Kamis, 31 Januari 2019


Materi Khutbah Jum’at 03

[ PERANAN KELUARGA DALAM KEMAKMURAN BANGSA ]

Kemakmuran suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh anggota penduduk dan rakyatnya, jika penduduk dan rakyat suatu wilayah baik maka otomatis baik bangsanya, oleh sebab itu sangat penting sekali perbaikan individu dan keluarga dalam suatu bangsa.
          Pendidikan dan perbaikan ini pada asalnya adalah tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga.
Diantara bentuk adab suami terhadap keluarganya adalah :
·         Adab agama.
·         Adab harta.
·         Adab sikap dan perilaku.

. Adab agama      : memberikan pendidikan agama kepada istrinya.

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ﴾ [التحريم: ٦]
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. [At Tahrim 6].
§  Dididik sendiri   => diajak pengajian => kajian via HP atau radio => buku => rumah tempat ibadah.

. Adab harta        : memberi nafkah harta.

§  Mahar Pernikahan :
﴿وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ﴾ [النساء: ٤]
berikanlah (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. [an nisa 4]
§  Nafkah Harian   :
﴿وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ﴾ [البقرة: ٢٣٣]
“dan bagi suami ada kewajiban baginya untuk memberi pangan dan sandang kepada istrinya, dengan baik” [al baqarah 233]
﴿أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ﴾ [الطلاق: ٦]
“ berikan tempat tinggal -kepada istrimu- seperti tempat tinggalmu sesuai kemampuanmu.[ at thalak 6]
. Adab dalam sikap dan perilaku     :

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
Sebaik-baik suami adalah yang paling baik sikapnya kepada istrinya, dan saya adalah orang yang terbaik dalam bersikap kepada istriku. [Tirmidzi 3895]

§  Perkataan yang lembut, halus tidak keras dan kasar :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

§  Sabar atas kekurangan istri :

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ؛ فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri), karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, jika engkau kasar kepadanya maka akan patah, akan tetapi jika dibiarkan maka akan tetap bengkok. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

§  Membantu pekerjaan rumah istrinya :

فقَدْ سُئِلَتْ عائشةُ رضي الله عنها: «مَا كَانَ النَّبِيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ؟» قَالَتْ: «كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ ـ تَعْنِي: خِدْمَةَ أَهْلِهِ ـ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ»
Aisyah pernah ditanya : “ Apa yang dilakukan Nabi-shalallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ? Beliau membantu pekerjaan rumah istrinya, jika hadir waktu shalat beliau keluar menuju masjid. [HR Bukhori 676 ]

§  Berdandan kepada istri, seperti istri wajib berdandan kepada suami :

قال ابنُ عبَّاسٍ رضي الله عنهما:«إِنِّي لَأُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَزَّيَّنَ لِي؛ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: ﴿وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ﴾ [البقرة: ٢٢٨]»(١٩)

Berkata ibnu abbas : sesungguhnya Saya senang berhias dihadapan istriku seperti saya senang mereka berdandan untukku, karena Allah ta’ala berfirman : bagi wanita hak seperti mereka punya kewajiban, harus dilaksanakan masing2 dengan baik. [al Baqarah 228]

Tim Dakwah Al Falah







Senin, 28 Januari 2019


Para ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang melarang, ada pula yang memperbolehkannya (dengan syarat). Berikut sebagian fatwa mereka :
Ulama yang Melarang
a.     Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah.
“....... "Celana pantalon mengandung dua cela. Pertama, orang yang menggunakannya berarti bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon, kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi. Kedua, celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan Rabbul 'Alamin?!
Anehnya banyak di antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka. Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara Allah, namun mereka sedikit”.
b.     Asy-Syaikh Yahyaa Al-Hajuriy hafidhahullah.
Soal : Sebagian orang yang membolehkan celana pentalon dan dasi berdalih dengan kaidah: hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh, benarkah dalih yang seperti ini?
Jawab : Ini tidaklah benar, ibarah “hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh” adalah ibarah yang masih butuh diteliti lagi, hanya saja yang mereka (ulama) katakan adalah: hukum asal dalam perkara makanan dan minuman dan seterusnya adalah boleh, dan kemaluan hukum asalnya adalah haram, maka apakah kaidah tersebut yang menghukumi dalil ataukah dalil-lah yang menghukumi kaidah? Tidaklah di sana terdapat kaidah melainkan engkau perlu mencarikan dalil untuknya bukan malah engkau berdalih dengannya,
Memakai celana pentalon itu menyerupai orang-orang kafir Apakah Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dulunya mengenakan pentalon, demikian juga Abu Bakr Ash-Shiddiq dan khulafa’ur Rosyidin, demikian pula Ibnu Mubarak, Sufyanain (Sufyan At-Tsaury dan Sufyan ibnu ‘Uyainah), Hammadain (Hammad bin Zaid dan Hammad bin Salamah), dan Al-Auza’i, tidak satupun dari mereka yang mengenakannya.
Andaikata celana ini ada pada zaman mereka, tentulah mereka akan sangat membencinya, sebab mereka itu sangat melarang untuk menyerupai orang-orang Eropa (barat) dan orang-orang kafir, Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwasanya mereka itu telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu?mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu" [An-Nisaa': 60].
Sama saja apakah itu dalam ucapan, perbuatan ataupun selainnya, dan berkata Allah ta’ala:
لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab, penolong, dan pelindung), dengan meninggalkan orang-orang mukminin" [An-Nisaa': 144].
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ومن تشبه بقوم فهو منهم
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum tersebut” [HR. Abu Daud dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah di Irwaa' (1269) dengan syawahidnya]
Dan Syaikhul Islam punya ungkapan yang kuat di “Iqtidhaa’ Shiratal Mustaqim Mukhalafat Ashhabil Jahim“: Barangsiapa yang memakai pakaian orang-orang kafir dan berpendapat bahwa pakaian itu lebih bagus dan lebih mendapat petunjuk daripada pakaian muslimin maka dia kafir. -selesai- [Al-Iftaa' alal Asilah Al-Waridah min Duwalin Syatta, hal. 200-201].
c.      Asy-Syaikh Rabii’ Al-Madkhaliy hafidhahullah.
“.......Dan potong jenggot termasuk dari maksiat yang merupakan sebab kekalahan, dan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) dengan memakai pentalon adalah bentuk peniruan terhadap musuh-musuh Allah –semoga Allah memberkahimu- sementara kalian tahu bahwasanya para sahabat kalah pada perang Uhud dan Hunain, adapun hari Uhud disebabkan penyelisihan pasukan pemanah yang akhirnya menimpa para sahabat yang dipimpin oleh Rasulullah apa yang telah menimpa mereka.
Demikian juga hari Hunain peristiwanya hampir sama:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ * ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ
Dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya …” [At-Taubah: 25-26].
Jadi karena sebagian di antara mereka ada yang mengatakan “Sekarang jumlah kita sungguh banyak, kita tidak akan terkalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit: Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi mereka pelajaran karena apa yang timbul pada diri mereka (dari ‘ujub), maka bagaimana kiranya dengan pasukan yang memotong jenggotnya dan memakai pakaian orang-orang kafir, kemudian mengharap pertolongan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala?! Karena itulah kita tidak mendapat pertolongan, seringnya musuh-musuh islam-lah yang meraih kemenangan melawan kita.
Maka wajib bagi kita untuk bersemangat dalam menaati Allah dan menetapi dan merealisasikan perintah-perintah Allah, terutama di medan peperangan agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Apabila kalian menolong (agama) Allah niscaya Ia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.” [Muhammad 7].
Ketika itulah baru kita berhak dan pantas meraih pertolongan dari Allah ‘Azza wa Jalla yang telah Ia janjikan kepada kita. -selesai- [Ajwibah Al-'Allamah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali As-Salafiyyah 'Ala Asilati Abi Rawahah Al-Manhajiyyah, hal. 25-27].
Ketiga fatwa ulama di atas saya ambilkan dari http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=59 dan http://isnad.net/fatwa-ulama-tentang-celana-pantalon. Silakan merujuk ke sana.
Jika kita cermati inti fatwa ketiga ulama tersebut, maka ‘illat larangan memakaipantalon ada 2, yaitu tasyabbuh dengan orang kafir dan menampakkan aurat (karena sempit).
Ulama yang Membolehkan dengan Syarat
a.     Ulama Lajnah Daaimah.
الأصل في أنواع اللباس الإباحة ؛ لأنه من أمور العادات ، قال تعالى : قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ويستثنى من ذلك ما دل الدليل الشرعي على تحريمه أو كراهته كالحرير للرجال ، والذي يصف العورة ؛ لكونه شفافا يرى من ورائه لون الجلد أو لكونه ضيقا يحدد العورة ، لأنه حينئذ في حكم كشفها وكشفها لا يجوز ، وكالملابس التي هي من سيما الكفار الخاصة بهم ، فلا يجوز لبسها لا للرجال ولا للنساء ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن التشبه بهم ، وكلبس الرجال ملابس النساء ولبس النساء ملابس الرجال ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن تشبه الرجال بالنساء والنساء بالرجال.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Hukum asal dari berbagai jenis pakain adalah diperbolehkan, karena ia termasuk perkara ‘aadaat (kebiasaan). Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" (QS. Al-A’raaf : 32). Dan dikecualikan dari hal tersebut jika ada dalil syar’iy yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya, seperti sutera bagi laki-laki. Pakaian yang dapat menampakkan aurat dikarenakan tipis sehingga menampakkan warna kulit yang ada di balik pakaian, atau sempit sehingga membentuk aurat, (maka itu tidak diperbolehkan), termasuk hukum menyingkap aurat, sedangkan menyingkap aurat tidak diperbolehkan. Dan seperti pakaian yang menjadi kekhususan orang kafir, maka tidak diperbolehkan memakainya, baik laki-laki ataupun wanita dengan sebab larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertasyabbuh pada mereka. Dan juga seperti laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki; dikarenakan larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari laki-laki bertasyabbuh dengan wanita, dan wanita bertasyabbuh dengan wali-laki.
Dan pakaian yang disebut pantalon dan qamiish (kemeja) itu bukanlah termasuk kekhususan pakaian orang kafir. Bahkan ia termasuk pakaian yang umum dipakai oleh kaum muslimin dan orang kafir di banyak negeri. Hanya saja yang membuat jiwa enggan memakainya di sebagian negeri adalah karena peniadaan kelembutan dan penyelisihan terhadap kebiasaan berpakaian penduduk setempat, meskipun hal itu berkesesuaian dengan kebiasaan kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi yang lebih utama bagi seorang muslim apabila di satu negeri pakaian tersebut tidak dianggap/dipakai oleh penduduknya, hendaknya ia tidak memakainya dalam shalat, pertemuan umum, dan di jalan-jalan. Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa shahbihi wa sallam” [Al-Fataawaa, 24/38-39 no. 1620; dengan ketua : Ibnu Baaz, wakil ketua : ‘Abdurrazzaaq ‘Afiifiy, anggota : ‘Abdullah Al-Ghudayyaan & ‘Abdullah Al-Qu’uud – lihat :http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=9&PageID=9347].
b.     Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah.
Beliau rahimahullah ketika ditanya tentang batasan-batasan tasyabbuh dengan orang kafir, menjawab :
 التشبه بالكفار هو أن الإنسان يتزيا بزيهم في اللباس, أو في الكلام, أو ما أشبه ذلك, بحيث إذا رآه الرائي يقول: هذا من الكفار, أما ما يشترك فيه المسلمون والكفار فهذا ليس تشبهاً, مثل: الآن لبس البنطلون للرجال لا نقول هذا تشبه؛ لأنه صار عادة للجميع, وأما مسألة السيارات وغيرها فهذه ما فيها تشبه إطلاقاً
Tasyabbuh dengan orang kafir adalah seseorang yang meniru mode mereka dalam pakaian, perkataan, atau yang semisalnya; dimana jika ada orang yang melihat hal tersebut akan berkata : ‘hal ini (berasal) dari orang kafir’. Adapun hal-hal yang kaum muslimin dan orang-orang kafir bersekutu di dalamnya, maka ini bukantasyabbuh. Misalnya sekarang ini memakai pantalon bagi laki-laki. Kita tidak mengatakannya perbuatan ini tasyabbuh, karena hal itu telah menjadi kebiasaan bagi semua orang (baik muslim atau kafir). Adapun masalah mobil dan yang lainnya, maka ini bukan tasyabbuh secara mutlak” [Pertemuan Terbuka tanggal 16 Jumadits-Tsaaniy 1416 H; lihat : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=111742].
c.      Asy-Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah pernah ditanya : Apakah diperbolehkan bagi seseorang kadang-kadang memakai baju dan pantalon, ataukah ia harus senantiasa memakai jubah panjang setiap saat, dan apakah ia diharamkan dan termasuk tasyabbuh dengan orang kafir ?. Beliau menjawab :
أما لبس البنطلون فلست أراه من التشبه لأنه زي غلب على ديار المسلمين وكما في القاعدة الفقهية إذا ضاق الأمر اتسع ومع ذلك ففيه حرج من جهة الصلاة فيه ولذلك أرى ألا يلبسه المسلم اذا لم يكن هناك داع اليه
“Adapun memakai pantalon, maka aku tidak memandang itu termasuk tasyabbuh(dengan orang kafir), karena ia adalah pakaian yang umum dipakai di negeri-negeri kaum muslimin. Dan sebagaimana kaedah fiqhiyyah : ‘apabila satu perkara menjadi sempit, ia menjadi luas’. Bersamaan dengan hal itu, padanya terdapat kesempitan (larangan) dari sisi shalat jika mengenakannya. Oleh karena itu aku berpandangan seorang muslim tidak memakainya apabila tidak ada alasan yang mendesak” [lihat :http://ar.islamway.com/fatwa/9814].
d.     Asy-Syaikh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah pernah ditanya : “Apakah boleh memakai baju orang Eropa dan pantalon ?”. Dijawab :
نعم، يجوز العمل في القميص (الإفرنجي) وفي (البنطلون) إذا كان واسعاً وسابغاً
“Ya, diperbolehkan memakai baju orang Eropa dan pantalon jika longgar dan besar” [Silsilatut-Tafsiir, 17/46].
Berikut sebagian perkataan ulama madzhab :
Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
( قَوْلُهُ لَا يَصِفُ مَا تَحْتَهُ ) بِأَنْ لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ احْتِرَازًا عَنْ الرَّقِيقِ وَنَحْوِ الزُّجَاجِ ( قَوْلُهُ وَلَا يَضُرُّ الْتِصَاقُهُ ) أَيْ بِالْأَلْيَةِ مَثَلًا ، ....... وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُنْيَةِ : أَمَّا لَوْ كَانَ غَلِيظًا لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ إلَّا أَنَّهُ الْتَصَقَ بِالْعُضْوِ وَتَشَكَّلَ بِشَكْلِهِ فَصَارَ شَكْلُ الْعُضْوِ مَرْئِيًّا فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَمْنَعَ جَوَازَ الصَّلَاةِ لِحُصُولِ السَّتْرِ
“(Perkataannya : Tidak menyifatkan apa-apa yang ada di bawahnya), yaitu tidak terlihat darinya warna kulit, terhindar dari sifat tipis dan transparan. (Perkataannya : Tidak memudlaratkan jika pakaian/kain itu ‘ngepres’/menempel/ketat), yaitu dengan pantat misalnya..... Dan ‘ibarat dalam  kitab Syarh Al-Mun-yah : Adapun jika kain/pakaian tersebut tebal tidak nampak darinya warna kulit, namun ia ‘ngepres’/menempel dengan anggota badan dan tergambar bentuk/rupanya, lalu terlihatlah bentuk tubuhnya; maka itu tidak menghalangi kebolehan (sahnya) shalat dengan adanya penutup tadi” [Raddul-Muhtaar, 3/270 – via Syaamilah].
Ibnu Syaas Al-Maalikiy rahimahullah berkata :
في صفة الساتر : وليكن صفيقا كثيفا، ولا يكون شفا، ولا بحيث يصف، فإن كان شفا، فهو كالعدم مع الانفراد. وإن كان بحيث يصف وليس يشف فهو مكروه، ولا يؤدي إلى بطلان الصلاة
“Tentang sifat penutup (‘aurat) : Hendaknya tebal, tidak tipis, dan tidak bisa mensifati (‘aurat). Apabila tipis, maka ia seperti ketiadaannya. Dan apabila dapat menyifatkan ‘aurat, namun tidak tipis, maka makruh, dan shalatnya tidak batal sehingga perlu diulang” [‘Iqdul-Jawaahir Ats-Tsamiinah fii Madzhab ‘Aalimil-Madiinah, 1/159].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قال أصحابنا يجب الستر بما يحول بين الناظر ولون البشرة، فلا يكفي ثوب رقيق يُشاهد من ورائه سواد البشرة أو بياضها، ولا يكفي أيضاً الغليظ المهلهل النسج الذي يُظهر بعض العورة من خلله. فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والإلية ونحوهما، صحت الصلاة فيه لوجود الستر
“Shahabat-shahabat kami (kalangan ulama Syaafi’iyyah – Abul-Jauzaa’) berkata : wajib menutup ‘aurat dengan sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang memandang dengan warna kulit. Maka, tidaklah mencukupi pakaian tipis yang dapat dilihat hitam atau putihnya kulit yang ada dibaliknya. Dan tidak mencukupi juga kain tenun tebal yang menampakkan sebagian ‘aurat dikarenakan tenunnya renggang. Seandainya ia dapat menutupi warna kulit namun masih menyifatkan bentuk kulit luar (badan) seperti lutut, pantat, dan yang semisalnya; maka sah shalatnya karena keberadaan penutup (‘aurat) tersebut” [Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab, 3/170].
Al-Khathiib Asy-Syarbiiniy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
فلا يكفي ثوب رقيق ولا مهلهل لا يمنع إدراك اللون ولا زجاج يحكي اللون لأن مقصود الستر لا يحصل بذلك. أما إدراك الحجم فلا يضر لكنه للمرأة مكروه وللرجل خلاف الأولى
“Maka tidaklah mencukupi pakaian tipis yang tidak menghalangi nampaknya warna kulit, tidak pula (mencukupi) pakaian yang transparan yang dapat menggambarkan warna kulit; karena tujuan menutupi ‘aurat tidak tercapai dengan hal itu. Adapun nampaknya bentuk tubuh, tidak memudlaratkannya, akan tetapi bagi wanita adalah makruh dan bagi laki-laki khilaaful-ulaa[7] (meninggalkannya lebih baik)” [Mughnil-Muhtaaj, 1/398].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Dan apabila pakaian tersebut menutup warna kulitnya, namun menyifatkan bentuk badannya, maka shalatnya sah, karena tidak mungkin menghindarkan diri dari hal tersebut meskipun pakaian/kain penutup itu tebal” [Al-Mughniy, 2/286-287].
Ibnu Muflih Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
إذا وصف بياض الجلد، أو حمرته فليس بساتر، وإذا ستر اللون، ووصف الخلقة، أي: حجم العضو، صحت الصلاة فيه، لأن البشرة مستورة، وهذا لا يمكن التحرز منه
“Apabila pakaian/kain dapat menyifatkan putih atau merahnya warna kulit, maka itu bukanlah penutup. Dan apabila ia dapat menutupi warna kulit, namun masih menyifati bentuk tubuh/anggota badan; sah shalatnya, karena kulit telah tertutup. Dan yang demikian tidaklah mungkin untuk menghindarinya” [Al-Mubdi’ Syarh Al-Muqni’, 2/51 – via Maktabah Syaamilah].
Dalil yang dipakai untuk membangun pendapat di atas di antaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنِ ابْنِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، أَنَّ أَبَاهُ أُسَامَةَ، قَالَ: كَسَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسْ الْقُبْطِيَّةَ "، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً، إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا "
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ibnu Usaamah bin Zaid, bahwasannya ayahnya yaitu Usaamah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah memberiku baju Qubthiyyah yang tipis yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbiy. Lalu aku memberikannya kepada istriku untuk dipakai. Setelah itu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Mengapa engkau tidak mengenakan baju Qubthiyyah ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah memberikannya kepada istriku agar ia memakainya”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Perintahkanlah ia agar ia mengenakan di bawahnya ghilaalah[8]. Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan bentuk tulangnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/205; sanadnya dla’iif dengan sebab ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil. Al-Arna’uth mengatakan : “Kemungkinan untuk dihasankan”[9]].
Faedah : Riwayat ini menunjukkan perintah menutup ‘aurat bagi wanita lebih keras/ketat daripada perintah menutup ‘aurat bagi laki-laki, karena ketika Usaamah memberitahukan pakaian/kain Qubthiyyah kepada istrinya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melapisinya dengan ghilaalah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal yang sama ketika kain itu diberikan kepada Usaamah di kali pertama.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: " إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْتَسِي وَهُوَ عَارٍ، يَعْنِي الثِّيَابَ الرِّقَاقَ "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan, dari ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim dari Jariir (bin ‘Abdillah Al-Bajaliy) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berpakaian, namun hakekatnya telanjang. Yaitu pakaiannya tipis” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausathno. 2215; sanadnya shahih].
Walhasil, jika seseorang shalat dengan pakaian/kain yang dapat untuk menutupi kulit sehingga tidak dapat terlihat dari luar, meskipun akan membentuk sebagian anggota tubuh; maka shalat sah, walau sebagian ulama ada yang memakruhkannya.
Kembali pada masalah pantalon. Seseorang yang shalat dengan memakai pantalon yang dapat menutupi ‘auratnya sehingga warna kulitnya tidak terlihat, sah shalatnya. Jika pantalonnya sempit[10] hingga dapat membentuk anggota badannya, maka makruh. Bahkan jika terlalu sempit, saya khawatir itu masuk dalam hukum : keberadaannya seperti ketiadaannya. Jika longgar[11], maka boleh. Yang lebih sempurna dan lebih menutupi ‘aurat (lagi terhindar dari perselisihan pendapat), maka ia shalat dengan didobeli kain sarung atau gamis panjang (model Pakistan, Saudi, atau yang semisalnya).
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
ويصلى الرجل في السراويل إذا وارى ما بين السرة والركبة، والإزار أستر وأحب منه .قال وأحب إلى أن لا يصلى إلا وعلى عاتقه شيء عمامة أو غيرها ولو حبلا يضعه
“Seorang laki-laki boleh shalat dengan saraawiil apabila dapat menutupi apa-apa yang terletak antara pusar dan lutut. Dan sarung lebih menutupi dan lebih aku sukai darinya (saraawiil). Dan aku lebih suka jika ia tidak shalat kecuali jika di atas pundaknya ada sesuatu berupa ‘imaamah atau yang lainnya, meskipun hanya seutas tali yang ia letakkan padanya (pundak)” [Al-Umm, 1/89].
Al-Barbahaariy rahimahullah berkata :
ولا بأس بالصلاة في السراويل
“Tidak mengapa shalat dengan mengenakan saraawiil” [Syarhus-Sunnah, hal. 61 no. 37].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum memakai celana pantalon dimana sebagian pemakainya tersingkap sebagian auratnya ketika rukuk dan sujud dalam shalat. Beliau rahimahullah menjawab :
إذا كان البنطلون - وهو السراويل - ساتراً ما بين السرة والركبة للرجل، واسعاً غير ضيق صحت فيه الصلاة، والأفضل أن يكون فوقه قميص يستر ما بين السرة والركبة، وينزل عن ذلك إلى نصف الساق أو إلى الكعب؛ لأن ذلك أكمل في الستر.
والصلاة في الإزار الساتر أفضل من الصلاة في السراويل إذا لم يكن فوقها قميص ساتر؛ لأن الإزار أكمل في الستر من السراويل
“Apabila pantalon – yaitu saraawiil – dapat menutupi apa-apa yang terdapat antara pusar dan lutut bagi laki-laki, longgar lagi tidak sempit, maka sah shalatnya. Dan afdlal-nya agar didobeli qamiish yang menutup antara pusar dan lutut, dan lebih rendah lagi hingga pertengahan betis atau hingga mata kaki. Hal itu dikarenakan lebih sempurna dalam menutup aurat. Dan shalat dengan memakai sarung penutup aurat lebih utama daripada shalat dengan memakai saraawiil bila tanpa didobeli qamiish sebagai penutup aurat. Karena, sarung lebih sempurna untuk menutup aurat daripada saraawiil” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480].
Wallaahu a’lam.