Selasa, 28 November 2017

HUKUM BERDOA SETELAH SHALAT FARDHU DENGAN MENGANGKAT TANGAN


أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Dalam hadits ini ada anjuran berdoa di “DUBUR SHALAT”/ belakang shalat, apa yang dimaksud dubur shalat yang benar ?

-sebelum salam atau sesudah salam ?

Untuk memahami hal ini, alangkah baiknya kita memperhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz berikut (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/194-196) yang kami sarikan berikut ini. Serta ada sedikit penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dan ulama lainnya yang kami sertakan.

Dubur shalat kadang bermakna sebelum salam dan kadang pula bermakna sesudah salam.

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal ini. Mayoritasnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dubur shalat adalah akhir shalat SEBELUM SALAM JIKA HAL INI BERKAITAN DENGAN DO’A.

Sebagaimana dapat dilihat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkannya tasyahud padanya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنْ الدُّعَاءِ بَعْدُ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ يَدْعُو بِهِ
“Kemudian terserah dia memilih do’a yang dia sukai untuk berdo’a dengannya.” (HR. Abu Daud no. 825).
Dalam lafazh lain,
ثُمَّ لْيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ
“Kemudian terserah dia memilih setelah itu (setelah tasyahud) do’a yang dia kehendaki (dia sukai).” (HR. Muslim no. 402, An Nasa’i no. 1298, Abu Daud no. 968, Ad Darimi no. 1340)

Di antara contoh do’a yang dibaca sebelum salam adalah yang terdapat dalam hadits Mu’adz bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat padanya,
لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat)[1] : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. An Nasa’i no. 1286, Abu Daud no. 1301. Sanad hadits ini shohih)

Contoh lain dari do’a yang dibaca sebelum salam adalah do’a yang diajarkan oleh Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ
Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung pada-Mu  dari hati yang lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur yang jelek, aku berlindung kepada-Mu dari musibah dunia dan aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur.”[2]

Adapun setelah salam yang dituntunkan adalah DZIKIR bukan DOA . berdasarkan hadits-hadits shohih yang ada.

Contoh yang dimaksud adalah ketika selesai salam kita membaca :
Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullahAllahumma antas salam wa minkas salam tabarokta yaa dzal jalali wal ikrom.

Dzikir ini dibaca oleh imam, makmum ataupun orang yang shalat sendirian (munfarid). Kemudian setelah itu imam berbalik ke arah makmum sambil menghadapkan wajahnya ke arah mereka. Setelah itu imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian membaca dzikir :


Kesimpulan :

Yang dimaksud dengan dubur shalat adalah :
[1] Setelah tasyahud, sebelum salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdo’a.
[2] Setelah shalat, sesudah salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk berdzikir.

Kalau Ingin Berdo’a, Sebaiknya Dilakukan Sebelum Salam

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah (Liqo’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 82) berkata :
Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa apabila engkau ingin berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah kepada-Nya sebelum salam. Hal ini karena dua alasan :

Alasan pertama : Inilah yang diperintahkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang tasyahud, “Jika selesai (dari tasyahud), maka terserah dia untuk berdo’a dengan do’a yang dia suka.”

Alasan kedua : Jika engkau berada dalam shalat, maka berarti engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu. Jika engkau telah selesai mengucapkan salam, berakhir pula munajatmu tersebut. Lalu manakah yang lebih afdhol (lebih utama), apakah meminta pada Allah ketika bermunajat kepada-Nya ataukah setelah engkau berpaling (selesai) dari shalat? Jawabannya, tentu yang pertama yaitu ketika engkau sedang bermunajat kepada Rabbmu.
Adapun ucapan dzikir setelah menunaikan shalat (setelah salam) yaitu ucapan astagfirullah sebanyak 3 kali. Ini memang do’a, namun ini adalah do’a yang berkaitan dengan shalat. Ucapan istighfar seseorang sebanyak tiga kali setelah shalat bertujuan untuk menambal kekurangan yang ada dalam shalat. Maka pada hakikatnya, ucapan dzikir ini adalah pengulangan dari shalat.

Hukum Mengangkat Tangan untuk Berdo’a Sesudah Shalat Fardhu

Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk berdo’a sesudah shalat fardhu. Berdasarkan penjelasan yang pernah kami angkat, kita telah mendapat pencerahan bahwa memang mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Namun, apakah ini berlaku dalam setiap kondisi? Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin bahwa hal ini tidak berlaku pada setiap kondisi. Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan ketika berdo’a. Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat tangan ketika berdo’a sesudah shalat.
Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :
Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdo’a ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud (membaca do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika khutbah jum’at atau shalat ‘ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdo’a) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) berikut :
“Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”

Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat?
Ini dibolehkan setelah berdzikir, namun tidak dengan mengangkat tangan. Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/178) mengatakan :
“Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdo’a ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. Wajib bagi setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya. Wallahu waliyyut taufik.

Bahkan Berdo’a Sesudah Shalat dan Dzikir adalah Perkara yang Dianjurkan
Dianjurkan seseorang berdo’a sesudah shalat dan setelah dzikir disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ali Basam dalam Tawdihul Ahkam (1/776-777). Syaikhul Islam –rahimahullah- mengatakan :
“Dianjurkan bagi setiap hamba sesudah shalat dan setelah membaca dzikir semacam istigfar, tahlil, tasbih, tahmid dan takbir, lalu dia bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia boleh berdo’a sesuai yang dia inginkan. Karena berdo’a sesudah melakukan aktivitas ibadah semacam ini adalah waktu yang tepat untuk terkabulnya do’a, apalagi sesudah berdzikir kepada-Nya dan menyanjug-Nya, juga setelah bershalawat kepada Nabi-Nya. Ini adalah sebab yang sangat ampuh untuk tercapainya manfaat dan tertolaknya mudhorot (bahaya). ”
Namun yang perlu diperhatikan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawanya (11/168) bahwa do’a sesudah shalat boleh dilakukan, namun tanpa mengangkat tangan dan tidak bareng-bareng (jama’i). Beliau mengatakan bahwa hal ini tidak mengapa.

Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan :
Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil. Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai shalat sunnah tidak dirutinkan. Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya.
Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.

Demikian pembahasan kami tentang hukum bedo’a sesudah shalat. Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang masih terdapat perselisihan ulama di dalamnya. Namun demikianlah pendapat yang kami pilih dan lebih menenangkan hati kami. Kami pun masih menghormati pendapat lainnya dalam masalah ini.
Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima.




HUKUM MEMBUKA KAJIAN PADA HARI JUM’AT SEBELUM SHOLAT JUM’AT
Terdapat sebuah hadits yang berbicara tentang larangan berhalaqoh sebelum sholat Jum’at. Dengan jalannya Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya beliau berkata :
ﻧَﻬَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸِّﺮَﺍﺀِ ﻭَﺍﻟْﺒَﻴْﻊِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﻨْﺸَﺪَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﺄَﺷْﻌَﺎﺭُ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﻨْﺸَﺪَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﻀَّﺎﻟَّﺔُ، ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤِﻠَﻖِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ
“Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam melarang jual beli di masjid, menasyidkan syair di masjid, mengumumkan barang hilang di masjid dan membuat halaqoh pada hari Jum’at sebelum sholat” (diriwayatkan oleh 5 ahli hadits dan selainnya).
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Al-‘Alamah Ahmad Syakir dan selainnya, sementara itu Imam Tirmidzi, Imam Al Albani, Asy-Syaikh Syu’aib Arnauth dan selainnya menghasankannya.
Mata rantai Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya, para ulama berbeda pendapat tentang kualitasnya, barangkali pendapat yang pertengahan adalah kualitas sanadnya hasan.
2. Sebagian ulama berpendapat larangan membuat halaqoh (pertemuan) baik itu berupa pengajian DI MASJID sebelum sholat Jum’at secara mutlak. Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuus berpendapat larangan tersebut dimulai pada waktu pertama pada hari Jum’at secara mutlak –yakni setelah sholat Subuh hari Jum’at –pent.-. (sumber :
Al-‘Alamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh –mufti ‘Aam pertama KSA- pernah berfatwa :
ﺍﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻓﻘﺪ ﺻﺮﺡ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺑﻜﺮﺍﻫﺔ ﺍﻟﺘﺤﻠﻖ
“adapun sebelum sholat Jum’at, maka para ulama telah menegaskan kemakruhan mengadakan halaqoh (ilmu)”. (sumber : http://alifta.net/Fatawa/FatawaDetails.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=10730&PageNo=1&BookID=2 ).
4. Tim fatwa Islam web berpendapat bolehnya membuka pelajaran sebelum adzan berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari jalan Muhammad bin ‘Aashim dari bapaknya beliau berkata :
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﺑَﺎ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻓَﻴَﻘْﺒِﺾُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻣَّﺎﻧَﺘَﻲِ ﺍﻟْﻤِﻨْﺒَﺮِ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻘَﺎﺳِﻢِ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻕُ ﺍﻟْﻤَﺼْﺪُﻭﻕُ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ‏« ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺰَﺍﻝُ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻊَ ﻓَﺘْﺢَ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟْﻤَﻘْﺼُﻮﺭَﺓِ ﻟِﺨُﺮُﻭﺝِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻟِﻠﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺟَﻠَﺲَ »

“aku melihat Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu keluar pada hari Jum’at, lalu beliau berpegangan di kedua ujung mimbar sambil berdiri, kemudian berkata, telah menceritakan kepada kami Abul Qoosim Rasulullah yang benar lagi dibenarkan Sholallahu ‘alaihi wa Salaam…, beliau terus menerus menyampaikan hadits, hingga ketika mendengar pintu  masjid terbuka karena datangnya Imam sholat, beliau pun duduk”.
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrok dan dinilai shahih oleh beliau lalu disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Atsar ini terjadi pada masa salaf dan mereka tidak mengingkari beliau, hal ini menunjukkan bahwa taklim sebelum sholat Jum’at tidak ada masalah.
Kemudian markaz fatwa Islam web mencoba mengkompromikan atsar ini dengan hadits larangan diatas, bahwa yang diperbolehkan adalah jika jamaah sudah berkumpul, duduk di shofnya masing-masing untuk mengikuti rangkai sholat Jum’at, adapun jika dalam masjid banyak halaqoh yang berbeda-beda maka ini dimakruhkan karena dapat memutus shof-shof sholat. (sumber : http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=42620 ).
Imam Syaukani dalam kitabnya “Nailul Author” menyebutkan bahwa mayoritas ulama memahami larangan diatas sebagai makruh saja, alasannya karena dapat memutus shof, dimana sejak waktu pertama hari Jum’at, Rasulullah menganjurkan kepada umatnya agar datang berpagi-pagi merapatkan shofnya pada barisan pertama dan terus menerus sampai shof berikutnya, dan dijanjikan pahala yang besar bagi yang berpagi-pagi datang serta berada di shof pertama. Kalau memang ada hajah yang sangat penting….pendidikan kepada umat atau ….pembinaan tetapi waktunya hanya bias hari jumat maka tidak mengapa….Wallahul A’lam.

Minggu, 26 November 2017

A.                 Al-Qadariah, Majusi Umat ini

Siapakah yang tak mengenal Majusi? Aliran penyembah api atau lazim disebut Zoroaster ini, punya dualisme keyakinan tentang sumber kebaikan dan sumber kejahatan. Di umat ini, juga telah muncul aliran serupa. Dialah al-Qadariyyah.
Siapakah Mereka?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Al-Qadariyyah adalah orang-orang yang ingkar terhadap takdir. Mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang terjadi di alam semesta ini bukan karena takdir dan qadha dari Allah subhanahu wa ta’la. Akan tetapi semua terjadi dikarenakan perbuatan hamba, tanpa ada takdir sebelumnya dari Allah subhanahu wa ta’la.’ Mereka ingkar terhadap rukun iman yang keenam.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh-dhallah, hlm. 29)

Kapan Munculnya dan Siapa Pelopornya?

Kelompok ingkar takdir ini belum pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga di zaman al-Khulafa ar-Rasyidin. Mereka baru muncul di pertengahan abad pertama hijriyyah di akhir masa generasi terbaik umat ini (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). tetapi kemunculannya sudah diperkirakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk. Dan jika meninggal dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 338 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)


Pelopornya adalah Ma’bad bin Khalid al-Juhani, salah seorang penduduk kota Bashrah. Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj  rahimahullahmeriwayatkan dalam Shahih-nya hadits no. 1 dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Yang pertama kali memelopori (menyebarkan) paham ingkar takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani.”
Dia menimba paham sesat ini dari Susan, seorang Nasrani yang masuk Islam namun kemudian kembali kepada agama Nasrani. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Auza’i rahimahullah, “Yang pertama kali mencetuskan paham ingkar takdir adalah Susan, seorang penduduk Irak. Ia tadinya seorang Nasrani lalu masuk Islam, kemudian kembali kepada agamanya semula. Ma’bad al-Juhani menimba (paham sesat ini) darinya, kemudian Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi menimbanya dari Ma’bad.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnati wal Jama’ah, karya al-Imam al-Lalika-i rahimahullah, 4/827)

Bagaimanakah Ideologi Mereka?
Al-Qadariyyah di awal kemunculannya, menampakkan ideologi:
لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ
Yakni tidak ada takdir dan semua perkara yang ada merupakan sesuatu yang baru, di luar takdir dan ilmu Allah subhanahu wa ta’la(terjadi seketika, red.). Allah subhanahu wa ta’la baru mengetahuinya setelah perkara itu terjadi. (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah, 1/138)
Ketika bantahan dan pengingkaran as-Salafush Shalih terhadap paham sesat ini demikian gencar, sedikit demi sedikit ideologi ini sirna. Namun karena tidak sedikit dari ahlul ilmi dan ahli ibadah yang hanyut bersama mereka, ada yang justru bergeser kepada ideologi bid’ah lainnya.
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ideologi ini telah sirna, dan kami tidak mengetahui salah seorang dari muta’akhirin (yang datang belakangan, red.) yang berpaham dengannya. Adapun Al-Qadariyyah di hari ini, mereka semua sepakat bahwa Allah subhanahu wa ta’la Maha Mengetahui segala perbuatan hamba sebelum terjadi, namun mereka menyelisihi As-Salafush Shalih dengan menyatakan bahwa perbuatan hamba adalah hasil kemampuan dan ciptaan hamba itu sendiri.” (Fathul Bari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, 1/145)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ketika paham al-Qadariyyah telah merebak serta tidak sedikit dari ahlul ilmi dan ibadah yang hanyut bersama mereka, akhirnya mayoritas mereka menetapkan adanya ilmu Allah subhanahu wa ta’la tentang segala sesuatu sebelum terjadinya. Namun mereka mengingkari keumuman masyi’ah (kehendak Allah subhanahu wa ta’la) dan penciptaan.”[1](Kitab al-Iman, hlm. 331)
Mengapa Disebut “Majusi Umat Ini”?
Sebutan ini sebenarnya berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Al-Qadariyyah itu Majusi umat ini. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk. Dan jika meninggal dunia, jangan disaksikan (dihadiri) jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 338 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Juga sabda beliau:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ مَجُوْسًا وَإِنَّ مَجُوْسَ أُمَّتِيْ يَقُوْلُوْنَ: لاَ قَدَر، فَإِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ
“Sesungguhnya tiap-tiap umat ada Majusinya, dan Majusi umatku adalah orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk, dan jika meninggal dunia jangan disaksikan jenazahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, hadits no. 339 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)
Al-Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan al-Qadariyyah dengan Majusi, karena ideologi mereka serupa dengan ideologi orang-orang Majusi dalam hal (dua sumber kehidupan): cahaya dan kegelapan. Mereka (Majusi) menyatakan bahwa kebaikan bersumber dari cahaya sedangkan kejelekan bersumber dari kegelapan, sehingga mereka merupakan orang-orang yang mempunyai dualisme keyakinan.
Demikian pula al-Qadariyyah, mereka menyandarkan kebaikan kepada Allah subhanahu wa ta’la dan kejelekan kepada selain Allah subhanahu wa ta’la. Padahal Allah subhanahu wa ta’la adalah Pencipta kebaikan dan kejelekan itu, tidak akan terjadi sedikit pun dari kebaikan ataupun kejelekan kecuali dengan kehendak-Nya. Keduanya disandarkan kepada Allah subhanahu wa ta’la dari sisi penciptaan dan disandarkan kepada para pelaku yaitu hamba-hamba-Nya dari sisi yang mengerjakan dan mengupayakannya. Wallahu a’lam.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 1/138—139)
Sikap Para Ulama dan Umara Terhadap Mereka
Al-Imam al-Lalika-i rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu az-Zubair, ia berkata, (Suatu hari) kami thawaf bersama Thawus rahimahullah (salah seorang tabi’in, murid Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.) dan kami pun melewati Ma’bad al-Juhani. Maka disampaikanlah kepada Thawus bahwa ini adalah Ma’bad yang mengatakan tidak ada takdir. Thawus pun kemudian berkata kepada Ma’bad, “Engkaukah orang yang berdusta atas nama Allah dengan apa yang kamu tidak tahu?!”
Ma’bad berkata, “Itu tuduhan kepadaku belaka.”
Abu az-Zubair berkata, “Akhirnya kami mengunjungi Ibnu ‘Abbas, kemudian Thawus berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abbas (yakni Ibnu Abbas, pen.), ada orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir.”
Ibnu Abbas berkata, “Tunjukkan kepadaku sebagian dari mereka.”
Thawus pun bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan?”
Beliau menjawab, “Aku akan masukkan tanganku pada kepalanya, lalu aku patahkan lehernya.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnati wal Jama’ah, 4/787)
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin al-Husain al-Ajurri rahimahullahmeriwayatkan dari jalan ‘Amr bin Muhajir, ia berkata, “Telah sampai informasi kepada Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahbahwa Ghailan bin Muslim mengatakan, ‘Takdir itu tidak ada’. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil Ghailan. (Setelah datang), ia dibiarkan (tidak ditemui) selama beberapa hari. Kemudian setelah itu dibawa menghadap beliau. ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, ‘Ghailan, apa ini yang aku dengar tentang dirimu?!’
‘Amr bin Muhajir memberikan isyarat agar ia tidak menjawab, namun Ghailan tetap menjawabnya, ‘Ya, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:

1.                 هَلۡ أَتَىٰ عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ حِينٞ مِّنَ ٱلدَّهۡرِ لَمۡ يَكُن شَيۡ‍ٔٗا مَّذۡكُورًا ١  إِنَّا خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن نُّطۡفَةٍ أَمۡشَاجٖ نَّبۡتَلِيهِ فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢ إِنَّا هَدَيۡنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرٗا وَإِمَّا كَفُورًا ٣

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berupa sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), oleh karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 1—3)[2]
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, ‘Bacalah akhir dari surat tersebut!’

2.                 وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ٣٠ يُدۡخِلُ مَن يَشَآءُ فِي رَحۡمَتِهِۦۚ وَٱلظَّٰلِمِينَ أَعَدَّ لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمَۢا ٣١

 “Dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang yang zalim, Ia sediakan azab yang pedih.” (al-Insan: 30—31)
Kemudian beliau berkata, ‘Bagaimana pendapatmu, wahai Ghailan?’
Ghailan berkata, ‘Sungguh sebelumnya aku buta lalu engkau menerangiku, aku tuli lalu engkau membuka pendengaranku, dan aku sesat lalu engkau menunjukiku.’
Maka ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, ‘Ya Allah, semoga hamba-Mu Ghailan jujur. Kalau tidak, maka saliblah ia!’.....Maka Ghailan pun tidak lagi berkata tentang takdir, sehingga ia diangkat oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz sebagai penanggung jawab kantor pembayaran kas khilafah di Damaskus. Ketika ‘Umar bin Abdul ‘Aziz wafat dan khilafah dipegang Hisyam bin Abdul Malik, ia kembali berbicara tentang tidak adanya takdir. Maka akhirnya Hisyam mengirim utusan untuk memotong tangannya. Ketika tangannya (setelah dipotong, pen.) sedang dikerumuni lalat, lewatlah seorang laki-laki seraya berkata kepadanya, ‘Wahai Ghailan, ini adalah qadha dan qadar.’ Maka ia menjawab, ‘Engkau berdusta, demi Allah ini bukan qadha dan bukan pula qadar.’ Maka Hisyam mengirim utusan kembali untuk menyalib Ghailan.” (asy-Syari’ah, hlm. 208—209)
Demikianlah sikap tegas ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik rahimahumallah di dalam menindak penyeru bid’ah dari kalangan al-Qadariyyah. Sikap keduanya ini didukung oleh para ulama sebagaimana diriwayatkan al-Lalika-i dari jalan Ibrahim bin Abu Ablah. Ia berkata, “Suatu saat aku berada di sisi ‘Ubadah bin Nusai, lalu datanglah seseorang seraya berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin (Hisyam) telah memotong tangan dan kaki Ghailan serta menyalibnya. Bagaimana pendapatmu?’

‘Ubadah berkata, ‘Boleh-boleh saja. Demi Allah, tindakannya tepat dan mencocoki sunnah. Sungguh aku akan menulis surat kepadanya dan aku nyatakan bahwa pendapatnya benar-benar baik’.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnati wal Jama’ah, 4/793)

sumber kesesatan mereka :
- tidak mau kembali kepada pemahaman shahabat nabi, para salafus shalih, ulama kibar umat Islam, tetapi bangga dan mendahulukan dengan pendapatnya sendiri.
- mari kita kembalikan urusan agama kita kepada ulama kibar agar tidak sesat seperti mereka.

Kesyirikan di sekitar kita # 3
[ MEMAKAI JIMAT DAN RAJAH]
Masih sering kita dapati di masyarakat kita, bayi yang memakai gelang atau kalung untuk menolak penyakit berupa benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan dagangan, mobil yang didalamnya ada gantungan untuk mencegah kecelakaan, rumah yang pintunya dipasang jimat-jimat untuk menolak bala’, dan contoh-contoh yang lain.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Begitu pula Waki’  pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).

Rangkuman hukum memakai gelang/kalung :

1)    Jika memakai dengan keyakinan kalung tersebut memiliki kekuatan menolak bala dengan sendirinya : syirik akbar.
2)    Jika memakai dengan keyakinan kalung tersebut memiliki kekuatan menolak bala atas ijin Allah ta’ala tanpa ada bukti ilmiyah dan logis : maka syirik kecil.
3)    Jika memakai kalung tanpa ada keyakinan kalung emas bagi laki-laki : dosa besar.
4)    Jika memakai kalung tanpa keyakinan kekuatan, bagi wanita : boleh.


Abul hasan ali cawas

Jumat, 24 November 2017

Mewaspadai Sekte Menyimpang :


Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan :
عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ لُحَيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .
Dari Abu ‘Amir al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.” [ HR Abu Dawud, Ahmad dan lainnya, Shahih Albani ]

I.                   KHAWARIJ


A.                 Definisi Khawarij.

1. Secara Etimologi Bahasa Arab.

Khawarij adalah bentuk jama` dari khoorij dan Korij adalah kata turunan dari khuruj sedangkan khuruj secara etimologi Arab mengandung beberapa makna, diantaranya: lawan dari masuk, yaitu keluar.

Dalam sejarah Islam dinamakan khawarij : karena keluar dari ketaatan khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

B.                Awal mula khawarij :

Imam Ibnul-Jauzi berkata dalam kitabnya Talbis Iblis:

“Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul-Khuwaishirah.”


Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri,
bahwa beliau berkata:
‘Ali pernah mengirim dari Yaman untuk Rasulullah, sepotong emas dalam kantong kulit yang telah disamak, dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membaginya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid al-Khail, dan yang ke-empat ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka seseorang dari para shahabatnya menyatakan:
“Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding mereka.”
Ucapan itu sampai kepada Nabi, maka beliau bersabda:
“Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore”.
Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya, dan tergulung sarungnya. Orang itu berkata:
“Takutlah kepada Allah wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah kemudian berkata: “Celaka engkau! Bukankah aku manusia yang paling takut kepada Allah?”
Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid bin al-Walid berkata: “Wahai Rasulullah bolehkah aku penggal lehernya?”
Nabi berkata: “Jangan, dia masih shalat (yakni masih muslim).”
Khalid berkata: “Berapa banyak orang yang shalat dan ber-syahadat ternyata bertentangan dengan isi hatinya.”
Nabi berkata: “Aku tidak diperintah untuk meneliti isi hati manusia, dan membelah dada mereka.”
Kemudian Nabi melihat kepada orang itu, sambil berkata:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini sekelompok kaum yang membaca Kitabullah (al-Qur’an) secara kontinyu, namun tidak melampaui tenggorokan mereka (*yakni tidak paham makna aslinya). Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya.”
Dan saya kira beliau berkata:
“Jika aku menjumpai mereka, niscaya aku akan bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum Tsamud.”

Imam Ibnul-Jauzi berkata:
“Orang itu dikenal dengan nama Dzul-Khuwaishirah at-Tamimi. Dia adalah Khawarij pertama dalam sejarah Islam. Penyebab kebinasaannya adalah karena dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Kalau dia berilmu tentu dia akan tahu bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah.”

4. Ciri-ciri Dan Sifat-sifat Khowarij


Khowarij memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang menonjol yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits yang shohih, dan hal itu sangat penting dalam mengetahui siapa mereka,dan diantara faidah mengetahui hal ini:

Diantara sifat-sifat tersebut adalah:


1. suka mencela dan menganggap sesat para pemimpin, memberontak kepada pemerintah

Sifat ini tampak jelas pada Khowaarij, mereka selalu mencela para pemimpin-pemimpin dan menganggap mereka sesat serta menghukumi mereka sebagai orang-orang yang sudah keluar dari keadilan dan kebenaran, dan ini dapat dilihat dari sikap Dzul Khuwaishiroh terhadap Rasulullah.


2. Berprasangka buruk terutama kepada para pemimpinnya, kepada pemerintahnya ada program pemerintah, curiga ini program Yahudi, dananya dari mana ....? ada program dari pemerintah, curiga ini program dari  aceng dll....ini adalah sifat Khawarij yang tampak dalam cara menghukum yang dilakukan oleh Dzul Khuwaishiroh.


Berkata Syiekhul Islam : Pada tahun peperangan Hunain, beliau membagi Ghonimah (rampasan perang) Hunain kepada orang-orang yang hatinya lemah (Mualafah Qulubuhum) dari penduduk Nejd dan bekas tawanan Quraisy seperti `Uyainah bin Hafsh,dan beliau tidak memberi kepada kaum Muhajirin dan Anshor sedikitpun.
Maksud beliau memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati mereka dengannya merupakan mashlahat umum bagi kaum muslimin, sedangkan yang tidak beliau beri adalah karena mereka lebih baik dimata beliau dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan seutama-utamanya hamba Allah yang sholih setelah para Nabi dan Rasul-rasul-Nya.Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk mashlahat umum, maka Nabi tidak akan memberikannya pada orang-orang kaya para pemimpin yang ditaati dalam perundang-undangan dan akan memberikannya kepada Muhajirin dan Anshor yang lebih membutuhkan dan lebih utama. Oleh karena itu orang-orang Khawarij mencela Nabi dan dikatakan kepada beliau oleh pelopornya:Wahai Muhammad berbuatlah adil, sesungguhnya engkau tidak berlaku adil. Dan perkataannya: `sesungguhnya pembagian ini tidak dimaksudkan untuk mendapat wajah Allah ....



Mereka meskipun banyak shaum (puasa), sholat dan membaca Alquran,tetapi keluar dari As Sunnah dan Jamaah, Memang mereka dikenal sebagai kaum yang suka beribadah, wara dan zuhud akan tetapi tanpa disertai ilmu, sehingga mereka memutuskan bahwa pemberian itu semestinya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang berhajat, bukan kepada para pemimpin yang ditaati dan orang-orang kaya itu,jika didorong untuk mencari keridhoan selain Allah-menurut prasangka mereka. Inilah kebodohan mereka, karena sesungguhnya pemberian itu menurut kadar mashlahat agama Allah. Jika pemberian itu akan semakin mengundang ketaatan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian itu lebih utama. Pemberian kepada orang yang membutuhkannya untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih agung daripada pemberian yang tidak demikian itu,walaupun yang kedua lebih membutuhkan(Lihat Majmu` Fatawa XXVIII/579-581 dengan sedikit diringkas)


3. Berlebihan dalam beribadah sebagaimana sabda Rasulullah :

karena dia mempunyai teman-teman yang salah seorang di antara kalian akan diremehkan [merasa remah] shalatnya jika dibandingkan dengan shalat mereka, dan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka.


Berkata Ibnu Hajar: Mereka (Khowarij) dikenal sebagai Qurra` Penghapal Alquran), karena besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah dan ibadah, akan tetapi mereka suka menta`wil Alquran dengan ta`wil yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Mereka lebih mendahului pendapat-pendapat mereka, berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu` dan lain sebagainya.


4. Keras terhadap kaum muslimin, sebagimana sabda Rasulullah :

Sesungguhnya akan keluar dari keturunan laki-laki ini, suatu kaum yang membaca Alquran tidak melebihi kerongkongan mereka. membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala. Terlepas dari Islam seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Seandainya aku menemui mereka, sunggguh akan aku bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum `Aad


Sejarah telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya tentang Khawarij berkenaan dengan cara mereka ini. Diantara kejadian yang mengerikan adalah kisah Abdullah bin Khobaab: Dalam perjalanannya, orang-orang Khaawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabab.mereka bertanya kepadanya:Apakah engkau pernah mendengar dari bapakmu suatu hadits yang dikatakan dari Rasulullah, kalau ada, ceritakanlah kepada kami tentangnya! lalu beliau berkata:ya, aku telah mendengar dari bapakku, bahwa Rasulullah menyebutkan tentang fitnah.Yang duduk ketika itu lebih baik dari pada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari, jika engkau menemuinya, hendaklah engkau menjadi hamba Allah yang terbunuh. mereka berkata: Apakah engkau mendengar hadits itu dari bapakmu dan memberitakannya dari Rasulullah?.beliau menjawab:ya, setelah mendengar jawaban beliau tersebut, mereka mengajak ke hulu sungai, lalu memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya seolah-olah seperti tali terompah.


Lalu mereka membelah perut istrinya yang sedang hamil dan mengeluarkan isinya. Kemudian mereka datang kesebuah pohon kurma yang lebat buahnya di Nahrawan. Tiba-tiba jatuhlah buah pohon korma tersebut dan diambil salah seorang diantara merekalalu dia masukkan kedalam mulutnya, Berkatalah salah seorang dari mereka,engkau mengambil tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya dengan sah).Akhrnya ia pun membuangnya kembali dari mulutnya salah seorang dari mereka yang lain mencabut pedangnya lalu mengayunkannya. Kemudian mereka melewati babi milik seorang ahlu dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian diseret moncongnya. Mereka berkata:ini adalah kerusakan dimuka bumi.setelah mereka bertemu dengan pemilik babi itu, maka mereka mengganti harganya(Talbis Iblis hal.93-94)


5. Sedikit dan rendah pemahaman mereka terhadap fiqh, dan tidak mau kembali urusan agama kepada para ulama, shahabat jamam dulu atau ulama kibar pada jaman ini dan ini merupakan kesalahan mereka yang sangat besar yang menyebabkan mereka menyempal dari ajaran yang benar. Terutama dalam permasalahan kontemporer pada jaman ini, contohnya : masalah invasi Iraq ke Kuwait dan permintaan bantuan Arab Saudi kepada tentara Amerika, masalah Palestina dengan Israil, masalah ISIS, masalah pemilu dan demokrasi di berbagai negara, ciri khas mereka tidak mau mengikuti pendapat ulama kibar, ikut pikiran, perasaannya sendiri atau ustadz yang ndak jelas.


6. Muda usia dan berakal rendah, sebagaimana sabda Rasulullah :

Akan keluar padda akhir zaman suatu kaum, umumnya masih muda, rusak akalnya, mereka mengatakan dari sebaik-baik perkataan makhluk. Membaca Alquran tidak melebihi kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya (H.R. Bukhari VI/618 no. 3611; Muslim II/746 no 1066)


7. Fasih dalam berbahasa. Telah terkenal kefasihan mereka dalam berbicara dan berbahasa, sehingga berkata Ibnu Ziyad: Sungguh ucapan mereka lebih cepat sampai ke hati-hati manusia dari pada rambatan api ke batang kayu


Dikutip dari tulisan  Kholid bin Syamhudi.