) antara aku dengan kalian.” [3]
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/295
dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Hadits
ini menjadi penguat hadits sebelumnya [yaitu hadits ke dua di
atas, pen.] dan masing-masing di antara keduanya saling
menguatkan”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati
Ilallah, hal. 114
Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.
Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.
Akan
tetapi, beliau tetap memegang teguh manhaj dakwah tauhid
sebagaimana para Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah
tidak memulai dakwahnya dengan ambisi merebut kekuasaan, maka beliau juga tidak
mengawali dakwahnya dengan perbaikan ekonomi atau perbaikan sosial budaya.
2.
TEGAS
DALAM MEMBERANTAS KESYIRIKAN
a)
Arti
Syirik :
Dalam
hadits shahihain, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia bertanya pada
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
أَىُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ
« أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ »
“Dosa apa yang paling besar di
sisi Allah?” “Engkau membuat sekutu bagi Allah padahal Dia telah menciptakanmu”,
jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 4477
dan Muslim no. 86).
Para
ulama memberikan kesimpulan arti syirik :
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah ta’ala.
b)
Macam Syirik
Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.
(1)
Syirik
Besar
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah,
seperti
berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan
penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin
atau syaithan, dan lainnya.
Konsekwensinya
:
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama
Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam
keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik besar ada banyak [10], sedangkan di sini akan disebutkan
empat macamnya saja:[11]
§ Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا
فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ
إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”
[Al-‘Ankabuut: 65]
§ Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan
suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ
يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ
فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي
الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan.” [Huud: 15-16]
§ Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal
maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb)
al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah
Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]
§ Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada
Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).”
[Al-Baqarah: 165]
(2)
Syirik
Kecil
Syirik kecil adalah perbuatan yang dinamakan syirik oleh syariat tetapi dosa syirik tersebut tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
§
bentuk ucapan
§
bentuk perbuatan.
Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain
Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ
بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka
ia telah berbuat kufur atau syirik.” [12]
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma
menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik.
Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan:
‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para
Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
وَرَبِّ
الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas
kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’” [13]
Contoh lain : berdoa kepada Allah di sisi kuburan
orang shalih
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai
gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya.
Seperti menggantungkan jimat (tamimah [15]) karena takut dari ‘ain (mata jahat)
atau lainnya.
c)
Ancaman
Bagi Orang Yang Berbuat Syirik
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak bertaubat kepada Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah (berbuat syirik), maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48] Lihat juga
[An-Nisaa’: 116].
2. Diharamkannya Surga bagi orang musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya
adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zha-lim itu seorang penolong pun.”
[Al-Maa-idah: 72]
3. Syirik menghapuskan pahala seluruh amal kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا
لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya
lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’aam: 88]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(Nabi-nabi) sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” [Az-Zumar: 65]
Dua ayat ini menjelaskan barangsiapa yang mati dalam
keadaan musyrik, maka seluruh amal kebaikan yang pernah dilaku-kannya akan
dihapus oleh Allah, seperti shalat, puasa, shadaqah, silaturahim, menolong
fakir miskin, dan lainnya.
4. Orang musyrik itu halal darah dan hartanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاقْتُلُوا
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا
لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
“…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat
pengintaian…” [At-Taubah: 5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ،
فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ، عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ
بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai
mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang diibadahi dengan benar
melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan
harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka ada pada
Allah Azza wa Jalla.”[8]
Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman
yang paling zhalim dan kemunkaran yang paling munkar.
d)
Perbuatan
syirik yang ada di sekitar kita
[
ZIARAH KUBUR MAKAM PARA WALI ]
A.
Arti tawasul : perantara untuk mencapai sesuatu
Allâh
Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha dekat, tidak membutuhkan keberadaan
perantara dari makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku
adalah maha dekat”. [al-Baqarah/2:186]
Orang
yang berdosa dan kotor, tetap berdoa langsung kepada Allah ta’ala
Iblis
laknatallah berdoa kepada Allah ta’ala dan dikabulkan :
AllahTa’ala berfirman
mengenai permohonan Iblis,
قَالَ أَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Iblis menjawab: “Beri
tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”
Maka Allah menjawab,
قَالَ إِنَّكَ مِنَ المُنظَرِينَ
“Allah berfirman:
“Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.” (Al-A’raf:
14-15).
Ziarah kemakam para
wali....bolehkah....?
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَا
تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَصَلُّوا
عَلَيَّ ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“jangan jadikan rumah kalian sebagai
kuburan, dan jangan jadikan kuburanku sebagai Id, bershalawatlah kepadaku
karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun engkau berada”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2042), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (8605), Ath Thabrani dalam Al Ausath (8/81), dan yang lainnya,
di shahihkan Albani.
Rasulullah
shalallahu alaihi wa sallam bersabda : “jangan kalian jadikan kuburanku sebagai
id”
Arti
id adalah : “tempat yang selalu dikunjungi secara ruti berulang-ulang”.
Maka
Nabi kita melarang kita mengunjungi kuburan beliau secara berulang –ulang, maka
kuburan para wali juga demikian, terlarang untuk kita kunjungi secara
berulang-ulang, tiap jum’at kliwon misalnya.
B.
Tawasul ada 2 macam :
1.
Tawasul yang
dianjurkan syariat.
2.
Tawasul yang dilarang syariat.
C.
Tawasul yang dianjurkan syariat :
Pertama: Tawassul dengan Asma’ul
Husna,
yakni
kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang
indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa Ghafuur Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan
rahmat-Nya. Atau “Ya
‘Aziizu Ya Qawiyyu”,
saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau nama-nama lainnya yang
tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat
dianjurkan, sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا…
[الأعراف/180]
“Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna,
maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan amal shaleh
kita,
Bukan
dengan amalan orang lain. misalnya dengan mengatakan : Ya Allah sembuhkanlah
penyakitku dengan perantara amalan sedekahku ini.
Dalilnya
ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa
kepada Allah dengan menyebut amal shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu
yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah, Lihat redaksi
hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.
Ketiga: Tawassul dengan minta doa dari
orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita.
Dalilnya
adalah kisah Si tunanetra yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma dalam HR. Tirmidzi no
3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.
Demikian
pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah
Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan
harta benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta
agar Rasulullah berdoa kepada Allah supaya turun hujan, HR. Bukhari no 967
& 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu.
D.
Tawasul yang dilarang syariat :
·
Tawasul dengan mendatangi kuburan orang shalih dan berdoa dikuburan
tersebut, agar doanya terkabulkan.
Subhat dan bantahannya :
إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ
اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ
السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
Hadits pertama itu artinya:
“Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41.
Bantahan:
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]
KESIMPULAN :
Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:
1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang.
2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b) iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.
3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
4. tawasul dengan orang shalih yang sudah
meninggal termasuk perbuatan terlarang dan termasuk perbuatan syirik.
[ MENDATANGI PARANORMAL/ORANG PINTER/DUKUN ]
Para
dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui urusan gaib,
padahal ini merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di
bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak
mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan”.
[an-Naml/27:65]
Minta
bantuan jin
Memang
jin bisa melihat kita.....kita tidak bisa melihat jin.
يإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ
وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ
أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya
ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang
kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan
itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. [al A’raf : 27].
Hukum
manusia minta bantuan jin .....?
Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ
بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan
bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan”. [al-Jin/72:6]
Tetapi
jin mau membantu manusia, jika manusia mau menyembahnya, menyembelihkan
binatang kepadanya.
Mereka
selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek sihir
dan perdukunan. Padahal para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka
dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan kurban untuk
para jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’ân dengan berbagai macam cara,
atau cara-cara lainnya.
HUKUM MENDATANGI DUKUN
Orang yang mendatangi dukun ada tiga keadaan:
1. Dia
mendatangi dukun kemudian dia bertanya kepadanya dan percaya serta membenarkan ucapannya
maka hal ini merupakan tindakan kufur kepada Allah Azza wa Jalla kerena
mempercayai ucapan dukun berarti telah percaya dukun mengetahui ilmu ghoib
sedangkan mempercayai orang yang mengaku tahu ilmu ghoib merupakan pendustaan
terhadap firman Allah ta ‘ala
قل لا يعلم في
السموات والأرض الغيب إلا الله
“Katakanlah
bahwa tidak ada yang megetahui perkara ghoib kecuali Allah” (An Naml 60)
oleh kerena inilah datang dalam hadits yang shohih
oleh kerena inilah datang dalam hadits yang shohih
من أتى كاهنا
فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه و سلم
” Barang
siapa yang mendatangi dukun kemudian dia mempercayai ucapannya maka dia telah
mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa Sallam. ”
HR At Tirmidzi no130 dishohihkan Asy Syaikh Al Albani dalam kitab Irwa’ no6817.
2. Dia
mendatangi dukun lulu dia bertanya kepadanya namun dia tidak percaya terhadap
ucapannya maka hal demikian harom, dan pelakunya mendapat hukuman tidak
diterima sholatnya selama empat puluh hari sebagaimana telah disebutkan dalam
hadits shohih Muslim no2230 bahwa nabi Sholallah alaihi wa Sallam
bersabda:
من أتى عرافا
فسأله لم تقبل له صلاة أربعين يوما
“Barang
siapa yang mendatangi tukang ramal kemudian dia bertanya padanya maka sholatnya
tidak diterima selama 40 hari”
dalam riwayat ini Rosul menyatakan bahwa hanya bertanya saja telah membuat sholatnya tidak diterima selama 40 hari. sehingga tidak selayakya kita mendatangi dukun atau tukang ramal lalu bertanya kepadanya walaupun hanya iseng-iseng saja.
الله مستعان و عليه تكلان
dalam riwayat ini Rosul menyatakan bahwa hanya bertanya saja telah membuat sholatnya tidak diterima selama 40 hari. sehingga tidak selayakya kita mendatangi dukun atau tukang ramal lalu bertanya kepadanya walaupun hanya iseng-iseng saja.
الله مستعان و عليه تكلان
3. Dia
mendatangi dukun kemudian dia bertanya kepadanya dalam rangka membongkar kedok
kebohonganya kepada manusia ,maka yang demikian tidak mengapa hal ini
berdasarkan tindakan Nabi Sholallahu alaihi wasallam mendatangi Ibnu Shoyyad
yang merupakan seorang dukun,beliau bertanya padanya untuk menunjukkan
kelamahannya bahwa dia tidak mengetahui perkara ghoib sebagaimana dalam riwayat
Bukhori no 1354 dan muslim no2923.
[ MEMAKAI JIMAT DAN RAJAH]
Masih sering kita dapati di
masyarakat kita, bayi yang memakai gelang atau kalung untuk menolak penyakit berupa
benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa
tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan
dagangan, mobil
yang didalamnya ada gantungan untuk mencegah kecelakaan, rumah yang pintunya
dipasang jimat-jimat untuk menolak bala’, dan contoh-contoh yang lain.
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ
لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang menggantungkan
(hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya.
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain,
yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya
jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).
Dalam
riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan
tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik”
(HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits
ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah
no. 492).
Dalam
tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana ia pernah melihat
seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia memotongnya. Lantas
Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا
وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
Begitu
pula Waki’ pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah mengunjungi
orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas orang sakit tersebut
dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa
menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun
memotong benang tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam
keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu”
(Fathul Majid, 132).
Rangkuman
hukum memakai gelang/kalung :
1)
Jika memakai dengan
keyakinan kalung tersebut memiliki kekuatan menolak bala dengan sendirinya :
syirik akbar.
2)
Jika memakai dengan
keyakinan kalung tersebut memiliki kekuatan menolak bala atas ijin Allah ta’ala
tanpa ada bukti ilmiyah dan logis : maka syirik kecil.
3)
Jika memakai kalung tanpa
ada keyakinan kalung emas bagi laki-laki : dosa besar.
4)
Jika memakai kalung
tanpa keyakinan kekuatan, bagi wanita : boleh.
Abul
hasan ali
[
ZODIAK / RAMALAN BINTANG ]
Tiga Fungsi Bintang di Langit
Fungsi
pertama: Untuk melempar setan-setan yang akan mencuri
berita langit. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat Al Mulk,
وَجَعَلْنَاهَا
رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
“Dan Kami jadikan bintang-bintang
itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang
menyala-nyala.” (QS. Al Mulk: 5)
Fungsi
kedua: Sebagai penunjuk arah seperti rasi bintang yang
menjadi penunjuk bagi nelayan di laut.
وَعَلامَاتٍ
وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda
(penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.”
(QS. An Nahl: 16). Allah menjadikan bagi para musafir tanda-tanda yang mereka
dapat gunakan sebagai petunjuk di bumi dan sebagai tanda-tanda di langit.[2]
Fungsi
ketiga: Sebagai penerang dan penghias langit dunia.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا
بِمَصَابِيحَ
“Sesungguhnya Kami telah
menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (QS.
Al Mulk: 5)
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا
بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya Kami telah
menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.”
(QS. Ash Shofaat: 6)
Ilmu yang Mempelajari Posisi
Benda Langit
Ilmu astrologi (ilmu ta’tsir)
Astrologi
adalah ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet,
bulan dan matahari) dengan nasib manusia.
Misalnya,
orang yang lahir awal desember akan berzodiak Sagitarius, karena pada tanggal
tersebut Matahari berada di wilayah rasi bintang Sagitarius.
Rasi-rasi bintang tersebut adalah:Capricornus:
Kambing lautAquarius: Pembawa AirPisces: Ika
Keyakinan Terhadap Zodiak dan
Ramalan Bintang
Ada
tiga macam keyakinan yang dimaksud dan ketiga-tiganya haram.
Pertama:
Keyakinan bahwa posisi benda langit yang menciptakan segala kejadian yang ada
di alam semesta dan segala kejadian berasal dari pergerakan benda langit.
Keyakinan
semacam ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh Ash Shobi-ah. Mereka
mengingkari Allah sebagai pencipta. Segala kejadian yang ada diciptakan oleh
benda langit. Pergerakan benda langit yang ada dapat diklaim menimbulkan
kejadian baik dan buruk di alam semesta. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan yang kufur berdasarkan
kesepakatan para ulama.
Kedua:
Keyakinan bahwa posisi benda langit yang ada hanyalah sebagai sebab (ta’tsir)
dan benda tersebut tidak menciptakan segala kejadian yang ada. Yang menciptakan
setiap kejadian hanyalah Allah, sedangkan posisi benda langit tersebut hanyalah
sebab semata. Keyakinan semacam ini juga tetap keliru dan termasuk syirik ashgor.
Karena Allah sendiri tidak pernah menjadikan benda langit tersebut sebagai
sebab. Allah pun tidak pernah menganggapnya punya kaitan dengan kejadian yang
ada di muka bumi, seperti turunnya hujan dan bertiupnya angin. Semua ini
kembali pada pengaturan Allah dan atas izin-Nya, dan sama sekali tidak ada
kaitannya dengan kedudukan benda langit yang ada. Allah hanya menciptakan
bintang untuk tiga tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Ketiga:
Posisi benda langit sebagai petunjuk untuk peristiwa masa akan datang.
Keyakinan semacam ini berarti mengaku-ngaku ilmu ghoib. Ini termasuk perdukunan
dan sihir. Perbuatan semacam ini termasuk kekufuran berdasarkan kesepakatan
para ulama.[9]
Intinya,
ketiga keyakinan di atas adalah keyakinan yang keliru, walaupun hanya
menganggap sebagai sebab atau hanya sebagai ramalan. Namun sayangnya, keyakinan
semacam inilah yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat muslim. Mereka
begitu semangat menikmati ramalan tersebut di majalah, koran, dan di dunia maya
(seperti di situs jejaring sosial yaitu Facebook dan Friendster). Sebagian
mereka pun mempercayai ramalan-ramalan bintang tadi. Apalagi jika memang
ramalan itu pas dengan kondisi keuangan dan asmaranya saat itu. Sungguh, ini merupakan musibah
besar di tubuh umat ini. Membaca sampai membenarkan lamaran tadi pun dianggap
hal lumrah dan tidak bernilai dosa. –Wal ‘iyadzu billah-
diriwayatkan
oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu
‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ
اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا
زَادَ
“Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan,
maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah
dan terus bertambah.(
kesesatan dan kekafiran ).
[ PRIMBON ]
Tidak boleh menikah
pada hari Sabtu wage, karena bertepatan dengan hari “weton” (kelahirannya).
Tidak boleh nikah pada bulan suro karena bisa mendatangkan kesialan. Nyaris
nabrak kucing sebagai tanda peringatan kecelakaan, cicak jatuh sebagai tanda
mara bahaya, burung gagak sebagai tanda kematian, dll.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ
أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kepercayaan
seperti itu adalah perbuatan yang dapat merusak tauhid karena ia termasuk
kesyirikan. Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara
marfu’,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا
إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Tathoyyur( mempercayai kesialan pada hari/benda
tertentu) adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang
pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan
tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir
adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)
II.
MENYEBARKAN SUNNAH MEMBERANTAS BID’AH
A.
PENGERTIAN AS-SUNNAH MENURUT SYARI’AT
·
Menurut ulama ahli
hadits : segala sesuatu yang berasal dari Nabi –shalallahu ‘alaihi
wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau meninggalkan dalam
rangka menjelaskan syariat.
·
Menurut ulama ahli
fiqh :
sesuatu yang diperintahkan oleh syariat dengan perintah yang tidak harus
dikerjakan.
·
Menurut ulama
ushuluddiin : keyakinan yang harus
tertanam dalam hati seseorang.
Sedangkan sunnah yang dimaksud dalam pembahasan
ini adalah sunnah menurut ulama ahli hadits.
B.
PENTINGNYA MEMAHAMI AL QUR’AN DENGAN SUNNAH
Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata : “Al-Qur’an lebih membutuhkan
As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur’an”, diriwayatkan oleh Said bin
Mansur.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata : ‘As-Sunnah
memutuskan (menetapkan) Al-Qur’an dan tidaklah Al-Qur’an memutuskan
(menetapkan) As-Sunnah”, diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Said bin Manshur.
Al-Baihaqi berkata : “Maksud dari ungkapan di atas, bahwa kedudukan
As-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai yang menerangkan sesuatu yang
datang dari Allah, sebagaimana firman Allah.
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. [An-Nahl/16 : 44]
Bukan berarti bahwa sesuatu dari As-Sunnah bertentangan dengan
Al-Qur’an, karena sunnah yang shahihah tidak mungkin bertentangan dengan Al
Qur’an dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin dan tidak
berani menentang Al Qur’an.
Allah
ta’ala berfirman,
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada
lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS. An
Najm: 3-4)
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ (47) وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِلْمُتَّقِينَ (48)
Seandainya dia
(Muhammad) mengada-adakan kedustaan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami
pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat
menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur’an
itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. [Al Haaqah
44-47]
Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an
dengan As-Sunnah selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah
disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada
Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah
mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ
“…Sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang
kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah,
bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura: 52-53]
Fungsi Hadits Rasulullah SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu
bermacam–macam. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan
al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’.
Agar masalah ini lebih jelas, maka dibawah ini akan di uraikan satu per
satu :
- Bayan Taqrir
Bayan al-taqrir : Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan
dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Suatu contoh
hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai
berikut:
قَالَ رَسُلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لاَتُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya: “Rasulullah s.a.w telah bersabda: Tidak diterima shalat
seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”. (HR.
Bukhari).
Hadis ini mentaqrir QS Al-Maidah (5):6 mengenai
keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat. Yang artinya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki……” (QS.
Al-Maidah (5): 6).
- Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan
rinciaan dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat
umum.
Sebagai contoh,
·
merinci ayat yang
global :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Shalatlah sebagaimana engakau melihat aku shalat”. (HR.
Bukhari).
Salah satunya ayat yang memerintahkan shalat
adalah:
Artinya: “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku” . (QS. Al-Baqarah (2): 43).
·
Memberi kekhususan ayat
yang umum
Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah daging babi…”
Rasulullah SAW bersabda tentang halalnya dua bangkai
dan dan dua darah :
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا
الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ
وَالطِّحَال
Telah dihalalkan bagi
kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua
darah itu adalah hati dan limpa. (HR. Ahmad dan
Al-Baihaqi)
- Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan Bayan Al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran
yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat
pokok-pokoknya saja.
Hadits-hadits Rasulullah yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya
hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara
isteri dengan bibinya),
صحيح البخاري (16/ 63)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا
وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari
jalur ibu atau ayah.” (H.R.Bukhari)
- Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di
atas disepekati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit
perbedaan yang terutama menyangkut defenisi (pengertian) nya saja.
hadits yang berbunyi :
لاَ وَصِيَةَ لِوَارِثٍ
Artinya: “ tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka menasakh isi firman Allah
SWT :
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah
(2): 180).
MACAM-MACAM SUNNAH :
I.
Sunnah qauliyah (sunnah
dalam bentuk ucapan)
II.
Sunnah fi’liyah (sunnah
yang berupa perbuatan)
III.
Sunnah taqririyah(persetujuan)
IV.
Sunnah tarkiyah
(meninggalkan sesuatu ).
1) SUNNAH QAULIYAH
Adalah sunnah yang berupa ucapan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ
مَا لاَ يَعْنِيْهِ.
“Di antara kebaikan
Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.”
[Bukhari Muslim]
Dan jika dalam ucapan Nabi tersebut ada kata perintah (shighoh amr)
maka menghasilkan hukum wajib bagi kita untuk melakukannya, misalnya :
2) SUNNAH FI’LIYAH
Adalah sunnah yang berupa perbuatan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sunnah Fi’liyah ada 2 macam :
1 Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan dalam
rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala.
2 Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan bukan
dalam rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala.
a) Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan dalam
rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala, terbagi lagi menjadi 2
macam :
·
Perbuatan ketaatan
yang ada dalil menunjukkan kekhususan hanya boleh dikerjakan oleh Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ; menikah lebih dari 4 istri, puasa
wishol, nikah hibah....
ü
Hukumnya : haram bagi
umatnya untuk mencontohnya dan melaksanakannya.
·
Perbuatan ketaatan yang
tidak ada dalil menunjukkan kekhususan, misalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam menyukai mendahulukan bagian tubuh kanan saat bersuci, memakai sandal
dan bersisir.
ü
Hukumnya : sunnah bagi umatnya untuk mencontoh dan
melaksanakannya.
b) Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan bukan
dalam rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala, terbagi lagi
menjadi 2 macam :
·
Perbuatan karena tuntutan badan, misalnya tidur, makan, minum,
duduk.
ü
Hukumnya : mubah.
ü
Kecuali jika dalam
perbuatan tersebut ada tata-cara (adab) khusus maka disyariatkan kita
melaksanakannya dengan tata cara tersebut, misalnya : makan minum dengan tangan
kanan, makan minum dengan duduk, tidur dengan miring sebelah kanan, duduk
dengan bersila setelah shalat.
·
Perbuatan karena
menyesuaikan adat kebiasaan, misalnya memakai cincin dari perak bagi laki-laki,
duduk bersandar setelah shalat fajar, panjang rambut kepala.
ü
Hukumnya : sunnah kita melaksanakannya disesuaikan
dengan adat.
3) SUNNAH TAQRIRIYAH
Adalah sunnah yang berupa persetujuan Nabi
shalallahu alaihi wa salam atas ucapan dan perbuatan shahabat, misalnya
bolehnya imam shalat sunnah makmumnya shalat wajib, halalnya binatang
“dob”(iguana), shalat sunnah setelah wudhu.
Terbagi menjadi 2 macam :
·
Perbuatan yang
langsung disaksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
·
Perbuatan yang
tidak langsung disaksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi
terjadi pada masa kenabiannya, misalnya bolehnya “azl”.
4) SUNNAH TARKIYAH
Adalah suatu perbuatan yang sengaja
ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Perkara-perkara yang ditinggalkan
Nabi ﷺ tidak
lepas dari salah satu keadaan berikut,
Pertama; Nabi ﷺ meninggalkan suatu amalan/perbuatan karena pada jaman Nabi tidak pernah terjadi sehingga tidak adanya alasan yang mengharuskannya untuk melakukannya.
Contohnya adalah perkara memerangi orang-orang muslim yang menolak membayar zakat mal mereka.
Pertama; Nabi ﷺ meninggalkan suatu amalan/perbuatan karena pada jaman Nabi tidak pernah terjadi sehingga tidak adanya alasan yang mengharuskannya untuk melakukannya.
Contohnya adalah perkara memerangi orang-orang muslim yang menolak membayar zakat mal mereka.
Pada jaman Nabi tidak pernah
terjadi penolakan pembayaran zakat mal, sehingga pada Nabi pun tidak pernah memerangi
orang yang tidak membayar zakat.
Terjadi pada jaman Abu Bakar as
sidiq, kemudian Abu bakar melakukan peperangan kepada mereka
Karena ada alasan yang mengharuskannya, maka
perbuatan Abu bakar tidak meyelisihi sunnah Nabi.
Inilah yang telah diamalkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, berbeda dengan apa yang dipahami Umar radhiyallahu 'anhu.
Ijtihad Abu Bakr tersebut adalah amalan yang sejalan dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ.
Kedua; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang memiliki alasan untuk dikerjakan, namun terdapat sebab yang menghalangi untuk dilakukannya perbuatan tersebut.
Contohnya adalah qiyam Ramadhan secara berjamaah yang beliau ﷺ tinggalkan dengan sebab kekhawatiran beliau bahwa shalat itu akan diwajibkan.
Jika sebab tersebut telah hilang dengan kematian beliau ﷺ, maka perbuatan/amalan yang telah beliau tinggalkan adalah sebuah perkara yang masyru' (disyari'atkan) untuk dihidupkan kembali dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Seperti halnya perbuatan Umar radhiyallahu 'anhu yang menghidupkan kembali qiyam Ramadhan secara berjamaah; perbuatan ini adalah perbuatan yang selaras dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ, karena terdapat dalil-dalil yang shahih tentang disyari'atkannya amalan tersebut.
Inilah yang telah diamalkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, berbeda dengan apa yang dipahami Umar radhiyallahu 'anhu.
Ijtihad Abu Bakr tersebut adalah amalan yang sejalan dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ.
Kedua; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang memiliki alasan untuk dikerjakan, namun terdapat sebab yang menghalangi untuk dilakukannya perbuatan tersebut.
Contohnya adalah qiyam Ramadhan secara berjamaah yang beliau ﷺ tinggalkan dengan sebab kekhawatiran beliau bahwa shalat itu akan diwajibkan.
Jika sebab tersebut telah hilang dengan kematian beliau ﷺ, maka perbuatan/amalan yang telah beliau tinggalkan adalah sebuah perkara yang masyru' (disyari'atkan) untuk dihidupkan kembali dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Seperti halnya perbuatan Umar radhiyallahu 'anhu yang menghidupkan kembali qiyam Ramadhan secara berjamaah; perbuatan ini adalah perbuatan yang selaras dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ, karena terdapat dalil-dalil yang shahih tentang disyari'atkannya amalan tersebut.
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu
mushaf
Ketiga; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak terdapat penghalang bagi dilakukannya amalan tersebut.
Dalam kasus seperti ini, perbuatan beliau ﷺ yang meninggalkan amalan tersebut disebut sebagai "sunnah", dan itulah yang diistilahkan sebagai "as-sunnah at-tarkiyyah".
Jika Nabi ﷺ meninggalkan sebuah amalan, walaupun terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak ada penghalang bagi dilakukannya amalan itu, maka kita harus mengetahui bahwa beliau meninggalkannya semata-mata karena itulah sunnah yang beliau ajarkan kepada umatnya untuk ditinggalkan.
Contohnya adalah melafazkan niat dalam ibadah, tidak adanya adzan dalam shalat 'Id, tidak adanya shalawatan setelah adzan.
Kaedahnya : Perbuatan Nabi ﷺ yang meninggalkan suatu amalan tertentu dengan adanya alasan yang bisa menguatkan perlunya dilakukannya amalan tersebut dan ketiadaan penghalang bagi pelaksanaannya, maka itulah sunnah dan menambahkan atau mengerjakannya adalah bid'ah.*
Ketiga; Nabi ﷺ meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak terdapat penghalang bagi dilakukannya amalan tersebut.
Dalam kasus seperti ini, perbuatan beliau ﷺ yang meninggalkan amalan tersebut disebut sebagai "sunnah", dan itulah yang diistilahkan sebagai "as-sunnah at-tarkiyyah".
Jika Nabi ﷺ meninggalkan sebuah amalan, walaupun terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak ada penghalang bagi dilakukannya amalan itu, maka kita harus mengetahui bahwa beliau meninggalkannya semata-mata karena itulah sunnah yang beliau ajarkan kepada umatnya untuk ditinggalkan.
Contohnya adalah melafazkan niat dalam ibadah, tidak adanya adzan dalam shalat 'Id, tidak adanya shalawatan setelah adzan.
Kaedahnya : Perbuatan Nabi ﷺ yang meninggalkan suatu amalan tertentu dengan adanya alasan yang bisa menguatkan perlunya dilakukannya amalan tersebut dan ketiadaan penghalang bagi pelaksanaannya, maka itulah sunnah dan menambahkan atau mengerjakannya adalah bid'ah.*
III.
MEMBERANTAS BID’AH
a. PENGERTIAN
BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara
bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al
Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy
Syamilah)
Hal ini
sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al
Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat)
tanpa ada contoh sebelumnya.
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah
secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam
Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah
adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ
طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ
بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada
dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika
menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi yang
tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ :
مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ
الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah
i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau
ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya
pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama
setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz
Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil
dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
b.
Macam –macam
bid’ah
Ditinjau dari
hubungannya dengan syari’at, bid’ah terbagi menjadi dua:
- Bid’ah Haqiqiyyah.
- Bid’ah Idhafiyyah.
Dalam kitabnya
yang sangat monumental, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah haqiqiyyah
sebagai berikut:
اَلْبِدْعَةُ الحَقِيْقِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَمْ
يَدُلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ لاَ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ
إِجْمَاعٍ وَلاَ اسْتِدْلاَلٍ مُعْتَبَرٍ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ فِي
الْجُمْلَةِ وَلاَ فِي التَّفْصِيْلِ, وَلذَلِكَ سُمِّيَتْ بِدْعَةً لأَِنَّهَا
شَيْءٌ مُخْتَرَعٌ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ (مختصر الاعتصام, ص 71).
Bid’ah
haqiqiyyah ialah bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya sama
sekali. Baik dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun istidlal yang
mu’tabar
menurut para ulama. Ia sama sekali tak memiliki dalil
baik secara umum maupun terperinci, karenanya ia dinamakan bid’ah berangkat
dari hakekatnya yang memang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Contoh bid’ah
haqiqiyyah yang akrab dengan masyarakat Indonesia misalnya: puasa mutih,
puasa pati geni, padusan (mandi) menjelang
datangnya bulan Ramadhan, peringatan bagi orang yang telah meninggal; 7 hari,
40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya
Sedangkan
bid’ah idhafiyyah menurut Imam Asy Syathiby definisinya ialah:
البِدْعَةُ الإِضَافِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَهَا
شَائِبَتَانِ: إِحْدَاهُمَا: لَهَا مِنَ الأَدِلَّةِ
مُتَعَلَّقٌ, فَلاَ تَكُونُ مِنْ تِلْكَ الْجِهَةِ بِدْعَةً. وَالأُخْرَى: لَيْسَ
لَهَا مُتَعَلَّقٌ إِلاَّ مِثْلَ مَا لِلْبِدْعَةِ الحَقِيْقِيَّةِ. وَالْفَرْقُ
بَيْنَهُمَا مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى: أَنَّ الدَّلِيْلَ عَلَيْهَا مِنْ
جِهَةِ الأَصْلِ قَائِمٌ, وَمِنْ جِهَةِ الْكَيْفِيَّاتِ أَوِ الأَحْوَالِ أَوِ
التَّفْصِيْلِ لَمْ يَقُمْ عَلَيْهَا, مَعَ أَنَّهَا مُحْتَاجَةٌ إِلَيْهِ لِأَنَّ
الْغَالِبَ وُقُوْعُهَا فِي التَّعَبُّدِيَّاتِ لاَ فِي الْعَادِيَّاتِ
الْمَحْضَةِ (مختصر الاعتصام, ص 71)
Bid’ah
Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah
satunya memiliki kaitan dengan dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak
termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya, namun persis seperti
bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya ialah:
bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan
menurut dalil syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan
detail-detailnya tidak bersandarkan pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini
amat membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan dengan praktik ibadah
dan bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).
Contoh kongkrit
dari bid’ah idhafiyyah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Tapi yang
paling akrab dengan masyarakat Indonesia seperti yasinan, tahlilan, shalawatan,
membaca wirid bersama selepas shalat dengan dikomandoi oleh Imam, membaca
shalawat sebelum adzan dan iqamah, mengkhususkan malam nisfu Sya’ban untuk
melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain sebagainya. Bahkan sebagian besar
bid’ah yang kita jumpai saat ini rata-rata termasuk bid’ah idhafiyyah. Meski
demikian, bahaya yang ditimbulkannya tidak lebih kecil dari bid’ah haqiqiyyah;
bahkan lebih besar, mengapa? Karena sepintas ia merupakan taqarrub kepada
Allah, hingga banyak orang tertipu dengan ‘penampilan luarnya’, padahal
sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang dibenci syari’at.
Pembagian
bid’ah lainnya yang dibenarkan ialah yang didasarkan pada bahaya yang
ditimbulkannya. Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:
- Bid’ah Mukaffirah.
- Bid’ah Ghairu Mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar
dari Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan; seperti bid’ahnya
orang-orang Jahmiyyah), bid’ahnya Syi’ah
Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariah[3]), bid’ahnya mereka yang mengingkari takdir Allah (Qadariyyah)[4]), dan lain-lain.
Sedangkan bid’ah ghairu
mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi
kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu bid’ah tidak sama
dengan dosa bid’ah lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk bid’ah itu
sendiri dan keadaan pelakunya. Namun bagaimanapun juga bid’ahnya tetap
tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas dan berangkat dari
kejahilan.
c.
Semua bid’ah
sesat
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat
An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap
kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An
Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih
wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan
dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu
menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini
bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai
Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan
wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan
kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun
yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di
antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh
karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin
yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan
gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih
wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari
Perkataan Sahabat]
Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ
بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ
السُّنَنُ
“Setiap tahun
ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup
adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan
oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya
tsiqoh/terpercaya)
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah.
Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no.
8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para
perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
IV.
TAAT KEPADA PEMERINTAH
A.
JALAN MEMPEROLEH
KEKUASAAN.
Melalui
3 cara :
1.
Syura dipilih oleh ahlul hali wal
‘aqdi : dalil dan contohnya adalah kepemimpinan
Abu Bakar dan Utsman di pilih melalui syura.
2.
Ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya : dalil dan contohnya kepemimpinan Umar bin
Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar dan telah ada konsensus (ijma’) ulama bolehnya
2 hal tersebut.
3.
Menggulingkan kekuasaan
sebelumnya : jika ada kudeta kemudian
penguasa yang lama terguling dan penguasa baru telah mencapai pucuk kepemimpinan,
maka tidak boleh bagi seorang mukmin untuk melakukan kudeta kepada pemimpin
yang baru tersebut, dan wajib setia di bawah kepemimpinannya, agar tidak
terjadi lagi pertumpahan darah lagi.
Dalilnya :
Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah. Di dalamnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ،
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي،
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku
wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk
mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah
seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian
(para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi
kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun
–orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan
gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan
perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah
sesat”. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi]
B.
TAAT KEPADA PENGUASA TERMASUK
BAGIAN KETAATAN KEPADA ALLAH.
Seorang
mukmin wajib taat kepada penguasanya dan hal ini termasuk bagian dari ibadah,
bagian dari ketaatan kepada Allah ta’ala, yang kita semua mengaharap imbalan
pahala dari Allah ta’ala.
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي
فَقَدْ عَصَانِي.
“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada
Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada
Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku
dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.” [ HR
Bukhori Muslim ]
C.
TAAT KEPADA PENGUASA DALAM RANGKA
MENJAGA MASLAHAT UMUM.
Ketaatan kepada penguasa dalam
rangka menjaga maslahat umum, menjaga keamanan secara luas, menjaga darah umat,
bukan dalam rangka basa-basi dan menjilat penguasa, walaupun harus mengorbankan
kepentingan pribadi dan golongan. Oleh sebab itu kita tetap diperintahkan untuk
taat dalam keadaan “rela” maupun “terpaksa” bersabar dengan kedzaliman mereka.
عَلَيْكَ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ
وَأَثَرةٍ عَلَيْكَ
“Hendaknya
engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah ataupun
senang, dalam keadaan rela ataupun terpaksa, bahkan sekalipun dalam keadaan dia
bertindak sewenang-wenang terhadap kalian.” (HR. Muslim dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
D.
Rakyat tetap wajib memberikan hak
penguasa dengan sebaik-baiknya, walaupun penguasa tidak memberikan hak rakyat
dengan baik.
Karena ketaatan kepada pemimpin
dalam rangka melaksanakan perintah Allah, bukan karena keadaan pemimpin
tersebut, jadi tetap wajib kita melaksanakan ketaatan kepada mereka sama saja
pemimpinnya baik atau pemimpinnya dholim.
(( يا نبي الله "، ارأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم، ويمنعونا
حقنا، فما تأمرنا؟ فأَعرضَ عنه، ثم سأله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
اسمعوا وأطيعوا؛ فإنما عليهم ما حُملوا، وعليكم ما حملتم)
رواهُ
مسلم
Wahai Nabi Allah, bagaimana menurut
pendapatmu, jika berkuasa atas kami para pemimpin yang menuntut hak mereka atas
rakyat, tetapi tidak memberikan hak rakyat, apa yang Engkau perintahkan kepada
kami ? Rasulullah berpaling darinya, kemudian orang tersebut bertanya lagi,
maka berkatalah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam : “ tetap dengar dan
taatilah mereka....sesungguhnya mereka akan menanggung dari perbuatan mereka,
dan kalian akan menanggung perbuatan kalian. [ HR Muslim ]
E.
Kondisi dan keadaan seorang
penguasa.
Keadaan
seorang penguasa, terbagi menjadi 2 macam :
1. Kondisi
yang berkaitan dengan perbuatannya untuk dirinya sendiri.
2. Kondisi
yang berkaitan dengan aturan-aturannya untuk rakyatnya.
1) Kondisi
seorang penguasa berkaitan dengan perbuatannya untuk dirinya sendiri.
Ada 5
macam :
1) Perbuatan
seorang pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah ta’ala.
Seperti
jika ada seorang pemimpin yang melaksanakan shalat berjamaah, puasa, zakat,
haji, berkurban, melarang kemaksiatan, membubarkan perjudian, menutup
lokalisasi, maka wajib bagi rakyat untuk menunjukkan loyalitas kepadanya,
kecintaan dan pujian kepadanya dan membantunya dalam ketaatan, sesuai dengan
firman Allah ta’ala :at taubah 71.
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2) Perbuatan
seorang pemimpin dalam hal-hal yang mubah dalam batas syariah.
Seperti
seorang pemimpin yang membangun rumah yang mewah, kendaraan yang bagus, harta
yang melimpah, makanan dan minuman yang lezat.
Dengan
catatan :
a) Cara
memperolehnya melalui jalan yang halal.
b) Tetap
melaksanakan kewajiban harta berupa zakat.
c) Tanpa ada
unsur isrof/ berlebihan.
d) Tidak
menimbulkan kesombongan.
Rakyat
tidak boleh mencela seorang pemimpin dalam kondisi seperti itu, karena syariat
Islam tidak mencelanya dan memberikan kelonggaran dalam permasalahan mubah
dalam batas syariah.
Dalilnya
:
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ
أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( كُلْ,
وَاشْرَبْ, وَالْبَسْ, وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ, وَلَا مَخِيلَةٍ
) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَأَحْمَدُ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari ‘Amr
Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, radhiyallāhu ‘anhum (semoga Allāh
meridhai mereka) berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Makanlah
dan minumlah dan berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebihan (isrāf) dan
tanpa kesombongan.”
(HR Abū
Dāwūd dan Ahmad dan Al-Imām Al-Bukhāri meriwayatkan secara ta’liq)
Dan
juga yang perlu kita cermati, keadaan seorang penguasa terkadang berbeda dengan
keadaan seorang rakyat, penguasa membutuhkan kewibawaan, keamanan, menampakkan
kemuliaan Islam, pemuliaan tamu-tamu negara dan sebab lainnya yang membutuhkan
kemewahan dan sesuatu yang lebih daripada rakyat biasa, seperti kisah Muawiyah saat
menyambut Umar di Damaskus ibukota Syam, dengan sambutan yang sangat mewah dan
diiringi pawai yang sangat besar, maka Umar pun berkomentar : “ Kisra Arab”. Setelah dekat dengan
Muawiyah maka Umar pun bertanya : “ kamu yang membuat pawai yang besar ini”.
Muawiyah : “benar wahai Amirul Mukminin”.
Umar :
“telah sampai berita kepadaku, masih adanya orang-orang yang membutuhkan
bantuan, yang berdiri di depan pintumu”.
Muawiyah : “benar, masih ada orang-orang yang
membutuhkan bantuan berdiri di depan pintuku.”
Umar : lalu kenapa Engkau masih melakukan pawai
seperti ini ?
Muawiyah : “Kita berada di tempat, dimana
intel-intel musuh sangat banyak, maka harus kita tampakkan kewibawaan penguasa
Islam yang bisa menggetarkan hati-hati mereka”.
Jika Engkau perintahkan aku untuk melanjutkan hal ini, maka siap akan
aku lanjutkan, tetapi jika Engkau melarangku pasti akan aku tinggalkan”.
Umar :
“ jika benar apa yang kamu katakan, maka itu suatu pemikiran yang cerdik, dan
jika batil yang kamu katakan maka itu suatu tipuan yang halus”.
Muawiyah
: berikan instruksi kepadaku wahai Amiirul Mukminin.
Umar :
aku tidak memerintahkan dan tidak melarangnya. [ Tarikh Dimask Ibn Asakir
:59/112 ]
3) Perbuatan
seorang pemimpin dalam hal meninggalkan sesuatu yang sunnah (dianjurkan) dan
melakukan hal-hal yang makruh.
Seperti
seorang pemimpin yang tidak mengerjakan shalat malam, tidak bisa membaca Al
Qur’an, tidak melakukan puasa sunnah. Perbuatan makruh misalnya mengakhirkan
buka dan menyegerakan sahur, baik hal tersebut berkaitan dengan dirinya sendiri
atau hal-hal yang berkaitan dengan orang lain, misalnya : pemimpin yang jadi
imam shalat, mengakhirkan dari waktu awal yang utama.
Sikap
seorang muslim adalah menasehati dengan baik, lembut dan sopan tanpa ada unsur
celaan dan perendahan kepada seorang pemimpin dan tetap menjaga kekuasaan dan
persatuan, tidak menimbulkan perpecahan.
Kisah
ibnu masud dengan Utsman :
Berkata
Imam Al Baihaqi : Ibnu mas’ud
menyalahkan Utsman karena menyempurnakan shalat di Mina dan tidak menqosornya.
Berkata
Alqomah : ibnu mas’ud shalat
mengimami kami dan menyempurnakannya tidak mengqosor, maka aku berkata
kepadanya, kenapa Engkau melakukan sesuatu yang engkau telah menyalahkannya? Maka berkatalah Ibnu
Mas’ud : “ perselisihan itu tercela” [ Ma’rifatus sunnah dan atsar 4/260 ]
4) Perbuatan
seorang pemimpin yang terkandung dosa, kedzaliman dan kemaksiatan tetapi belum
sampai ke tingkat kekafiran.
Misalnya
perlindungan kepada perjudian, minuman keras, prostitusi, korupsi dan lainya.
Sikap seorang mukmin adalah :
a) Membenci
perbuatan tersebut dan mengingkari dalam hatinya.
b) Menasehati
secara rahasia, melalui surat atau media lainya tanpa diumbar di khalayak umum.
c) Mendoakan
kebaikan kepada pemimpin agar kembali kepada jalan yang benar.
d) Bersabar/menahan
diri saat ada kedzaliman kepada dirinya berupa perampasan harta atau penyiksaan
fisik.
e) Tetap
mendengar dan taat dan tidak boleh melakukan kudeta.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« يَكُونُ بَعْدِى
أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ
فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ
قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ «
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ ».
“Nanti
setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam
ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan
ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun
jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus
aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada
pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah
mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat
penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih,
15/343, Maktabah Syamilah)
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ
عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ
فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati
seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi
hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika
dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.)
dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan
kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)[1]
5) Perbuatan
seorang pemimpin yang terkandung dosa sampai tingkat kekafiran.
Seperti
perbuatan pemimpin Libia Muamar Khaddafi, perbuatan pemimpin Iraq Saddam
Husain, pemimpin Suriah Bassar Asad.
Yang
harus dilakukan oleh seorang muslim :
a) Menasehatinya
secara rahasia dengan cara hikmah tanpa
di sebarkan di muka umum, jika pemimpim menerima nasehat dan bertaubat
dari perbuatan kafir tersebut maka itu yang diharapkan, loyalitas, ketaatan dan
kekuasaan tetap menjadi haknya, karena taubat menghapus semua dosa sebelumnya.
b) Jika
pemimpin tidak menerima nasehat dan terus melanjutkan kekafirannya, maka wajib
untuk digulingkan dengan syarat-syarat berikut ini :
(1) Kekafiran
yang terbukti dengan jelas, nyata, terang-terangan, tersebar luas.
Berdasarkan :
(2) Dengan
sengaja, bukan karena ketidaktahuan dan bukan karena keterpaksaan.
Berdasarkan :
(3) Kemampuan
rakyat untuk menggulingkannya.
Berdasarkan
:
(4) tidak terjadi
kejelekan yang lebih besar.
(5) Konsultasi
dengan para ulama kibar.
a) Kondisi
seorang penguasa berkaitan dengan
aturan-aturan untuk rakyatnya.
(1) Aturan
dari penguasa yang mewajibkan sesuatu yang diwajibkan oleh syariat dan
mengharamkan sesuatu yang diharamkan syariat.
Seperti
aturan wajibnya shalat jum’at berjama’ah di masjid kantor, atau wajibnya
membayar zakat bagi PNS. Larangan untuk pungli, korupsi, mabuk dan memakai
narkotika.
Hukumnya : wajib bagi rakyat untuk mentaatinya
karena 2 alasan, taat kepada aturan syariat dan taat kepada aturan pemerintah.
Dalil :
(2) Aturan
dari pemerintah yang mewajibkan sesuatu
yang disunnahkan syariat dan mengharamkan sesuatu yang dimakruhkan oleh
syariat, karena ada alasan tertentu.
Seperti
aturan wajibnya bagi para pegawai untuk bersedekah tiap awal bulan setelah
gajian untuk kegiatan sosial, maka hukumnya wajib bagi rakyat untuk mematuhi
dan mentaatinya.
Berdasarkan
:
“Wajib
bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat kepada pemerintah dalam hal-hal
yang dia sukai maupun dalam hal yang dia benci, selama mereka tidak
memerintahkan kemaksiatan.”
Berkata
Imam Zainuddin Al Munawi : “ dalam hadits diatas menunjukkan jika Imam
memerintahkan sesuatu yang sunnah dan mubah maka hukumnya menjadi wajib”.
(3) Aturan
dari pemerintah yang mewajibkan sesuatu yang dimubahkan syariat atau
melarang sesuatu yang dimubahkan
syariat.
Seperti
aturan wajibnya ijin edar dan sertifikat halal bagi perdagangan makanan dan
obat-obatan. Aturan-aturan dalam berlalu lintas seperti larangan mengendarai
sepeda motor bagi yang belum punya SIM, aturan dalam bepergian ke luar negri seperti
larangan bepergian ke luar negri bagi
yang tidak punya paspor atau visa resmi.
Hukumnya
: wajib bagi rakyat untuk melaksanakannya, berdasarkan dalil-dalil diatas.
(4) Aturan
dari pemerintah untuk meninggalkan amalan sunnah atau mewajibkan melakukan
sesuatu yang makruh, karena ada alasan tertentu.
Seperti
aturan pembatasan kuota haji dan umroh, karena khawatir kepadatan yang
berlebihan. Aturan bagi para pegawai negri tidak boleh shalat dhuha saat jam
kerja, karena padatnya pelayanan kepada masyarakat. Kewajiban untuk jaga
malam/ronda bagi warga secara bergiliran untuk menjaga keamanan. Larangan
menikah pada usia dini.
Maka
hukumnya : wajib bagi warga atau rakyat untuk mentaati aturan aturan tersebut,
berdasarkan :
·
Hadits seorang wanita tidak boleh puasa kecuali
atas ijin suaminya.
·
Kisah Ammar bin Yasir berkaitan dengan hadits
bolehnya tayammum bagi orang yang junub, Ammar pernah mendengar hadits tersebut
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Amiirul Mukminin Umar lupa
hadits tersebut.
Umar
berkata :”Bertaqwalah kepada Allah wahai Ammar “. –hati-hati dalam menyampaikan
hadits-
Ammar
berkata : “Jika Engkau inginkan aku tidak akan menyampaikan hadits tersebut [
HR Muslim 368 ].
·
Kisah Abu Hanifah saat dilarang oleh penguasa
untuk berfatwa, pada saat putrinya bertanya tentang perkara agama, maka jawab
Abu Hanifah : “bertanyalah kepada saudaramu Hammad, karena pemerintah
melarangku untuk berfatwa”.
(5) Aturan
dari pemerintah atau keputusan dari pemerintah dalam permasalahan
“ijtihadiyah”.
Permasalahan
“ijtihadiyah” adalah permasalahan yang ada perbedaan pendapat dikalangan ulama,
dan masing-masing pendapat berdasarkan dalil masing-masing, contohnya
permasalahan orang-orang yang berhak menerima zakat fitri, jumhur ulama
berpendapat 8 golongan dalam surat At taubah , sedangkan ulama yang lain
berpendapat, penerima zakat fitri khusus Faqir dan miskin saja, maka jika
pemerintah / Kemenag sudah memutuskan ikut pendapat jumhuur, maka wajib bagi
seluruh panitia zakat untuk mengikutinya.
Berkata
Imam Al Qorrafi : “Ketahuilah jika pemerintah telah menentukan sesuatu dalam
masalah Ijtihadiyah, maka dilarang ada perselisihan setelah adanya keputusan itu”.
[ Furuuq 2/103 ]
Berkata
Syaikh Utsaimin : “keputusan pemerintah, menghilangkan perbedaan pendapat, dan
mencegah perselisihan “. [ Syarh Mumti 12/318 ]
(6) Aturan
dari pemerintah untuk meninggalkan yang wajib atau memerintahkan yang dosa dan
maksiat.
Maka
sikap yang benar seorang muslim :
a. Tidak
melaksanakan aturan tersebut, karena :
b. Hal
tersebut tidak mengharuskan untuk menggulingkan kekuasaannya atau tidak
mentaatinya dalam aturan-aturan lain yang bukan maksiat.
c. Wajib
untuk selalu memberi nasehat dan masukan-masukan kepada pemerintah secara
rahasia tidak dibeberkan di muka umum kesalahan-kesalahannya, sesuai dengan
aturan syariat.
ALLAHU
TA’ALA A’LAM
Abul
Hasan Ali Cawas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar