ETIKA MEMPERBAIKI KESALAHAN PEMERINTAH
Kita sebagai umat Islam, telah dipilih oleh Allah sebagai
umat terbaik yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan selalu
memberikan nasihat kebaikan dan kebenaran kepada orang lain.
Termasuk terhadap pemerintah, jika kita melihat kekurangan
dan kesalahan mereka maka sikap kita adalah :
1.
Tidak boleh mendukung dan
menyetujui kesalahan mereka.
2.
Tidak boleh diam dengan
kesalahan mereka.
Harus ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat dalam
kebaikan.
Akan tetapi ada aturan dalam Al Qur’an dan dalam As Sunnah
dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat kepada pemerintah :
1.
Dengan bahasa yang lembut, kata-kata yang sopan dan
penuh kasih sayang mengharapkan kebaikan, Berkata-kata
kasar, tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku
muslim Renungkan firman Allah Ta’ala:
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً
لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada
Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut”.
[At-Thoha:43-44]
Kita bukan Musa -alaihis salam-
dan kita tidak lebih baik dari Musa -alaihis salam-
Pemerintah kita juga tidak
sejahat Fir’aun yang mengaku Rabb Pencipta yang tertinggi.
2.
Berusaha
menyampaikan secara langsung, melalui mekanisme yang resmi dan benar, bukan dengan teriak teriak di jalan, apalagi
pada zaman ini ada akun pribadi para pemerintah baik di facebook, twitter dll.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ
عَلاِنِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ
فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu
perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi,
ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika sang penguasa menerima
(nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan
kewajibannya.”
(HR. Ahmad 3/403, Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2/94, Ibnu Abi
‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096
dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal
As-Sunnah 2/507)
Perintah Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam di atas juga diamalkan oleh sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ketika banyak orang
membicarakan dan mengkritik kepemimpinan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,
أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟
“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?”
Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhu berkata,
أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟
وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ
أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena
kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi
Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata, tanpa
menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu
fitnah).”
(HR. Muslim no. 2989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar