Senin, 06 November 2017

ANTARA DAUROH DAN KAJIAN RUTIN

Alhamdulillah kita sangat bergembira dan senang dengan semakin banyaknya kajian-kajian besar semacam tabligh akbar yang kami rasa semakin sering intensitasnya. Kita juga sangat bergembira jika ada ustadz atau ulama ternama dengan ilmunya yang masyaAllah serta akhlaknya yang bisa menjadi panutan, datang memberikan ilmu dan contoh akhlak mulia walaupun sebentar. Intinya kita sangat bergembira bisa melihat langsung sosok dan teladan yang selama ini mungkin kita hanya membaca bukunya, mendengar kajiannya atau hanya menonton videonya. Jika dibandingkan dahulunya, bisa dibilang agak jarang kajian akbar dengan mengundang ustadz atau ulama ternama.

Memang pengajian akbar seperti ini sangat bagus. Sebuah taman surga dunia, rekreasi me-recharge keimanan (asalkan niatnya ikhlas, bukan sekedar untuk kopdar, jualan, bisnis apalagi “cuci mata”). Sangat bagus juga bagi mereka yang baru mengenal hidayah dan bagi orang awam.

Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagi mereka yang sudah lama mendapat hidayah menuntut ilmu (udah ngaji beberapa tahun). Sebaiknya belajar agama jangan hanya pengajian akbar saja yang umumnya hanya TEMATIK, tetapi ingat juga kajian rutin, misalnya rutin setiap pekan terlebih terkurikulum membahas kitab tertentu sampai tuntas.

Beberapa Fenomena yang dinasehatkan oleh ustadz, agar kita menjauhinya (nasehat bagi yang sudah lama “ngaji”):

1. Sudah lama “ngaji” tapi jarang atau tidak pernah ikut pengajian rutin pekanan walaupun hanya sekali seminggu. Misalnya membahas kitab tauhid sampai selesai.
2. Kalau ada ustadz atau ulama ternama/terkenal datang, baru ikut kajian akbar dengan jumlah peserta yang banyak (inipun semoga ikhlas, bukan sekedar untuk kopdar, jualan, bisnis apalagi “cuci mata”). kalau tidak ada maka tidak kajian dan menuntut ilmu
3. Belajar agama sistem “semau gue”, sudah hanya tematik saja, itupun kalau senang sama ustadz dan ulama tertentu saja. Kalau bukan ustadz idolanya, agak malas. Atau kalau tema yang tidak ia terlalu senangi, maka tidak datang kajian.

Perlu diingat bahwa belajar agama itu sama dengan belajar ilmu dunia yang lainnya:

-Jika mau masuk Fakultas Kedokteran   misalnya, perlu belajar kan? Masuk surga juga perlu belajar
-Belajar di kedokteran (misalnya), belajarnya dengan kurikulum mulai dari hal yang dasar. Maka sama belajar agama terkurikulum mulai belajar dari yang dasar semisal Tauhid-Aqidah dasar, fikh keseharian.
-Jika kuliah dikedokteran tidak ikut rutin kuliah atau bolong-bolong kuliah tentu kurang baik. Nah, begitu juga belajar agama, hanya belajar ketika ada kajian tematik saja, tentu hasilnya kurang maksimal.
-Jika kita belajar matematika tidak dari dasar, kemudian hanya ikut workshop tertentu saja (tematik), tentu sangat susah dan tidak menarik belajar dan menyelesaikan soal matematika. Tetapu bagi mereka yang menguasai dari dasar sanga menarik matematika. Soal terasa sebagai “makanan” yang siap dilahap dan merupakan tantangan.
Begitu juga belajar agama, jika belajarnya hanya kajian tematik saja (ingat ini bagi mereka yang sudah lama ngaji). Tentu hasilnya tidak maksimal dan tentu “kurang” terasa nikmatnya beragama dan “surga dunia”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
أن في الدنيا جنة من لم يدخلها لا يدخل جنة الآخرة
“Sesungguhnya di dunia ada surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan masuk surga di akhirat.”[1]

Tentu saja surga di dunia itu adalah kebahagiaan dengan petunjuk agama yang benar.

Hendaknya kita sebagai seorang muslim, apalagi yang notabenernya sudah lama “ngaji”

1. Belajar agama secara ta’shili (bertahap dan terkurikulum), tetapi istiqamah meskipun hanya seminggu sekali (masa’ sih untuk belajar agama benar-benar tidak ada waktu luang??) karena bisa jadi ada yang punya kesibukan dan amanah yang lebih penting. Jika bisa lebih dari sekali seminggu bahkan bisa mengatur waktu maka bisa lebih banyak

2. Belajar agamanya hendaknya dengan kitab/kurikulum dan bukan HANYA kajian tematik, atau kajian rutin tetapi tidak istiqamah.Bukan belajar “semau gue”, mau datang kajian bisa, tidak datang juga tidak masalah, belajar agama juga tidak sistematis atau belajar secara ta’siliy [belajar dari dasar] sehingga belajar agama terkesan berat dan membosankan dan tentu bukan ketenangan yang didapat.

3. Istiqamah ketika kajian rutin, tidak loncat-loncat pembahasannya dari kitab satu ke kitab yang lainnya. Sabar dalam menuntut ilmu agama.
Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata mengenai hal ini,
ألا يأخذ من كل كتاب نتفة، أو من كل فن قطعة ثم يترك؛ لأن هذا الذي يضر الطالب، ويقطع عليه الأيام بلا فائدة، فمثلاً بعض الطلاب يقرأ في النحو : في الأجرومية ومرة في متن قطر الندي، ومرة في الألفية. ..وكذلك في الفقه: مرة في زاد المستقنع، ومرة في عمدة الفقه، ومرة في المغني ، ومرة في شرح المهذب، وهكذا في كل كتاب، وهلم جرا ، هذا في الغالب لا يحصلُ علماً، ولو حصل علماً فإنه يحصل مسائل لا أصولاً
“Janganlah mempelajari buku sedikit-sedikit, atau setiap cabang ilmu sepotong-sepotong kemudian meninggalkannya, karena ini membahayakan bagi penuntut ilmu dan menghabiskan waktunya tanpa faidah,
misalnya:
sebagian penuntut ilmu memperlajari ilmu nahwu, ia belajar kitab Al-Jurumiyah sebentar kemudian berpindah ke Matan Qathrun nadyi kemudian berpindah ke Matan Al-Alfiyah..
Demikian juga ketika mempelajari fikih, belajar Zadul mustaqni sebentar, kemudian Umdatul fiqh sebentar kemudian Al-Mughni kemudian Syarh Al-Muhazzab, dan seterusnya.
Cara seperti Ini umumnya tidak mendapatkan ilmu, seandainya ia memperoleh ilmu, maka ia tidak memperoleh kaidah-kaidah dan dasar-dasar.”[2]
4. Sebagaimana kita bersusah payah dan bersabar belajar , menghapal dan memahami untuk ilmu dunia dan agar sukse ilmu dunia. Begitu juga dengan ilmu agama dan untuk masuk surga.
Yang namanya belajar baik ilmu dunia maupun akhirat tentu bersabar dan butuh perjuangan. Terlebih lagi ilmu agama yang mungkin tidak ada/sedikit  “keuntungan dunia” bagi sebagian orang yang kurang imannya.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata,
لا يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذلة النفس، وضيق العيش، وخدمة العلم، أفلح
“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas jiwanyakemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut ilmu dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat untuk ilmu, maka ia akan beruntung.”[3]

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,
ولا يستطاع العلم براحة الجسد
“Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)”[4]
Marilah kita wahai para guru …para pendidik rajin menuntut ilmu…kalau bukan kita yang rajin dan kalau bukan kita yang memberi contoh…maka siapa lagi ?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar