Kenapa harus berpegang dengan Al
Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para shahabat / salaf.
A.
Berpegang dengan Al Qur’an.
Jelas.... semua orang Islam wajib berpegang
dengan Al Qur’an :
Allah Ta’ala berfirman,
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Alif lam mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan sedikit pun
padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Baqarah: 1-2)
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ
مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ
إِلَّا خَسَارٗا ٨٢
“Dan Kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`:
82)
B.
Berpegang dengan sunnah.
Karena As Sunnah
termasuk wahyu yang turun dari Allah juga sama dengan Al Qur’an :
firman Allåh:
وَالنَّجْم إِذَا هَوَىٰ . مَا ضَلَّ
صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ . وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ . إِنْ هُوَ إِلَّا
وَحْيٌ يُوحَىٰ
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu
(Muhammad) TIDAK SESAT dan TIDAK PULA KELIRU. dan tiadalah yang diucapkannya
itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).
(an-najm: 1-4)
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ
يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
“Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah
kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
[al-Baqarah/2:231].
Seorang ulama tabiin, Hassan bin Athiyah pernah mengatakan,
كان جبريل ينزل على
النبي صلى الله عليه وسلم بالسنة كما ينزل عليه بالقرآن
Jibril turun kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan membawa sunnah sebagaimana Jibril turun kepada beliau
dengan membawa al-Quran. (HR. ad-Darimi dalam Sunannya no. 588 & al-Khatib
dalam al-Kifayah no. 12).
·
Hati-hati ada orang yang
mengaku Islam, mengaku berpegang kepada Al Qur’an tetapi tidak mau berpegang
kepada Sunnah, sudah diramalkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Dalam hadis dari al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنِّي
أُوتِيتُ القُرآنَ وَمِثلَهُ مَعَهُ ، أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبعَان عَلَى
أَرِيكَتِهِ يَقُولُ : عَلَيكُم بِهَذَا القُرآنِ ، فَمَا وَجَدتُم فِيهِ مِن
حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ ، وَمَا وَجَدتُم فِيهِ مِن حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ ، أَلَا
وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَمَا
حَرَّمَ اللَّهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku
diberi al-Qur’an dan sesuatu yang sama dengan al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada
orang yang suka kekenyangan, bertelekan di ranjang mewah, dan berkata,
“Berpeganglah kalian kepada al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal di dalam
al-Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam
al-Qur’an, maka haramkanlah. –tanpa merujuk sunnah-
Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga
mengharamkannya.”
(HR. Turmudzi 2664 dan dishahihkan al-Albani).
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ
وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu
tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih
Lighairihi, H.R.
Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh
Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata:
”Kalian
akan menjumpai suatu kaum, mereka mengaku mengajak kamu kepada kitab Alloh,
padahal mereka membuang al-Qur’an ke balik punggung mereka. Maka kalian wajib
berpegang kepada ilmu, jauhkan dirimu dari perkara bid’ah, jauhkan dirimu dari
mendalami perkara (berlebihan) , dan kamu wajib berpegang kepada Sunnah.”
(Sunan ad-Darimi 1/66)
·
Contoh kesesatan orang
yang mengingkari sunnah :
1. Masalah adzab kubur :
Sekadar contoh, simaklah
ucapan Agus Mustofa berikut:
“Maka,
dalam hal azab kubur ini pun kita harus mengambil al-Qur’an sebagai sumber
utama terlebih dahulu. Jika al-Qur’an ada, maka hadits-hadits itu berfungsi
sebagai penjelasan. Akan tetapi jika di al-Qur’an tidak ada, kita harus
menyeleksi secara ketat hadits-hadits tentang azab kubur. Apalagi yang
bercerita tentang siksaan badan sebagaimana azab neraka, al-Qur’an tidak
berbicara sedikitpun tentang siksaan badan dalam alam barzakh.”.
Jawaban :
·
Dalam Al Qur’an ada
berita tentang adzab kubur :
Allah
Ta’ala berfirman,
وَحَاقَ بِآَلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ
الْعَذَابِ (45) النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ
تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (46)
“Dan Fir’aun beserta kaumnya
dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi
dan petang , dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat):
“Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras“.” (QS.
Al Mu’min: 45-46)
Mari kita perhatikan penjelasan
para pakar tafsir mengenai potongan ayat ini:
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا
غُدُوًّا وَعَشِيًّا
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.”
Al Qurtubhi –rahimahullah-
mengatakan,
“Sebagian ulama berdalil dengan
ayat ini tentang adanya adzab kubur. … Pendapat inilah yang dipilih oleh
Mujahid, ‘Ikrimah, Maqotil, Muhammad bin Ka’ab. Mereka semua mengatakan bahwa
ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur di dunia.” (Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, 15/319)
Asy Syaukani –rahimahullah-
mengatakan,
“Yang dimaksud dengan potongan dalam ayat tersebut adalah siksaan di alam
barzakh (alam kubur). ” (Fathul Qodir, 4/705)
Fakhruddin Ar Rozi Asy Syafi’i
–rahimahullah- mengatakan,
“Para ulama Syafi’iyyah berdalil
dengan ayat ini tentang adanya adzab kubur. Mereka mengatakan bahwa ayat ini
menunjukkan bahwa siksa neraka yang dihadapkan kepada mereka pagi dan siang
(artinya sepanjang waktu) bukanlah pada hari kiamat nanti
·
Dari sunnah :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ
التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ
جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir
(sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: [1] siksa
neraka jahannam, [2] siksa kubur, [3] penyimpangan ketika hidup dan mati, [4]
kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim)
2. masalah hukum mencabut alis
Dalam satu riwayat
yang shahih dari Ibnu mas’ud, datang seorang wanita kepadanya kemudian berkata
:
“kamukan orangnya yang berkata bahwa Allah melaknat namishat (wanita yang
mencabut rambut alis) dan Mutamishat (wanita yang minta dicabutkan) dan
Wasyimat (wanita yag mentato), Ibnu Mas’ud berkata : ya, benar. Aku telah
membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang
kamu katakan. Maka ibnu mas’ud berkata : ‘jika kamu betul-betul membacanya maka
kamu akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca : “apa yang disampaikan oleh
rasul ambillah dan apa yang dilarang oleh rasul maka tinggalkanlah ”
[QS. Al-Hasyr :7], aku telah mendengar rasulullah bersabda : “allah melaknat
namishat ” [ HR. Bukhari-Muslim]
C.
Al Qur’an dan Sunnah dengan
pemahaman shahabat/salaf ....kenapa ?
1.
Kisah khawarij saat berdebat dengan shahabat Ibni Abbas :
Kaum Khawarij adalah sekte pertama yang menyimpang dalam sejarah Islam. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bahkan berwasiat khusus mengenai kaum khawarij, beliau
bersabda
تمرق مارقة على حين فرقة من أمتي يحقر أحدكم صلاته مع صلاتهم، وقراءته مع
قراءتهم، يمرقون من الإسلام مروق السهم من الرمية، أينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في
قتلهم أجراً لمن قتلهم
“Mereka keluar saat terjadi perpecahan di antara umatku. Salah seorang
diantara kalian (sahabat Nabi) akan menganggap remeh shalatnya dibanding shalat
mereka. Kalian menganggap remeh baca’an Al Qur’an kalian dibanding bacaan
mereka. Mereka itu keluar dari agama ini sebagaimana keluarnya panah keluar
dari busurnya. Dimanapun kalian menemui mereka, bunuhlah mereka. Karena
membunuh mereka itu berpahalanya bagi yang membunuhnya” (HR. Bukhari 3611)
Kisah perdebatan :
Abdullah bin ‘Abbas berkata:
لما خرجت الحرورية اعتزلوا في دار و كانوا ستة آلاف فقلت لعلي يا أمير
المؤمنين أبرد بالصلاة لعلي أكلم هؤلاء القوم قال إني أخافهم عليك قلت كلا
Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri
di suatu daerah. Ketika itu mereka ada sekitar 6000 orang. Maka aku pun berkata
kepada ‘Ali bin Abi Thalib: “wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat zhuhur
hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka
kaum Khawarij”. Ali berkata: “aku mengkhawatirkan keselamatanmu”. aku berkata:
“tidak perlu khawatir”
فلبست وترجلت و دخلت عليهم في دار نصف النهار وهم يأكلون فقالوا مرحبا بك
يا ابن عباس فما جاء بك قلت لهم أتيتكم من عند أصحاب النبي المهاجرين والأنصار ومن
عند ابن عم النبي وصهره وعليهم نزل القرآن فهم أعلم بتأويله منكم و ليس فيكم
منهم أحد لأبلغكم ما يقولون وأبلغهم ما تقولون فانتحى لي نفر منهم
Aku lalu memakai pakaian yang bagus dan berdandan. Aku sampai di daerah
mereka pada waktu tengah hari, ketika itu kebanyakan mereka sedang makan.
Mereka berkata: “marhaban bik(selamat datang) wahai Ibnu ‘Abbas, apa
yang membuatmu datang ke sini?”. Aku berkata: “Aku datang mewakili para sahabat
Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin
Abi Thalib). Merekalah yang membersamai Nabi, Al Qur’an di turunkan di
tengah-tengah mereka, dan mereka lah yang paling memahami makna Al Qur’an. Dan
tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Akan aku
sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian”....
sampai akhir kisah yang menunjukkah penyebab utama kesesatan kaum khawarij
adalah karena mereka tidak mau mengembalikan pemahaman Al Qur’an dan sunnah
kepada para shahabat.
2.
Kisah kelompok qodariyah :
Imam Muslim rahimahullah di awal kitab beliau, Shahih
Muslim, meriwayatkan sebuah atsar yang panjang yang mengisahkan
kemunculan paham qadariyyah,
“Dari Yahya bin Ya’mar, beliau mengatakan, “Orang yang pertama kali
berbicara masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al Juhani. Aku dan Humaid bin
‘Abdirrahman kemudian pergi berhaji –atau ‘umrah- dan kami mengatakan,
“Seandainya kita bertemu salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kita akan mengadukan pendapat mereka tentang takdir
tersebut”
Kami pun bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma yang sedang memasuki masjid. Lalu kami menggandeng beliau,
satu dari sisi kanan dan satu dari sisi kiri. Aku menyangka sahabatku
menyerahkan pembicaraan kepadaku sehingga akupun berkata kepada Ibnu ‘Umar,
“Wahai Abu ‘Abdirrahman (panggilan Ibnu ‘Umar –pen), sungguh di daerah kami ada
sekelompok orang yang berpandangan takdir itu tidak ada, dan segala sesuatu itu
baru ada ketika terjadinya (tidak tertulis di catatan takdir dan tidak pula
diketahui oleh Allah sebelumnya –pen).
Maka Ibnu ‘Umar berkomentar, “Kalau kamu bertemu
dengan mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan
mereka berlepas diri dariku! Demi Dzat yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya,
seandainya mereka memiliki emas sebanyak gunung Uhud lantas menginfaqkannya, niscaya
Allah tidak akan menerima infaq mereka tersebut sampai mereka mau beriman
kepada takdir” (HR. Muslim)
Al-Imam
Abu Bakr Muhammad bin al-Husain al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dari jalan ‘Amr
bin Muhajir, ia berkata,
“Telah
sampai informasi kepada Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwa Ghailan bin Muslim
mengatakan, ‘Takdir itu tidak ada’. Maka beliau mengutus seseorang untuk
memanggil Ghailan. (Setelah datang), ia dibiarkan (tidak ditemui) selama
beberapa hari. Kemudian setelah itu dibawa menghadap beliau. ‘Umar bin Abdul
‘Aziz berkata, ‘Ghailan, apa ini yang aku dengar tentang dirimu?!’
‘Amr
bin Muhajir memberikan isyarat agar ia tidak menjawab, namun Ghailan tetap
menjawabnya, ‘Ya, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:
هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٞ مِّنَ
ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡٔٗا مَّذۡكُورًا ١ إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ
فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢ إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا ٣
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum
berupa sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah
dan larangan), oleh karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan
ada pula yang kafir.” (al-Insan: 1—3)[2]
‘Umar
bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, ‘Bacalah akhir
dari surat tersebut!’
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ يُدۡخِلُ مَن يَشَآءُ فِي رَحۡمَتِهِۦۚ وَٱلظَّٰلِمِينَ أَعَدَّ
لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمَۢا ٣١
“Dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya.
Dan bagi orang-orang yang zalim, Ia sediakan azab yang pedih.” (al-Insan: 30—31)
Kemudian beliau berkata,
‘Bagaimana pendapatmu, wahai Ghailan?’
Ghailan berkata, ‘Sungguh
sebelumnya aku buta lalu engkau menerangiku, aku tuli lalu engkau membuka
pendengaranku, dan aku sesat lalu engkau menunjukiku.’
Maka ‘Umar bin Abdul ‘Aziz
berkata, ‘Ya Allah, semoga hamba-Mu Ghailan jujur. Kalau tidak, maka saliblah
ia!’.....Maka Ghailan pun tidak lagi berkata tentang takdir, sehingga ia
diangkat oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz sebagai penanggung jawab kantor pembayaran
kas khilafah di Damaskus. Ketika ‘Umar bin Abdul ‘Aziz wafat dan khilafah
dipegang Hisyam bin Abdul Malik, ia kembali berbicara tentang tidak adanya
takdir. Maka akhirnya Hisyam mengirim utusan untuk memotong tangannya. Ketika
tangannya (setelah dipotong, pen.) sedang dikerumuni lalat,
lewatlah seorang laki-laki seraya berkata kepadanya, ‘Wahai Ghailan, ini adalah
qadha dan qadar.’ Maka ia menjawab, ‘Engkau berdusta, demi Allah ini bukan
qadha dan bukan pula qadar.’ Maka Hisyam mengirim utusan kembali untuk menyalib
Ghailan.” (asy-Syari’ah, hlm. 208—209)
Kisah ini menunjukkan pula
bahwa sebab kesesatan qodariyah adalah berpegang Al Qur’an tetapi tanpa
pemahaman shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka dari uraian ini bisa kita
ambil kesimpulan, wajibnya bagi semua umat Islam untuk berpegang teguh dengan
Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman shahabat.