Minggu, 14 Juni 2020

ETIKA MEMPERBAIKI KESALAHAN PEMERINTAH

Kita sebagai umat Islam, telah dipilih oleh Allah sebagai umat terbaik yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan selalu memberikan nasihat kebaikan dan kebenaran kepada orang lain.
Termasuk terhadap pemerintah, jika kita melihat kekurangan dan kesalahan mereka maka sikap kita adalah :
1.       Tidak boleh mendukung dan menyetujui kesalahan mereka.
2.       Tidak boleh diam dengan kesalahan mereka.
Harus ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat dalam kebaikan.
Akan tetapi ada aturan dalam Al Qur’an dan dalam As Sunnah dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat kepada pemerintah :
1.   Dengan bahasa yang lembut, kata-kata yang sopan dan penuh kasih sayang mengharapkan kebaikan, Berkata-kata kasar, tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku muslim Renungkan firman Allah Ta’ala:
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
[At-Thoha:43-44]
Kita bukan Musa -alaihis salam- dan kita tidak lebih baik dari Musa -alaihis salam-
Pemerintah kita juga tidak sejahat Fir’aun yang mengaku Rabb Pencipta yang tertinggi.
2.   Berusaha menyampaikan secara langsung, melalui mekanisme yang resmi dan benar, bukan dengan teriak teriak di jalan, apalagi pada zaman ini ada akun pribadi para pemerintah baik di facebook, twitter dll.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاِنِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” 
(HR. Ahmad 3/403, Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2/94, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal As-Sunnah 2/507)
Perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas juga diamalkan oleh sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ketika banyak orang membicarakan dan mengkritik kepemimpinan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,
أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟
“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?”
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata, tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu fitnah).” 
(HR. Muslim no. 2989)