Rabu, 31 Januari 2018

Hukum Menggunakan Jadwal Waktu Shalat

Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]
Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.
1. Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.
2. Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.
3. Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]
FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H.
Beliau mengatakan :
“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.
Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya. Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus.” [21]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro.
Beliau mengatakan: “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin.”
Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang.” [22]
FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”.
Beliau berkata:
“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutarakan pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka.
Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat. Mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya.” [23]
TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan:
“Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit.” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]
AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ﺍﻟﺬِّﻳﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴﺤَﺔُ ﻗُﻠﻨَﺎﻟِﻤَﻦ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﻟِﻜِﺘَﺎﺑِﻪِ‏‎ ‎ﻭَﻟِﺮَﺳُﻮْﻟِﻪِ ﻭَﻷَﺋِﻤَّﺔِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﻋَﺎﻣَّﺘِﻬِﻢْ
“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab: Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum.” (HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74)
Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.
Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya.
Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati).
Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]
KESIMPULAN
1. Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
2. Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
3. Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam
4. Jadwal sholat yang di gunakan, ADALAH YANG DI TETAPKAN OLEH PEMERINTAH, YANG DI SEPAKATI DEWAN FATWA ULAMA DI NEGERI TERSEBUT, bukan jadwal sholat yang di buat suatu organisasi Islam, atau suatu kelompok tertentu. Jika ada kesalahan maka yang berdosa adalah yang menetapkan, sedangkan rakyat dan makmum tetap sah dan berpahala shalatnya.
5. Jika salah seorang di wilayahnya mampu untuk menentukan masuknya waktu sholat dengan ketentuan melihat bayangan suatu benda, dan fajar shodiq, maka ini perkara yang afdhol.
6. Jika seseorang meyakini 100% kesalahan jadwal tersebut, tetap wajib bagi dirinya shalat secara berjamaah bersama masyarakat dengan niat shalat sunnah, jika sudah masuk waktu shalat menurutnya maka shalat sendiri dengan niat shalat wajib, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
”Semoga Allah Azza wa jalla menjaga niat-niat kita dalam beramal sholeh. dan semoga hal ini bisa memberi manfaat buat kita semua, dan semoga Allah Azza wa jalla menjaga kita semua dari kerusakan-kerusakan, dan semoga Allah azza wa jalla, mengokohkan kita di atas sunnah sampai akhir kehidupan kita.”
_____________________
[1] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan.
[2] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan.
[3] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan.
[4] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141.
[5] Lantas timbul pertanyaan penting: Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al- Qorrofi menjawab masalah ini, katanya: “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikian juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara: Pertama: Melihat hilal. Kedua: Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam. [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[6] Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30.
[7] Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli di bidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[8] Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22.
[9] Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya mengatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan, “Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar.” (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm. 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam.
[10] Lihat Thulu’ al Ummu Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13.

Selasa, 30 Januari 2018

Shalat gerhana

شيخ الإسلام ابن تيمية في الفتاوي24/254  – 262


وَلَكِنْ إذَا تَوَاطَأَ خَبَرُ أَهْلِ الْحِسَابِ عَلَى ذَلِكَ فَلَا يَكَادُونَ يُخْطِئُونَ وَمَعَ هَذَا فَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَى خَبَرِهِمْ عِلْمٌ شَرْعِيٌّ فَإِنَّ صَلَاةَ الْكُسُوفِ وَالْخُسُوفِ لَا تُصَلَّى إلَّا إذَا شَاهَدْنَا ذَلِكَ وَإِذَا جَوَّزَ الْإِنْسَانُ صِدْقَ الْمُخْبِرِ بِذَلِكَ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ فَنَوَى أَنْ يُصَلِّيَ الْكُسُوفَ وَالْخُسُوفَ عِنْدَ ذَلِكَ وَاسْتَعَدَّ ذَلِكَ الْوَقْتَ لِرُؤْيَةِ ذَلِكَ كَانَ هَذَا حَثًّا مِنْ بَابِ الْمُسَارَعَةِ إلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَعِبَادَتِهِ

 …Akan tetapi jika berita ahli hisab telah bersepakat akan terjadinya –gerhana- maka hampir-hampir berita tersebut tidak akan salah, -tetapi- walaupun seperti itu tidak timbul atas berita mereka tersebut ilmu syariat karena shalat gerhana tidaklah dikerjakan kecuali kalau kita menyaksikannya-secara langsung dengan mata-.

Dan jika seseorang menganggap kebenaran berita tersebut atau lebih besar kemungkinan benarnya berita tersebut menurut perkiraannya, kemudian dia berniat untuk melaksanakan shalat gerhana saat terjadinya, dan melakukan persiapan-persiapan menghadapi waktu tersebut.  Maka ini termasuk suatu penyemangat  didalam hal bersegera atas amalan ketaatan kepada Allah ta’ala dan ibadah kepadaNya,

[ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : Majmu Al Fatawa : 24/254-262



Senin, 29 Januari 2018

Bolehkah Wanita Berenang Di Kolam Renang?

Hukum Mandi Di Kolam Renang

Terkadang wanita juga membutuhkan sesuatu yang bisa menyegarkan kembali dirinya dari kejenuhannya menjalankan aktivitas sehari-harinya, tidak hanya laki-laki yang bisa dengan mudah mencari aktivitas untuk menghibur dirinya. Cara yang ditempuh wanita pun bermacam-macam, ada yang suka berbelanja, ada yang suka pergi ke gunung, ada yang suka berenang dan ada yang suka melakukan aktivitas lainnya.
Mungkin sebagian pembaca pernah bertanya, apakah boleh seorang wanita pergi ke kolam renang untuk berenang di sana? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di hammaam (tempat pemandian umum di zaman Rasulullah)?
Ya, benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di tempat pemandian umum. Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia memasukkan istrinya ke dalan hammaam (tempat pemandian umum).”[1]
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam:
مَا مِنْ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا هَتَكَتْ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا
Wanita mana yang melepaskan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah merusak hubungan antara dirinya dengan Allah.”[2]
Di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum dikenal kamar mandi khusus di rumah masing-masing orang. Sehingga sebagian orang lebih mengutamakan mandi di hammaam, karena di sana berdekatan dengan sumur dan mudah untuk mengambil air darinya. Tempat pemandian umum (hammaam) di zaman Nabi, tidak bercampur baur antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, memang masih memungkinkan untuk terlihatnya aurat satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan fitnah. Wanita memungkinkan untuk melihat aurat wanita lain, demikian juga dengan laki-laki. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Bagaimana dengan kolam renang?

Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa:
  1. Wanita yang ingin berenang harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat.
  2. Wanita-wanita yang hadir di kolam renang tersebut juga harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat, sehingga tidak saling memungkinkan untuk saling melihat antara satu dengan yang lainnya.
    Karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang seorang wanita melihat aurat wanita yang lain, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
    لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
    “Janganlah seorang laki-laki melihat kepada aurat laki-laki lain dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain.”[3]
  3. Tidak ada campur-baur antara laki-laki dan wanita di tempat tersebut.
  4. Tempat tersebut aman dari pandangan lelaki. Laki-laki tidak bisa melihat ke dalamnya.
  5. Mendapatkan izin dari suami apabila sudah menikah dan dari wali apabila belum menikah.
Meskipun keempat syarat di atas terpenuhi tetapi suami atau wali tidak mengizinkan, maka tidak boleh seorang wanita memaksakan dirinya untuk pergi ke sana, karena mematuhi suami atau wali hukumnya adalah wajib pada permasalahan-permasalahan yang mubah (boleh).
Jika telah terpenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak mengapa seorang wanita berenang. Jika tidak terpenuhi maka seorang wanita jangan memaksakan dirinya untuk pergi ke kolam renang.
Untuk saat ini sangat jarang ditemukan kolam renang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Oleh karena itu, sebagai bentuk ke-wara’-an atau kehati-hatian maka sebaiknya seorang wanita tidak berenang di kolam renang, kecuali di kolam renang pribadi. Ini lebih baik baginya dan lebih menjaga kesucian dirinya.
Adapun hadits kedua yang disebutkan di atas, maka diterapkan pada kolam renang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka tidak ada bedanya dengan hukum berkumpulnya wanita dengan wanita lainnya di suatu tempat. Allahu a’lam.

Catatan kaki
[1] HR At-Tirmidi no. 2801
[2] HR Abu Dawud no. 4012 dan At-Tirmidzi no. 2803
[3] HR Muslim no. 338.
Artikel Muslimah.Or.Id

MEMANFAATKAN TV DAN VIDEO SEBAGAI MEDIA DA’WAH


Sebelum membahas masalah ini, ada baiknya kita sampaikan terlebih dahulu, bahwa masalah memanfaatkan televisi sebagai media da’wah  termasuk masalahkhilafiyyah ijtihadiyyah. Sehingga para ulama’ mujtahidin diberikan ruang untuk meneliti sesuai dengan keilmuan yang mereka miliki dalam rangka untuk memetik hukum darinya. Konsekwensinya, sangat mungkin akan muncul perbedaan pendapat diantara mereka.
Hal ini perlu kami sampaikan, agar apapun hasil dari pembahasan ini, kita semua harus saling berlapang dada terhadap saudara kita yang berbeda pendapatnya dengan pendapat yang kita pegangi. Karena para ulama’ kitapun telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Jangan sampai menjadikan masalah ini sebagai masalah ushul ( pokok ) yang digunakan untuk membangung wala’ ( loyalitas ) dan baro’ ( bermusuhan ) di antara sesama muslim, atau dijadikan sebagai sebab untuk menghukumi seorang telah keluar dari lingkup ahlus sunnah.
Akan datang pembahasan seputar perincian dan adab berselisih pada artikel yang akan datang insya Alloh. Supaya seorang muslim senantiasa terbimbing di atas Al-Qur’an dan Sunnah dalam mensikapi perbedaan, serta tidak terjatuh dalam sikap ghuluw ( melampaui batas ) dalam beragama.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa televisi merupakan salah satu media yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Memiliki jangkauan yang sangat luas menerobos hampir seluruh lapisan. Dari pejabat, pengusaha, artis, konglomerat, pelajar, serta masyarakat secara umum. Hampir semua orang saat ini memiliki tv. Bagi sebagian orang, tv bukanlah lagi kebutuhan sekunder, akan tetapi telah berubah menjadi kebutuhan primer.
HUKUM MENGGAMBAR MAKHLUK BERNYAWA
Membahas masalah televisi, tidak akan lepas untuk membahas masalah hukum menggambar makhluk bernyawa.  Karena kedua masalah ini memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika pada awal pembahasan ini kita akan paparkan terlebih dahulu hukum menggambar makhluk bernyawa.
Menggambar makhluk bernyawa hukumnya haram sebagai telah ditunjukkan oleh beberapa dalil dari hadits-hadits Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Diantaranya :
«لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ، وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ، وَنَهَى عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ، وَكَسْبِ البَغِيِّ، وَلَعَنَ المُصَوِّرِينَ»
“Nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam – telah mela’nat orang yang mentatto dan yang minta ditatto serta pemakan riba dan yang mewakilkannya. Beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam – telah melarang ( seorang makan ) dari hasil penjualan anjing, hasil berbuat zina serta mela’nat seorang yang menggambar ( makhluq bernyawa )”. ( HR. Al-Bukhori : 5347 dari sahabat Abu Juhaifah – rodhiallohu ‘anhu - ).
Telah diriwayatkan pula dari Abdullah bin Mas’ud –rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
«إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ»
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksanya di sisi Alloh nanti di hari kiamat adalah para penggambar ( makhluq bernyawa )”.( HR. Al-Bukhori : 5950 ).
Dari Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata, Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda :
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar (  bernyawa ) ini akan disiksa nanti di hari kiamat dan dikatakan kepada mereka :”Hidupkan apa yang telah kalian buat!”. ( HR. Al-Bukhori : 5951 dan Muslim : 97 ).
Dan masih terdapat beberapa dalil yang menunjukkan akan masalah ini yang tidak bisa kami sebutkan semuanya. Apa yang kami sebutkan insya Alloh telah mewakili dari dalil-dalil yang ada.
Al-Imam An-Nawawi – rohimahullah – berkata :
قال أصحابنا وغيرهم من العلماء : تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم ، وهو من الكبائر ؛ لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور فى الأحاديث ، وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال ؛ لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى ، وسواء ما كان في ثوب أو بساط أودرهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها ، وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان : فليس بحرام ، هذا حكم نفس التصوير " انتهى
“Para sahabat kami dan selain mereka dari para ulama’ berkata : menggambar gambar hewan[1] merupakan perkara haram yang sangat keras pengharamannya. Dan perkara ini termasuk dari dosa besar. Karena sesungguhnya hal ini diancam dengan ancaman yang sangat keras yang telah disebutkan di dalam beberapa hadits. Baik seorang membuatnya dengan apa yang akan dihinakan atau selainnya. Maka pembuatannya haram dalam seluruh keadaan. Karena sesungguhnya di dalamnya terdapat bentuk membuat tandingan terhadap ciptaan Alloh Ta’ala. Baik ( gambar ) yang terdapat di pakaian, permadani, dirham, dinar, fulus, bejana, dinding ataupun yang lainnya. Adapun menggambar gambar pohon, pelana onta dan yang lain dari apa-apa yang tidak terdapat gambar hewan di dalamnya, maka tidak haram. Ini hukum untuk perbuatan menggambar itu sendiri” [ Syarh Shohih Muslim : 14/82 ].
Para ulama’ telah sepakat akan haramnya menggambar makhluk bernyawa dengan tangan berdasarkan dalil-dalil yang telah datang penyebutannya. Untuk perincian hukum menggambar makhluk bernyawa, insya Alloh akan kami sendirikan dalam suatu pembahasan. Pada kesempatan ini sengaja tidak kami perluas, karena hanya menjadi masalah tambahan dan jembatan untuk membantu memahami permasalahan yang sedang kami bahas.
HUKUM FOTOGRAFI
Pasal ini kami ikutkan setelah pasal “Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa”, karena telah terjadi silang pendapat dalam masalah ini di kalangan para ulama’setelah sebelumnya mereka sepakat haramnya menggambar makhluk bernyawa dengan tangan.
Sebagian para ulama’ berpendapat bahwa menggambar makhluk bernyawa haram secara mutlak. Baik dengan alat seperti kamera, ataupun melukis dengan tangan. Diantara mereka adalah asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz dan yang sepemahaman dengan beliau.
Beliau – rohimahullah – berkata :
لا يجوز تصوير ذوات الأرواح بالكاميرا أو غيرها من آلات التصوير
“Tidak boleh untuk menggambar makhluk bernyawa dengan kamera atau yang lainnya dari alat-alat yang digunakan untuk menggambar”. [ Fatawa Lajnah Daimah : 1/661 ]
Sebagian lagi berpendapat bahwa fotografi tidak termasuk menggambar yang dilarang. Karena tidak terdapat proses “menggambar”. Yang ada hanyalah proses pemindahan obyek saja. Diantara mereka adalah asy-syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dan yang sepahaman dengan beliau. Pendapat beliau ini sangat masyhur bisa didapatkan di dalam fatawa, buku, dan ceramah-ceramah beliau.
Di sini kami akan bawakan salah satu ucapan asy-syaikh – rohimahullah -. Beliau mengatakan :
ولم يحدث في عهد النبي – صلى الله عليه و سلم – ما حدث في زماننا هذا من الصور الفوتوغرافية. وهل تدخل في النهي أو لا تدخل. و إذا تأملت النص وجدت أنها لا تدخل لأن الذي يصور صورة فوتوغرافية لا يصور في الواقع. غاية ما هنالك أنه يلقي هذا الضوء الشديد على جسم أمامه فيلتقط صورته في لجظة...
“Di zaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – belum pernah terjadi  apa yang terjadi di zaman kita sekarang ini berupa gambar photografi. Apakah termasuk dalam larangan atau tidak ? jika kamu memperhatikan dalil ( dalam masalah ini ) maka kamu akan mendapatkan bahwa hal ini tidak termasuk. Karena seorang yang membuat gambar dengan gambar fotografi, pada kenyataannya dia tidak menggambar. Paling maksimalnya apa yang ( terjadi ) di sana, dia hanya melemparkan cahaya yang sangat kuat terhadap jasad yang ada di hadapannya, maka cahaya itu mengambil gambarnya dalam sekejap…….” [ Syarh Al-Kabair : 323 ]
Hal ini perlu kami kemukakan kepada para pembaca, agar kita tahu bahwa terdapat khilaf ( perbedaan pendapat ) di antara ulama’ kita dalam masalah ini. Bersamaan dengan kondisi ini, mereka tetap saling menghormati, saling toleransi serta tetap menjaga ukhuwah islamiyyah diantara mereka. Mereka tidak saling menvonis sesat, ahli bid’ah atau yang lain.
Para ulama’ kita tidak menjadikan perselisihan dalam masalah ini sebagai perkara ushul ( pokok ), yang menjadi sebab seorang keluar dari manhaj salaf. Juga tidak pernah membangun wala’ dan baro’ di atasnya. Lantas, kenapa para penuntut ilmu di negeri ini tidak meneladai mereka ?
PEMBAGIAN AL-MUHARRAMAT
Jika kita telah mengetahui haramnya menggambar makhluq yang bernyawa beserta dalil-dalilnya, sekarang kita akan membahas tentang macam-macam muharromat ( sesuatu yang diharamkan ) dalam agama kita. Untuk mengetahui posisi permasalahan kita termasuk pada jenis muharramat yang mana.
Al-Imam Al-Qorofi –rohimahullah – berkata :
الأحكام على قسمين: مقاصد، ووسائل، فالمقاصد كالحج والسفر إليه وسيلة، وإعزاز الدين ونصر الكلمة مقصد، والجهاد وسيلة، ونحو ذلك من الواجبات والمحرمات والمندوبات والمكروهات والمباحات، فتحريم الزنا مقصد، لاشتماله على مفسدة اختلاط الأنساب، وتحريم الخلوة والنظر وسيلةاهـ
“Hukum-hukum ( agama itu ) ada dua jenis : maqodhid ( sesuatu yang dituju ) dan wasail ( sesuatu yang menjadi perantara kepada sesuatu yang dituju ). Maka maqoshid seperti haji, sedangkan perjalanan kepadanya termasuk wasilah. Memuliakan agama dan menolong kalimat ( tauhid la ilaha illalloh ) termasuk maqoshid, sedangkan jihad termasuk wasilah. Dan yang semisal dengan hal ini dari berbagai kewajiban, perkara haram, perkara mandub ( sunnah/mustahab ), perkara makruh ( dibenci ), dan perkara mubah ( boleh ). Maka pengharaman zina termasuk maqshud karena mengandung berbagai kerusakan dan percampuran nasab. Sedangkan pengharaman khulwah ( berduaan ) dan melihat ( wanita yang bukan mahramnya ) termasuk wasilah”.- sampai di sini perkataan beliau -
Dari ucapan beliau dapat kita simpulan bahwa sesuatu yang diharamkan dalam agama kita ada dua macam :
Pertama :
Al-Muharromat Tahrimul maqoshid : Sesuatu yang memang diinginkan oleh Alloh untuk diharamkan baik berupa ucapan, perbuatan, dan dzat , seperti : kesyirikan, bangkai, daging babi, khomer, daging anjing, dan yang lainnya.
Jenis pertama ini selamanya diharamkan kecuali dalam kondisi darurat, maka diperbolehkan. Semisal seorang yang tidak mendapatkan makanan kecuali bangkai. Jika dia tidak makan bangkai tersebut, maka dia akan mati. Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan baginya untuk memakannya.
Kedua :
Al-Muharromat Tahrimul wasail : Sesuatu yang diharamkan bukan karena asalnya haram, akan tetapi dikarenakan menjadi perantara kepada sesuatu yang haram. Misalnya : ghibah ( mengunjing ), memakai sutera bagi laki-laki,  melihat wanita yang bukan mahramnya,ghoror dalam jual beli dan lain sebagainya.
Jenis kedua ini diharamkan, akan tetapi jika ada hajat ( kebutuhan ) yang syar’i yang akan membawa kepada suatu kemashlahatan yang kuat, maka diperbolehkan. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh asy-syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin –rohimahullah- :
وما كان تحريمه تحريم الوسائل فإنه يجوز عند الحاجة إليه
“Dan apa saja yang pengharamannya termasuk dari pengharaman karena akan menjadi sebab kepada sesuatu yang haram, maka sesungguhnya diperbolehkan ketika hal itu dibutuhkan”. ( Majmu’ Al-Fatawa wa Rosail : 12/288 ).
Ghibah termasuk perkara yang diharamkan. Akan tetapi diperbolehkan untuk melakukannya pada kondisi dibutuhkan. Misalkanya seorang istri yang melaporkan kepada hakim tentang keadaan suaminya yang tidak memberikan nafkah kepadanya.
Catatan penting :
Terdapat perbedaan antara kondisi darurat dan kondisi hajat ( dibutuhkan ). Suatu kondisi dikatakan darurat sebagaimana dinyatakan oleh para fuqoha’ :
بُلُوغُ الإِْنْسَانِ حَدًّا إِنْ لَمْ يَتَنَاوَل الْمَمْنُوعَ هَلَكَ أَوْ قَارَبَ
“Sampainya seorang insan pada suatu batasan, jika dia tidak mengambil/melakukan perkara yang dilarang, dia akan celaka atau dekat dengan kecelakaan.” [ Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah : 28/191 ].
Batasan suatu kondisi dikatakan darurat : ketika tidak melakukan perkara yang dilarang, dikhawatirkan akan diikuti oleh kebinasaan atau kemudhorotan yang sangat besar terhadap nyawa, kehormatan, harta, jiwa dan badan. [ Asy-Syarhul Kabir : 2/115 ]
Adapun pengertian hajat adalah :
مَا يُفْتَقَرُ إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ التَّوْسِعَةُ، وَرَفْعُ الضِّيقِ الْمُؤَدِّي - فِي الْغَالِبِ - إِلَى الْحَرَجِ وَالْمَشَقَّةِ اللاَّحِقَةِ بِفَوْتِ الْمَطْلُوبِ، فَإِذَا لَمْ تُرَاعَ دَخَل عَلَى الْمُكَلَّفِينَ - عَلَى الْجُمْلَةِ - الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ
“Apa yang dibutuhkan dari sisi keluasan dan menghilangkan kesempitan yang akan mengarah – secara umum – kepada kondisi yang berat dan sulit yang akan mengikuti hilangnya perkara yang diinginkan. Maka apabila tidak diperhatikan, secara umum kondisi berat dan sulit akan masuk/menimpa para mukallaf” [ Al-Mufawaqot karya Asy-Syathibi : 2/10-11 ].
Jika disimpulkan pebedaan kondisi darurat dan hajat ada :
[1]. Darurat : diikuti oleh kemungkinan atau kekhawatiran kebinasaan. Adapun hajat tidak.
[2]. Darurat : harus dilakukan. Adapun hajat : ada keluasan, boleh dilakukan dan boleh tidak.
[3]. Darurat : boleh untuk melakukan sesuatu yang diharamkan yang termasuk jenis tahrimul maqoshid dan lebih-lebih tahrim wasail. Adapun hajat : hanya boleh melakukan sesuatu yang diharamkan yang termasuk jenis tahrim wasail.
MENGGAMBAR MAKHLUQ BERNYAWA, TERMASUK MUHARRAMAT TAHRIM MAQOSHID ATAU WASAIL ?
Menggambar makhluq bernyawa termasuk dari jenis muharramat tahrim wasail. Buktinya, perkara ini diperbolehkan oleh syari’at ketika dibutuhkan. Dalilnya adalah hadits Aisyah – rodhiallohu ‘anha – beliau berkata :
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، «فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Aku bermain dengan al-banat ( boneka perempuan ) di sisi Nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam -. Dan aku memiliki kawan-kawan yang bermain bersamaku. Maka apabila Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – masuk, mereka masuk rumah dan menutup diri dari beliau. Lalu beliau menyuruh mereka satu persatu kepadaku agar mereka bermain ( lagi ) denganku”. [ HR. Al-Bukhari : 6130 dan Muslim : 4470 ].
Yang dimaksud dengan kata al-banat dalam hadits di atas, telah dijelaskan oleh Al-Imam Syaukani – rohimahullah - :
قَوْلُهُ: (بِالْبَنَاتِ) قَالَ فِي الْقَامُوسِ: وَالْبَنَاتُ: التَّمَاثِيلُ الصِّغَارُ يُلْعَبُ بِهَا
“Ucapan beliau “dengan al-banat”, berkata pengarang Al-Qomus : al-banat adalah tamatsil ( gambar berjasad/boneka ) kecil yang biasa digunakan untuk bermain ( anak-anak ).” [ Nailul Author : 6/245 ]
Boneka termasuk gambar makhluk bernyawa yang memiliki bayangan. Dari sisi pengharaman, tentu lebih kuat dari pada gambar makhluk bernyawa yang tidak memiliki bayangan karena memiliki kemiripan yang lebih besar dengan benda yang ditiru. Akan tetapi dalam hadits ini Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – mentaqrir-nya ( menyetujuinya ) dan tidak melarang Aisyah dari bermain dengannya. Karena anak-anak membutuhkan permainan seperti ini untuk bermain dan memberikan tarbiyyah mereka lewat permainan tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Hajar – rohimahullah – berkata :
وَاسْتُدِلَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ اتِّخَاذِ صُوَرِ الْبَنَاتِ وَاللَّعِبِ مِنْ أَجْلِ لَعِبِ الْبَنَاتِ بِهِنَّ وَخُصَّ ذَلِكَ مِنْ عُمُومِ النَّهْيِ عَنِ اتِّخَاذِ الصُّوَرِ وَبِهِ جَزَمَ عِيَاضٌ وَنَقَلَهُ عَنِ الْجُمْهُورِ وَأَنَّهُمْ أَجَازُوا بَيْعَ اللَّعِبِ لِلْبَنَاتِ لِتَدْرِيبِهِنَّ مِنْ صِغَرِهِنَّ عَلَى أَمْرِ بُيُوتِهِنَّ وَأَوْلَادِهِنَّ
“Hadits ini dipakai berdalil terhadap bolehnya mengambil ( boneka berwujud ) gambar anak-anak perempuan dan dan bolehnya mainan untuk  anak-anak perempuan. Hal ini dikhususkan dari keumuman larangan dari mengambil gambar. Hal ini telah dipertegas oleh ‘Iyadh dan beliau menukil pendapat ini dari Jumhur ( mayorias ulama’ ). Sesungguhnya mereka memperbolehkan untuk menjual mainan ( boneka ) untuk anak-anak perempuan untuk mendidik mereka dari semenjak mereka kecil atas perkara rumah-rumah dan anak-anak mereka”.
[ Fathul Bari : 10/527 ]
Al-Imam Ibnu Mulaqqin – rohimahullah – ( wafat : 804 H ) berkata :
والذي يراد من الحديث: الرخصة في اللعب التي يلعب بها الجواري وهي البنات، فجاءت فيها الرخصة وهي تماثيل، وليس وجه ذَلِكَ عندنا إلا من أجل أنها لهو الصبيان، ولو كان للكبار لكان مكروهًا، كما جاء النهي في التماثيل كلها وفي الملاهي
“Dan yang diinginkan dari hadits ini : adanya rukhshah ( keringanan ) di dalam mainan yang digunakan untuk bermain para anak gadis berupa boneka yang berwujud anak perempuan. Telah datang keringanan dalam jenis permainan ini dalam kondisi berupa gambar ( makhluk bernyawa ). Bukanlah sisi  ( pembolehan ) dari hal itu menurut pendapat kami, kecuali karena boneka itu merupakan mainan anak-anak. Seandainya untuk orang-orang dewasa, sungguh dimakruhkan. Sebagaimana telah datang larangan dalam masalah gambar secara keseluruhan dan juga alat musik.”
[ At-Taudhih Li Syarhi Al-Jami’ Ash-Shohih : 28/209 ]
Al-Imam Asy-Syaukani – rohimahullah – berkta :
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ تَمْكِينُ الصِّغَارِ مِنْ اللَّعِبِ بِالتَّمَاثِيلِ
“Di dalam hadits ini terdapat dalil akan bolehnya memberi kesempatan kepada anak-anak kecil dari bermain dengan boneka”. [ Nailul Author : 6/245 ].
Sebagaimana telah kami jelaskan pada pasal yang sebelumnya, bahwa salah satu ciri muharramat tahrim wasail ( sesuatu yang diharamkan karena menjadi perantara kepada sesuatu yang haram ) adalah diperbolehkan ketika ada hajat syari’iyyah ( kebutuhan yang dibenarkan syari’at ).
Dari hadits Aisyah di atas menunjukkan bahwa gambar bahkan gambar berjasad ( patung/boneka ) diperbolehkan oleh Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – karena adanya kebutuhan sebagai mainan anak-anak kecil.
Hal ini diperkuat dengan hadits Aisyah yang lain beliau berkata :
قَدِمَ رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- من غزوة تَبوكٍ، أو خيبرَ، وفي سَهْوتها سِتْرٌ، فهبَّت ريحٌ فكَشَفَتْ ناحية السَّتر عن بناتٍ لعائشة لُعبٍ، فقال: "ما هذا يا عائشة؟ " قالت: بناتي، ورأى بينهنَّ فرساً لها جناحانِ من رِقاع، فقال: "ما هذا الذي أرَى وَسْطَهُنَّ؟ " قالت: فرسٌ، قال: "وما هذا الذي عليه؟ " قالت: جناحَان: قال: "فرسٌ له جَناحَان؟! " قالت: أما سمعَت أن لسليمان خَيلاً لها أجنحة؟ قالت: فضحك حتى رأيت نواجِذَه
“Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – pulan dari perang Tabuk atau Khaibar. Pada rak barang milik Aisyah  terdapat/ditutupi oleh ( kain ) penutup. Tiba-tiba angin bertiup lalu salah sisi dari kain penutup itu tersingkap sehingga mainan boneka-boneka berwujud anak perempuan milik Aisyah kelihatan. Maka nabi bertanya : “Ini apa wahai Aisyah ?” Aisyah menjawab : “Boneka-boneka perempuanku”. Nabi melihat di antara boneka-boneka tadi terdapat kuda yang memiliki dua sayap yang terbuat dari potongan kain yang terdapat tulisan di dalamnya. Nabi bertanya : “Apa yang kamu lihat di tengah-tengah boneka-bonekamu” Aisyah menjawab : “Kuda”. Nabi bertanya : “Apa yang ada di atasnya ?”. Aisyah menjawab : “Dua sayap”. Nabi berkata : “Kuda memiliki dua sayap ?” Aisyah menjawab : “Apakah anda tidak pernah mendengar sesungguhnya nabi Sulaiman memiliki kuda perang yang punya banyak sayap ?”. maka nabi tertawa sampai aku melihat gigi gerahamnya”. [ HR. Abu Dawud : 4932 ].
Kesimpulan dari pasal ini ini, bahwa gambar bernyawa baik berjasad ( patung/boneka ) dan yang tidak berjasad termasuk sesuatu yang dharamkan, akan tetapi termasuk jenis tahrim wasail ( diharamakn karena akan menjadi perantara kepada sesuatu yang haram ). Oleh karena itu, jika terdapat adanya hajat syar’iyyah ( kebutuhan yang dibenarkan syari’at ) maka diperbolehkan.
MEMANFAATKAN TV ATAU AUDIO VISUAL SEBAGAI MEDIA DA’WAH
Saat ini, TV ataupun audio visual termasuk salah satu media yang sangat efisien, praktis dan memiliki jangkauan yang sangat luas. Hampir setiap keluarga memiliki TV. Jika dulu TV hanya khusus dimiliki oleh orang-orang kaya, tapi sekarang tidak. Seolah TV telah menjadi kebutuhan primer bagi manusia.
Masyarakat juga lebih tertarik untuk mengikuti TV dari para radio. Sehingga saat ini peran radio untuk menyampaikan berbagai informasi-pun telah tergeser oleh TV. Terlebih dengan berbagai kemajuan teknologi yang dicapai umat manusia saat ini, lebih memudahkan terwujudnya berbagai hal yang mereka inginkan.
Dunia telah berubah begitu cepat. Internet yang dahulu merupakan sesuatu yang langka, sulit dan mahal, sudah tidak berlaku lagi untuk saat ini. Internet menjadi suatu hal yang biasa dan menjadi suatu kebutuhan bagi umat manusia. Praktis, murah, cepat, dan jangkauan yang sangat luas, bahkan seluruh dunia menjadi nilai keunggulan untuk internet.
Penyebaran da’wah tauhid dan sunnah melalui TV ataupun audio visual ( video ) telah menjadi kebutuhan di zaman ini. Yang insya Alloh hal ini akan membawa kepada kemashlahatan yang sangat besar. Da’wah sunnah cepat tersebar dan dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Dari pejabat, artis, pegawai, aparat kepolisian/militer, anak sekolah, petani, dan yang lainnya.
Maka berda’wah dengan memanfaatkan TV bukan lagi boleh tapi sangat dianjurkan. Karena adanya hajat syar’iyyah di dalamnya, yang telah dibolehkan oleh agama kita. Walaupun di dalam TV atau Video terdapat gambar bernyawa, akan tetapi diperbolehkan ketika ada kebutuhan terhadapnya.Silahkan lihat kembali pembahasan sebelumnya.
FATAWA PARA ULAMA’ TENTANG BOLEHNYA MEMANFAATKAN TV SEBAGAI MEDIA DA’WAH
Pertama :
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz – rohimahullah –.
>> Fatwa [ 1 ] :
السؤال :
الاستفادة من وسائل الإعلام الحديثة وبخاصة التي فيها صور الاستفادة منها في مجال الدعوة إلى الله كثير من أهل العلم يتحرجون من استخدامها فهل لكم رأي في هذا الموضوع الذي يعتبر مهما في عصرنا هذا؟
الجواب:
نعم هناك من يتحرج من أجل التصوير الذي يكون لأجل المشاركة في التلفاز ومن نشر العلم في التلفاز وهذا يختلف بحسب ما أعطى الله الناس من العلم والإدراك والبصيرة والنظر في العواقب.فمن شرح الله صدره لذلك واتسع أفق علمه ليعمل في التلفاز ويبلغ رسالات الله فله أجره وله ثوابه عند الله ومن اشتبه عليه الأمر ولم ينشرح صدره لذلك فنرجو أن يكون معذوراً
Terjemahan :
Pertanyaan :
"Banyak dari ulama yang berat untuk memanfaatkan sarana-sarana komunikasi modern, khususnya yang ada video-video, bila dimanfaatkan untuk lahan-lahan dakwah kepada Allah. Lalu bagaimana pendapat Anda tentang permasalahan ini, yang di zaman kita sekarang ini dipandang penting?
Jawab :
Benar, memang ada orang yang berat (memanfaatkan sarana-sarana tersebut), karena adanya rekaman video yang harus ada untuk partisipasi di televisi, dan menyebarkan ilmu dengan televisi. Hukum masalah ini akan berbeda (antara orang yang satu dengan yang lainnya), berdasarkan ilmu dan pandangan yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing, serta pandangannya terhadap efek yang ditimbulkannya. Barang siapa yang Allah lapangkan dadanya untuk ikut partisipasi, dan luas cakrawala ilmunya untuk berdakwah di televisi dan menyampaikan risalah-risalah Allah, maka baginya pahala dan ganjaran di sisi Allah. Namun bagi orang yang melihat perkara itu masih syubhat dan dadanya tidak lapang untuk berpartisipasi di televisi, maka kami harap ia mendapat udzur".
[ Liqoo’atii ma’a asy-syaikhoini karya Prof. Dr. Abdullah Ath-Thoyyar hal : 80-81 pertanyaan ke 3 ].
Perhatikan kalimat yang kami cetak tebal! Di dalam fatwa ini asy-syaikh bin Baz – rohimahullah  tidak melarang seorang untuk memanfaatkan TV untuk berda’wah dan menyampaikan risalah Alloh kepada segenap manusia. Bahkan beliau menyatakan bahwa seorang yang melakukannya akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Alloh.
Beliau – rohimahullah – tidak mentahdzir, mencela, menyesatkan, atau bahkan menghizbikan pihak yang memanfaatkan TV sebagai sarana da’wah. Dengan kata lain, walaupun beliau sendiri menyakini gambar makhluk bernyawa itu haram, akan tetapi dalam masalah memanfaatkan TV untuk sarana da’wah, ada keluasan dan beliau menghormati pendapat para ulama’ yang memperbolehkannya. Demikianlah seharusnya ahlus sunnah dan salafiyyin di Indonesia bersikap dalam rangka meneladani beliau.
>> Fatwa [ 2 ] :
ولا شك أن البروز في التلفاز مما قد يتحرج منه بعض أهل العلم من أجل ما ورد من الأحاديث الصحيحة في التشديد في التصوير ولعن المصورين .ولكن بعض أهل العلم رأى أنه لا حرج في ذلك إذا كان البروز فيه للدعوة إلى الحق, ونشر أحكام الإسلام, والرد على دعاة الباطل عملا بالقاعدة الشرعية وهي : ارتكاب أدنى المفسدتين لتفويت كبراهما إذا لم يتيسر السلامة منهما جميعا , وتحصيل أعلى المصلحتين ولو بتفويت الدنيا منهما إذا لم يتيسر تحصيلهما جميعا .وهكذا يقال في المفاسد الكثيرة والمصالح الكثيرة.... ولا شك أن ظهور أهل الحق في التلفاز من أعظم الأسباب في نشر دين الله, والرد على أهل الباطل؛ لأنه يشاهده غالب الناس من الرجال والنساء والمسلمين والكفار , ويطمئن أهل الحق إذا رأوا صورة من يعرفونه بالحق, وينتفعون بما يصدر منه , وفي ذلك أيضا محاربة لأهل الباطل وتضييق المجال عليهم
“Tidak diragukan lagi sesungguhnya tampil di TV termasuk perkara yang terkadang sebagian para ulama’ merasa berat atasnya dikarenakan dalil-dalil yang telah datang berupa hadits-hadits shohih yang melarang keras menggambar makhluq bernyawa serta adanya la’nat atas orang yang menggambar. Akan tetapi sebagian para ulama’ berpendapat sesungguhnya tidak ada kesempitan dalam masalah ini apabila tampil di TV tersebut untuk berda’wah kepada al-haq, menyebarkan hukum-hukum Islam, serta membantah para dai-dai kebatilan dalam rangka mengamalkan kaidah syar’iyyah : “melakukan kerusakan yang lebih/paling ringan untuk menghilangkan salah satu kerusakan yang lebih besar apabila tidak bisa selamat dari dua kerusakan itu semuanya”. ( dan juga kaidah ) : “Merealisasikan kemashlahatan yang paling tinggi walaupun dengan menghilangkan dunia dari keduanya apabila tidak dimudahkan untuk meralisasikan keduanya secara keseluruhan”. Demikianlah dinyatakan dalam masalah kerusakan yang sangat banyak dan kemashlahatan yang sangat banyak. ……..tidak ada keraguan, sesungguhnya tampilnya pembawa kebenaran di TV termasuk dari sebab yang paling besar dalam menyebarkan agama Alloh, membantah para pembawa kebatilan. Karena TV ditonton oleh mayoritas manusia dari laki-laki, wanita, kaum muslimin dan orang-orang kafir. Orang-orang yang mengikuti kebenaran akan merasa tenang jiwa dia melihat wajah para ulama’ yang telah memperkenalkan kebenaran kepadanya dan mereka akan memanfaatkan apa-apa yang muncul darinya. Dan dalam hal ini juga sebagai bentuk untuk memerangi ahli batil dan mempersempit ruang gerak mereka”.
[ Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh bin Baz – rohimahullah - : 5/293-295 ]
>> Fatwa [ 3 ] :
وأما التليفزيون فآلة لا يتعلق بها في نفسها حكم وإنما يتعلق الحكم باستعمالها، فإن استعملت في محرم كالغناء الماجن وإظهار صور فاتنة وتهريج وكذب وافتراء وإلحاد وقلب للحقائق وإثارة للفتن إلى أمثال ذلك فذلك حرام، وإن استعمل في الخير كقراءة القرآن وإبانة الحق والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وإلى أمثال ذلك فذلك جائز،
“Adapun TV, maka hanyalah sebuah alat yang tidak punya kaitan dengan hukum tertentu dari sisi barang TV itu sendiri. Maka jika digunakan dalam perkara yang haram, seperti lagu yang tidak punya malu, menampakkan gambar yang menfitnah ( tidak senonoh ), melawak, dusta, kekafiran, memutar balikan fakta, menyulut api fitnah dan yang semisalnya, maka hal ini haram. Adapun jika digunakan untuk kebaikan seperti membaca Al-Qur’an, menjelaskan kebenaran, amar ma’ruf nahi munkar, dan yang semisalnya, maka boleh”. [ Fatwa Lajnah Daimah : 1/667 ].
Kedua :
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani – rohimahullah –.
>> Fatwa [ 1 ] :
التلفزيون اليوم لا شك أنه حرام، لأن التلفزيون مثل الراديو والمسجل، هذه كغيرها من النعم التي أحاط الله بها عباده كما قال: {وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها}، فالسمع نعمة والبصر نعمة والشفتان نعمة واللسان، ولكن كثيرا من هذه النعم تصبح نقما على أصحابها لأنهم لم يستعملوها فيما أحب الله أن يستعملوها؛ فالراديو والتلفزيون والمسجل أعتبرها من النعم ولكن متى تكون من النعم؟ حينما توجه الوجهة النافعة للأمة.التلفزيون اليوم بالمئة تسعة وتسعون فسق، خلاعة، فجور، أغاني محرمة، إلى آخره، بالمئة واحد يعرض أشياء قد يستفيد منه بعض الناس. فالعبرة بالغالب، فحينما توجد دولة مسلمة حقا وتضع مناهج علمية مفيدة للأمة حينئذ لا أقول : التلفزيون جائز، بل أقول واجب
Jawaban beliau, “Tidaklah diragukan bahwa hukum menonton televisi pada masa kini adalah haram. Televisi itu seperti radio dan tape recorder. Benda-benda ini dan yang lainnya adalah di antara limpahan nikmat Allah kepada para hamba-Nya.Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak bisa menghitungnya”

Pendengaran adalah nikmat Allah. Penglihatan juga merupakan nikmat. Dua bibir dan lidah juga nikmat. Akan tetapi, banyak dari berbagai nikmat yang menjadi sumber bencana bagi orang yang mendapatkan nikmat tersebut karena mereka tidak mempergunakan nikmat dalam perkara yang Allah inginkan.Radio, televisi dan tape recorder adalah nikmat ketika dipergunakan untuk perkara yang mendatangkan nikmat bagi umat. Isi televisi pada masa kini 99 persen adalah kefasikan, pornografi atau porno aksi, kemaksiatan, nyanyian yang haram dan seterusnya.

Sedangkan hanya 1% saja dari tontonannya yang bisa diambil manfaatnya oleh sebagian orang. Sedangkan kaedah mengatakan bahwa nilai sesuatu itu berdasarkan unsur dominan dalam sesuatu tersebut.Ketika ada negara Islam yang sesunggunnya lalu negara membuat program acara TV yang ilmiah dan bermanfaat bagi umat maka –pada saat itu- kami tidak hanya mengatakan bahwa hukum menonton TV adalah boleh bahkan akan kami katakan bahwa menonton TV hukumnya wajib
Sumber :  klik di sini 
[ Khusus untuk fatwa asy-syaikh Al-Albani - rohimahullah -, kami ambil dari terjemahan ust. Firanda Andirja, MA - hafidzohullah - ].
>> Fatwa [ 2 ] :
لو أن القائمين على التلفاز لا يُخرجون فيه إلا الجائز شرعاً فلا أرى بأساً بجواز إدخاله في البيوت
"Kalau seandainya pengurus televisi tidak menayangkan kecuali program yang dibolehkan oleh syari'at maka aku memandang tidak mengapa untuk memasukan televisi di rumah-rumah"
[ Lihat kitab Al-Imam Al-Albaani, duruus wa mawaaqif wa 'ibar, karya DR Abdul Aziz As-Sadhaan, hal 108 ]
Ketiga :
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin – rohimahullah -.
>> Fatwa [ 1 ] :
سئل فضيلة الشيخ : ما حكم صور الكرتون التي تخرج في التلفزيون؟ وما قولكم في ظهور بعض المشايخ فيه؟ وما حكم استصحاب الدراهم التي فيها صور؟ .فأجاب قائلاً : أما صور الكرتون التي ذكرتم أنها تخرج في التلفزيون فإن كانت على شكل آدمي فحكم النظر فيها محل تردد ، هل يلحق بالصور الحقيقية أو لا؟ .والأقرب أنه لا يلحق بها . وإن كانت على شكل غير آدمي فلا بأس بمشاهدتها إذا لم يصحبها أمر منكر من موسيقى أو نحوها ولم تله عن واجب.وأما ظهور بعض المشايخ في التلفزيون فهو محل اجتهاد إن أصاب الإنسان فيه فله أجران وإن أخطأ فله أجر واحد ، ولا شك أن المحب للخير منهم قصد نشر العلم وأحكام الشريعة؛ لأن التلفزيون أبلغ وسائل الإعلام وضوحاً ، وأعمها شمولاً ، وأشدها من الناس تعلقاً فهم يقولون: إن تكلمنا في التلفزيون وإلا تكلم غيرنا وربما كان كلام غيرنا بعيداً من الصواب ، فننصح الناس ونوصد الباب ونسد الطريق أمام من يتكلم بغير علم فيضل ويضل.مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين ( 2/218 )
“Beliau ditanya : Apa hukum gambar kartun yang dikeluarkan di TV ? dan apa pendapat anda tentang tampilnya sebagian syaikh di TV ? dan apa hukum dirham ( sejenis mata uang ) yang terdapat gambar padanya ?
Beliau menjawab : adapun gambar kartun yang telah engkau sebutkan sesungguhnya keluar di TV, maka jika gambar tersebut di atas bentuk manusia, maka hukum melihat terhadapnya dalam kondisi ada kebimbangan. Apakah termasuk gambar yang hakiki atau tidak ? yang lebih dekat kepada kebenaran, sesungguhnya gambar kartun tidak diikutkan pada gambar manusia yang hakiki. Jika tidak di atas bentuk gambar manusia,maka tidak mengapa untuk melihatnya, jika tidak diikuti dengan perkara munkar berupa musik atau yang semisalnya serta tidak melalaikan dari kewajiban.
Adapun tampilnya sebagaian syaikh di TV, maka masalah ini termasuk masalah yang terdapat tempat untuk berijtihad. Jika seorang benar dalam ijtihadnya, dia mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala. Tidak diragukan lagi, sesungguhnya seorang yang mencintai kebaikan diantara mereka, memaksudkan untuk menyebarkan ilmu dan hukum-hukum syari’at. Karena sesungguhnya TV merupakan sarana komunikasi yang paling jelas, paling menyeluruh dan merupakan perangkat yang manusia paling terikat dengannya. Mereka mengatakan : jika kami berbicara di TV, kalau tidak maka selain kami akan berbicara dan terkadang pembicaraan selain kami jauh sekali dari kebenaran. Maka kami nasihatkan kepada manusia, mengokohkan pintu, serta menutup pintu di hadapan orang-orang yang berbicara tanpa ilmu. Maka dia sesat dan menyesatkan orang lain.”
[ Majmu’ Fatawa Wa Rosail Ibnu Utsaimin : 2/218 ].
PARA ULAMA’ KIBAR JUGA BERDA’WAH LEWAT TV ATAU VIDEO
Pada pasal ini, kami akan membawakan contoh ataupun bukti bahwa sebagian para ulama’ kita juga memanfaatkan TV ataupun video untuk berda’wah di jalan Alloh. Diantara mereka :
> Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin - rohimahullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Al-Mufti Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh - hafidzohullah - lihat :  di sini
> Asy-Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh -hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan - hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Sholih Al-Luhaidan - hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Sholih bin Sa'ad As-Suhaimi - hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Abdurrozaq bin Abdul Muhsin Al-Badr - hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul - hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrohman Al-Jibrin - rohimahulalh - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Washiyullah bin Muhammad Abbas - hafidzohullah - lihat : di sini
> Asy-Syaikh Sa'ad bin Abdillah Ats-Tsasry - hafidzohullah - lihat : di sini
Dan yang lainnya masih banyak. Nama-nama yang kami sebutkan hanya sebagai contoh saja.
TANGGAPAN TERHADAP SEBAGIAN ARGUMENT PIHAK YANG MELARANG DA’WAH MELALUI TV ATAUPUN VIDEO
Sebagian pihak melarang/mengharamkan untuk berda’wah melalui TV atau video dengan beberapa alasan. Yang paling pokok ada dua  :

-          Di dalam keduanya terdapat gambar makhluk bernyawa

-
       Menyebabkan fitnah bagi yang menonton. Karena otomatis para wanita juga akan melihat para pengisi TV ataupun Video, baik seorang syaikh atau ustadz. Padahal kita diperintah untuk menundukkan pandangan.
Tanggapan :
Untuk alasan pertama telah kami jawab dengan panjang lebar. Silahkan baca artikel kami dari awal sampai akhir. Insya Alloh telah mencukupi.
Adapun alasan kedua, maka kami jawab sebagai berikut :
Pertama :
Memandang lawan jenis yang bukan mahram, merupakan perkara yang diharamkan. Akan tetapi masuk jenis tahrim wasail ( sesuatu yang diharamkan karena akan menjadi perantara kepada perkara haram, yaitu perzinaan ). Sehingga ketika ada hajat syari’iyyah ( kebutuhan yang dibenarkan syari’at ) serta untuk suatu kemashlahatan, maka diperbolehkan. Seperti seorang laki-laki dibolehkan untuk memandang wanita yang akan dia nikahi.
Al-Imam Ibnul Qoyyim – rohimahullah – telah menjelaskan masalah ini. Beliau –berkata :
لما كان النظر من أقرب الوسائل إلى المحرم اقتضت الشريعة تحريمه، وأباحته في موضع الحاجة، وهذا شأن كل ما حرم تحريم الوسائل، فإنه يباح للمصلحة الراجحة.
“Tatkala melihat ( kepada lawan jenis yang bukan mahram ) termasuk perantara yang paling dekat kepada perbuatan haram ( zina ), maka syari’at telah mengharamkannya dan membolehkannya dalam kondisi dibutuhkan. Dan hal ini merupakan keadaan seluruh perkara yang diharamkan karena akan menjadi perantara kepada perkara yang haram. Maka sesungguhnya dibolehkan ketika ada kemashlahatan yang kuat”. [ Roudhotul Muhibbin  : 1/95 ].
Beliau – rohimahullah – juga berkata :
كما يحرم النظر إلى الأجنبية، لأنه وسيلة إلى غيره، وما حَرُمَ تحريم الوسائل فإنه يباح للحاجة أو المصلحة الراجحة، كما يباح النظر إلى الأمة الْمُسْتَامَةِ، والمخطوبة، ومن شهد عليها، أو يعاملها، أو يَطِبُّهَا
“Sebagaimana diharamkan meliha kepada wanita asing ( bukan mahram ), karena hal itu akan menjadi perantara kepada selainnya ( zina ). Apa yang diharamkan karena akan menjadi perantara kepada perkara yang haram, maka sesungguhnya dibolehkan untuk suatu kebutuhan atau untuk kemashlahatan yang kuat. Sebagaimana dibolehkan melihat kepada budak perempuan yang minta perlindunga, melihat kepada calon pinangan, melihat kepada wanita yang dipersaksikan, atau bermu’amalah dengannya ( jual beli misalnya ), atau mengobatinya.” [ Zadul Ma’ad : 2/223            ].
Jika memang seorang wanita membutuhkan untuk melihat seorang syaikh yang tampil di TV dalam rangka untuk mengambil faidah ilmu, maka diperbolehkan. Dengan catatan aman dari fitnah. Jika terfitnah, maka tidak boleh, walaupun dalam rangka untuk mengambi ilmu.
Sebagaimana seorang dokter laki-laki yang mengobati pasien perempuan. Boleh baginya untuk melihat perempuan tersebut jika memang dibutuhkan untuk pengobatan. Dengan catatan aman dari fitnah. Jika ternyata dokter itu terfitnah, maka tidak diperbolehkan.
Demikian pula diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk berbicara dengan perempuan yang bukan mahromnya untuk suatu kebutuahan yang dibenarkan syari’at, misalnya jual beli. Akan tetapi jika laki-laki itu merasa terfitnah dengan suara wanita tersebut, maka tidak boleh.
Semua contoh-contoh ini menjadi bukti bahwa kondisi-kondisi yang menimpa person tertentu, tidak bisa menjadi hukum untuk semuanya. Tetapi hukum itu hanya diberlakukan untuk person tersebut saja. keadaan wanita yang terfitnah dengan seorang syaikh yang tampil di TV, tidak kemudian dia mewakili seluruh wanita di dunia. Sehingga seluruh wanita haram untuk mengikuti kajian seorang syaikh di TV. Seorang dokter yang merasa terfitnah dengan memandang kepada pasian perempuan dalam rangka pengobatan, tidak kemudian dokter itu mewakili seluruh dokter di dunia. Sehingga seluruh dokter tidak boleh untuk memandang pasien wanitanya dalam rangka pengobatan. Seorang laki-laki yang terfitnah dengan suara wanita dalam rangka transaksi jual beli, tidak kemudian dia mewakili seluruh laki-laki di dunia. Sehingga seluruh laki-laki haram baginya untuk berbicara kepada wanita yang bukan mahramnya walaupun untuk keperluan yang dibenarkan syari’at.
Kedua :
Permasalahan ada sebagian wanita yang terfitnah karena memandang seorang syaikh yang tampil di TV, adalah masalah pribadi dia. Kenapa kemudian yang disalahkan syaikh-nya dan hukum agama yang membolehkannya untuk tampil di TV dengan hujjah-hujjah yang telah kami sebutkan ?
Seharusnya kita melarang wanita tersebut secara khusus dari melihat syaikh yang tampil di TV. Bukan syaikh-nya yang kita larang untuk tampil di TV.
Coba anda pikirkan ! jika ada seorang pedagang laki-laki di suatu pasar. Karena di pasar, tentunya pembeli yang datang dari berbagai kalangan. Ada laki-laki, wanita, dan juga anak-anak. Jika kemudian ada seorang wanita yang terfitnah dengan pedangan laki-laki itu, kira-kira apa kita akan menyalahkan pedagang itu kemudian kita melarangnya untuk berjualan di pasar tersebut ? atau justru kita akan menyalahkan wanita itu dan melarangnya untuk membeli suatu keperluan kepada pedangang yang dia telah terfitnah karenanya ?
Tentu kita akan menyalahkan wanita itu. Seorang tidak akan menanggung kesalahan orang lain. Alloh Ta’ala berfirman :
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَاوَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [ QS. Al-An’am : 164 ].
Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – juga mengarahkan kepada seorang suami yang tidak sengaja melihat seorang wanita kemudian dia terfitnah, maka hendaklah dia pulang dan mendatangi ( mengumpuli ) istrinya. Rosullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – tidak menyalahkan wanita tersebut gara-gara ada seorang laki-laki yang terfitnah olehnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari sahabat Jabir – rodhiallohu ‘anhu -,beliau berkata  :
إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat seorang wanita ( tanpa sengaja-ed ), lalu beliau mendatangi isterinya, yaitu Zainab yang sedang menyamak kulit, guna melepaskan rasa rindunya. Sesudah itu, beliau pergi menemui para sahabatnya, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan syetan. Maka bila kamu melihat seorang wanita, datangilah isterimu, karena yang demikian itu dapat menentramkan gejolak hatimu." [ HR. Muslim : 1403 ].
Ketiga :
Para ulama’ yang membolehkan untuk memanfaatkan TV sebagai media da’wah serta yang dari sisi perbuatan juga melakukannya sebagaimana nama-nama mereka telah kami sebutkan di atas, dalam kondisi tahu bahwa TV itu akan dilihat tidak hanya oleh kalangan laki-laki saja. Bahkan para wanita juga ada yang lihat. Akan tetapi mereka tetap berfatwa bolehnya hal tersebut.
Mereka berfatwa bukan dengan kejahilan, akan tetapi dengan ilmu dan rasa takut kepada Alloh. Alloh berfirman :
إنما يخشى الله من عباده العلماء
“Hanyalah yang takut kepada Alloh dari para hamba-Ku adalah para ulama’”.
Catatan :
Ada yang sering kali membawakan kisah dari Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan, dimana beliau memberhentikan pelajarannya gara-gara ada yang mengambil gambar beliau ketika itu. Kisah ini sering dibawakan oleh sebagain pihak untuk membuktikan bahwa beliau melarang seorang tampil di TV.
Kami jawab : kemungkinan besar, beliau melakukan hal itu karena seorang yang mengambil gambar beliau tidak ada tujuan dan hajat yang syari'i. Sekedar iseng saja. Oleh karena itu beliau marah. Kita harus mengkompromikan kejadian ini dengan fi'il  ( perbuatan beliau ) yang juga berda'wah lewat TV. Jangan hanya melihat kepada kejadian ini tanpa melihat kepada sisi yang lain dari beliau. Bahkan kami mendapat berita yang shohih dari seorang ustadz - hafidzohullah - bahwa beliau juga menganjurkan untuk memanfaatkan TV sebagai sarana da'wah.
Demikianlah pembahasan yang dapat kami susun. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Sebenarnya artikel ini telah lama kami persiapkan, akan tetapi karena kesibukan yang sedemikian banyak, baru saat ini dapat kami selesaikan. Kemudian, semoga kami diberi kesempatan oleh Alloh untuk menyelesaikan pembahasan kami tentang masalah “Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa” dengan terperinci. Innahu waliyyudz dzalika wal qodiru ‘alaihi…Al-hamdulillah Robbil ‘Alamin…
12 Februari 2016
Disusun oleh :
Abu Anas Abdullah bin Abdurrahman Al-Jirani – hafidzohullah -

Dibolehkan untuk menyebarkan atau copy paste artikel ini, dengan syarat tidak menambah dan mengurangi isi artikel serta menyebutkan penulis dan sumbernya dengan jelas dan lengkap ]