Senin, 09 Desember 2019


Liburan untuk Pembentukan Karakter Positif Anak

SAHABAT KELUARGA - Siapa bilang liburan sekolah identik dengan libur dari belajar? Karena kita sebagai seorang mukmin seyogyanya memanfaatkan waktu dengan baik untuk belajar kapan saja dan di mana saja.

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia menyia nyiakan, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”
(HR. Bukhari no. 6412)

Saat berlibur bersama keluarga, anak-anak justru mendapatkan kesempatan luas untuk belajar khususnya belajar membentuk karakter.  Liburan akhir semester selama dua pekan perlu dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, dengan menyisipkan pendidikan karakter sang buah hati.

Berikut ini beberapa kegiatan pembentuk karakter anak.  

1.  Tanggung jawab

Tanggung jawab dimulai dari merancang kegiatan. Rencana yang matang sudah setengah dari suksesnya kegiatan. Pesan seperti ini sudah umum maka bagus jika anak-anak dilibatkan dalam merancang liburan bersama keluarga. Mereka akan merasa memiliki dan tanggung jawab menyukseskan kegiatan liburan itu.

Misalnya kegiatan liburan selama dua pekan, target liburan, dan lain-lain. Bila lemah perencanaan, muncul kegiatan di luar rencana yang kurang bermanfaat atau mengundang pemborosan. Namun demikian, penyesuaian di lapangan jelas selalu ada.

Misalnya : Kegiatan hafalan Al Qur’an, bagaimana target harian. Kegiatan ibadah shalat, kegiatan ibadah sedekah, kegiatan ibadah silaturahmi dan yang lainnya.


2.  Disiplin

Dalam melaksanakan rencana yang telah disusun. Tidak ada rumus liburan kemudian kewajibannya libur, misalnya salat lima waktu bagi muslim. Selain itu, barlalu lintas di jalan raya, anak-anak akan belajar dari cara orang tua berlalu lintas. Apakah ayahnya taat pada aturan serta santun dan menghargai pengguna jalan yang lain?  

3.  Peduli 

Ajarkan anak peduli atau peka terhadap tugas rumah tangga, misalnya mencuci piring, mencuci baju, merapikan tempat tidur.
Atau saat bermalam di rumah saudara. Anak perlu menyesuaikan dan terlibat dalam kegiatan keluarga setempat. Misalnya tiap pagi membantu menyapu atau membersihkan rumah. 
Senang berbagi Berwisata tidak harus masuk restoran mahal. Sekali waktu melirik warung makan yang sedikit pembeli. Aneka objek bisa dikunjungi, selipkan niat berbagi kepada orang yang membutuhkan yang dijumpai membeli di warung yang sepi. Senang untuk membawa oleh-oleh bagi tetangga pun, bagian dari hal yang perlu ditularkan kepada anak.  


4.  Mengenal lebih dekat tugas anggota keluarga

Dengan sering berlibur, anak akan mengenal pembagian tugas dalam keluarga. Misal, anak laki-laki lebih dekat dengan kegiatan ayah urusan transportasi, mengenal dunia mesin, dan lain-lain. Bila sudah lebih besar akan belajar menyetir mobil dan mengetahui aneka tantangan berlalu lintas. Bagi anak perempuan akan akrab dengan menyiapkan perbekalan konsumsi, memasak dan oleh-oleh.  

5.  Sabar
Bagaimana rasanya mengantre makanan di rumah makan dan menghadapi kemacetan di jalan? Ini juga bagian dari latihan sabar. Ajari anak dengan bijak bahwa semua orang pernah mengalami hal yang sama sehingga perlu bersabar. Termasuk sabar menghadapi karakter orang lain atau saudara-saudaranya. Misalnya ada yang cerewet atau suka pamer, dan lain-lain. Ini pun menarik untuk dipahamkan kepada anak.


6.  Jujur

Di rumah makan, makan tiga jajanan ngakunya dua? Hal seperti ini sepertinya sudah tidak ada yang melakukan. Namun, bagaimana bila di objek wisata saat di pintu loket? Dengan mobil pribadi berisi 10 orang, adakah orangtua yang mengatakan hanya berisi 6 orang? Maaf, hal ini termasuk ilmu yang ditularkan ke anak, tidak jujur. Jangan ditiru.  

7.  Menghargai orang lain

Salah satu keterampilan hidup yang dicurigai bisa hilang adalah menghargai lawan bicara karena serbuan media elektronika. Media canggih di tangan terlalu mendekatkan yang jauh, tetapi justru menjauhkan yang dekat. Jangan sampai niat silaturahmi, tetapi waktu anak habis hanya bersama gawainya, baik sibuk main games maupun asyik dengan media sosialnya. Buatlah kesepakatan sebelum berlibur atau nasihati anak saat sendiri, tidak perlu di depan banyak orang.  
Tentu masih banyak yang lain kegiatan liburan yang perlu direfleksi. Ayah-Bunda, selagi ada waktu, nikmati kebersamaan bersama buah hati dan manfaatkan liburan untuk pembentukan karakter hebat anak shalih shalihah.
 
SDS IT Al Falah


Minggu, 01 Desember 2019


Hak Pengasuhan Anak :

Agama Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Salah satu aturan dalam Islam adalah masalah Hak Pengasuhan Anak jika terjadi perceraian antara suami dan istri.

Dengan aturan ini diharapkan anak tidak terlantar, tidak tersia-sia dan tetap mendapatkan pendidikan dan kasih sayang walaupun kedua orang tuanya telah pisah.  

§  Urutan Kepengasuhan      :

1.     Jika anak masih kecil belum mumayyiz ( 7 tahun ) : Ibu.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي

“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”.Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah”. [HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) dan al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari’at. [Majmu’ al Fatawa (17/216-218)

dari aturan ini menunjukkan bahwa seorang ibu lebih dibutuhkan oleh seorang anak yang masih kecil, dibawah tujuh tahun daripada kebutuhannya kepada ayah.

anak lebih mendengar nasihat ibu, anak lebih nurut dengan petuah ibu daripada ayahnya. seorang ibu harus lebih tampil dan berperan kepada anak dalam usia ini dan mencurahkan banyak waktunya untuk mendidik dan mengarahkan anak.



2.     Jika anak sudah mumayyiz ( 7 tahun )     :

a.     Anak Laki-laki               : Silakan memilih.

Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengadu, “Suamiku ingin membawa pergi anakku,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: “Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!” Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua berlalu.[ HR Abu Dawud (2277)
b.    Anak Perempuan          : Ayahnya lebih berhak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang sudah berusia tujuh tahun, keatas), Fatawa Syaikhil-Islam (34/131)

dari ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa anak perempuan yang sudah berusia tujuh tahun keatas, kebutuhan terhadap nasihat dan bimbingan ayah lebih besar daripada kebutuhannya terhadap nasihat ibu.

dalam usia ini anak perempuan ada kecenderungan malah mulai berani dengan ibunya, mulai membantah, dan melawan ibunya dan sangat dibutuhkan sosok seorang ayah yang lebih tegas dan berwibawa.

banyak kita dapatkan keluarga yang bercerai, kemudian mempunyai anak perempuan dewasa dan anak ini ikut ibunya maka kecenderungan anak perempuan ini menyimpang sangat besar.

karena kehilangan sosok ayahnya.
maka dalam usia ini sosok seorang ayah lebih didengar, lebih ditaati daripada seorang ibu. 

Allahu A'lam