Rabu, 06 Desember 2017

3 Pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam

 الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi, shahih Albani].


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715)

A.           MEMURNIKAN IBADAH UNTUK ALLAH TA’ALA DAN MEMERANGI KESYIRIKAN.

1.           Prioritas dakwah tauhid, mengapa ?

a)           Tujuan utama penciptaan manusia dan jin.


Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Setiap istilah ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20)

b)           Kewajiban pertama dan terakhir.

وعن ابن عباس رضى الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذاً إلى اليمن قال : “إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب . فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله الا الله | وفى رواية إلى أن يوحدوا الله
Dan dari ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya Rasuulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam mengutus Mu’aadz ke Yaman, dan beliau bersabda padanya: “Sungguh kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah PERTAMA KALI yang HARUS KAMU SAMPAIKAN kepada mereka adalah SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH – dalam riwayat yang lain disebutkan “SUPAYA MEREKA MENTAUHIDKAN ALLAH”-…
عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
 Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu  berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]

c)            Amalan banyak, tauhid  rusak maka tidak berguna.


يخَرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَتيِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآَنْ. لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِليَ قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ. وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلىَ صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ. وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلىَ صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ
“Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”
Tetapi mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari sasarannya. [ HR Muslim ]

d)           Amalan sedikit, tauhid benar pasti masuk surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia masuk Surga.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ، قَالَ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ “
Dari Abu Dzar radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Malaikat utusan Rabbku datang kepadaku, lalu ia mengabarkan kepadaku – atau : ia memberikan berita gembira untukku – bahwasannya barangsiapa yang meninggal dari kalangan umatku yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun niscaya akan masuk surga”. Aku (Abu Dzarr) berkata : “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri ?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, walau ia pernah berzina dan mencuri?” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1236].

e)           Prioritas dakwah para nabi dan rasul

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", [ An Nahl : 36 ].
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). [ Al A’raf 59 ]
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 85).
Sampai dengan Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- :
Buktinya pertanyaan Raja Heraklius kepada Abu Sufyan ketika masa perjanjian Hudaibiyah. Heraklius menanyakan tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Apa yang diperintahkan kepada kalian?” Aku (Abu Sufyan) berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
Sembahlah Allah semata, dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah perkataan nenek moyang kalian! Beliau memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat, jujur, menjaga kehormatan diri, dan menyambung persaudaraan.”
Maka bagi setiap muslim harus menjadikan tauhid dan aqidah sebagai prioritas dakwahnya.
·         Dakwah ibadah shalat, puasa, zakat dan haji, hendaknya dilakukan setelah dakwah tauhid dan aqidah.
اِنَّكَ سَتَأْتِى قَوْمًا مِنْ اَهْلِ اْلكِتَابِ، فَاِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ اِلَى اَنْ يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، فَاِنْ هُمْ طَاعُوْا لَكَ بِذلِكَ فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ، فَاِنْ هُمْ طَاعُوْا لَكَ بِذلِكَ فَاَخْبِرْهُمْ اَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ.. البخارى 5: 109
(Hai Mu’adz), bahwasanya kamu akan datang kepada orang-orang ahli kitab, maka apabila kamu telah sampai kepada mereka, pertama kali ajaklah mereka kepada mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah. Maka jika mereka telah mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Lalu jika mereka telah mematuhi kamu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada kalian membayar zakat, yang diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian dikembalikan (dibagikan) kepada orang-orang miskin mereka. [HR. Bukhari juz 5, hal. 109].
Bukankah Rasululullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- di kota Makkah 10 hanya dakwah tauhid, bukankah kewajiban shalat 5 waktu turun setelah peristiwa Isra’ mi’raj, tahun berapakan peristiwa Isra mi’raj ?
·         Dakwah politik mencapai kepemimpinan dalam rangka penegakan syariat Islam, juga harus dilakukan setelah dakwah tauhid, seperti perjalanan dakwah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam : pemerintahan Islam dan penegakan hukum Islam beliau laksanakan di kota Madinah, setelah Tauhid kokoh dan telah merasuk kuat di seluruh umat Islam dan kesyirikan telah di tinggalkan.
Kisah Nabi Musa dengan Firaun seorang penguasa yang paling jahat  :
Al-Qur'an mengabadikan, saat Fir’aun sudah sampai pada puncak ketaghutan dengan mengatakan, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi,” maka Allah mengutus Nabi Musa dan Harun untuk memperingatkannya dan mendakwahinya seraya berpesan,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaahaa: 44).
Kenapa Musa tidak menggulingkan dan memberontak kepada Fir’aun,?
 tetapi silakan Engkau miliki kekuasaan yang terpenting adalah Engkau dan rakyatmu mengesakan Allah ta’ala
Hadits pertama, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا مَلَكٌ يَنْزِلُ فَقَالَ جِبْرِيلُ إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ خُلِقَ قَبْلَ السَّاعَةِ فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَرْسَلَنِى إِلَيْكَ رَبُّكَ أَفَمَلَكاً نَبِيًّا يَجْعَلُكَ أَوْ عَبْداً رَسُولاً قَالَ جِبْرِيلُ تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ « بَلْ عَبْداً رَسُولاً »
Malaikat Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun. Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’” [1]
[1] HR. Ahmad dalam Musnad no. 7359 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6365. Syaikh Syu’aib Arnauth berkata dalam tahqiq beliau terhadap Shahih Ibnu Hibban,”Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1002.
Hadits ke dua, ketika dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai merisaukan hati orang-orang kafir Quraisy, maka mereka mengutus ‘Utbah bin Rabi’ah untuk memberikan beberapa penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Utbah bin Rabi’ah berkata,
يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ
Wahai keponakanku! Jika yang Engkau inginkan dari dakwahmu ini adalah harta, maka akan kami kumpulkan harta-harta yang kami miliki untukmu sehingga Engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika yang Engkau inginkan adalah kemuliaan, maka akan kami serahkan kemuliaan itu untukmu, sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu perkara tanpa dirimu. Jika yang Engkau inginkan adalah menjadi Raja, maka akan kami angkat Engkau menjadi Raja atas kami. Apabila Engkau terkena jin yang dapat Engkau lihat namun Engkau tidak dapat menolaknya dari dirimu, maka akan kami carikan pengobatan untukmu. Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mengobatimu, karena seseorang terkadang dikalahkan oleh jin yang mengikutinya sampai dia diobati darinya”. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Utbah, sampai dia menyelesaikan perkataannya.
Setelah ‘Utbah selesai berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membacakan surat Fushshilat, dan ketika sampai ke ayat as-sajdah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersujud. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
·         قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ
Wahai Abul Walid! Sungguh Engkau telah mendengar apa yang telah kau dengar. Maka terserah padamu.” [2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/292 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Kisah ini mempunyai penguat dalam hadits Jabir yang dikeluarkan oleh ‘Abdu bin Humaid dan Abu Ya’la. Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya (hal. 96) [dan beliau menyatakan bahwa sanadnya tsiqoh, pen.sehingga kisah ini menjadi kuat dan kokoh”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 113.
Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
مَا بِي مَا تَقُولُونَ مَا جِئْتُ بِمَا جِئْتُكُمْ بِهِ أَطْلُبُ أَمْوَالَكُمْ وَلَا الشّرَفَ فِيكُمْ وَلَا الْمُلْكَ عَلَيْكُمْ وَلَكِنّ اللّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ رَسُولًا ، وَأَنْزَلَ عَلَيّ كِتَابًا ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَكُونَ لَكُمْ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ، فَبَلّغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبّي ، وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَإِنْ تَقْبَلُوا مِنّي مَا جِئْتُكُمْ بِهِ فَهُوَ حَظّكُمْ فِي الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَإِنّ تَرُدّوهُ عَلَيّ أَصْبِرْ لِأَمْرِ اللّهِ حَتّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ
Aku tidak menginginkan tawaran kalian. Aku tidaklah datang dengan membawa misi-misi itu. Aku tidak meminta harta-harta kalian, tidak pula kemuliaan di tengah-tengah kalian, dan tidak pula meminta tahta kerajaan atas kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada kalian. Aku telah menyampaikan risalah Rabb-ku kepada kalian dan telah menasihati kalian. Jika kalian menerima apa yang aku bawa, maka itulah keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika kalian menolaknya, maka kewajibanku adalah bersabar atas urusan Allah tersebut sampai Allah memutuskan (perkara) antara aku dengan kalian.” [3]
Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/295 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Hadits ini menjadi penguat hadits sebelumnya [yaitu hadits ke dua di atas, pen.] dan masing-masing di antara keduanya saling menguatkan”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 114
Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.
Akan tetapi, beliau tetap memegang teguh manhaj dakwah tauhid sebagaimana para Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah tidak memulai dakwahnya dengan ambisi merebut kekuasaan, maka beliau juga tidak mengawali dakwahnya dengan perbaikan ekonomi atau perbaikan sosial budaya.

2.           TEGAS DALAM MEMBERANTAS KESYIRIKAN 

a)           Arti Syirik :


Dalam hadits shahihain, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia bertanya pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
أَىُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ « أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ »
Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” “Engkau membuat sekutu bagi Allah padahal Dia telah menciptakanmu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 4477 dan Muslim no. 86).

Para ulama memberikan kesimpulan arti syirik :

Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah ta’ala.

b)            Macam Syirik

Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.
(1)          Syirik Besar

Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah,
seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya.

Konsekwensinya :

Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik besar ada banyak [10], sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:[11]
§  Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]
§  Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Huud: 15-16]
§  Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]
§  Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]
(2)          Syirik Kecil

Syirik kecil adalah perbuatan yang dinamakan syirik oleh syariat tetapi dosa syirik tersebut tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.

Syirik kecil ada dua macam:

§  bentuk ucapan
§  bentuk perbuatan.
Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” [12]
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’” [13]
Contoh lain : berdoa kepada Allah di sisi kuburan orang shalih
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah [15]) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya.

c)            Ancaman Bagi Orang Yang Berbuat Syirik 


1. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak bertaubat kepada Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah (berbuat syirik), maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48] Lihat juga [An-Nisaa’: 116].
2. Diharamkannya Surga bagi orang musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zha-lim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]
3. Syirik menghapuskan pahala seluruh amal kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’aam: 88]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” [Az-Zumar: 65]
Dua ayat ini menjelaskan barangsiapa yang mati dalam keadaan musyrik, maka seluruh amal kebaikan yang pernah dilaku-kannya akan dihapus oleh Allah, seperti shalat, puasa, shadaqah, silaturahim, menolong fakir miskin, dan lainnya.
4. Orang musyrik itu halal darah dan hartanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
“…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian…” [At-Taubah: 5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ، عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang diibadahi dengan benar melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa Jalla.”[8]
Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemunkaran yang paling munkar.

d)           Perbuatan syirik yang ada di sekitar kita


[ ZIARAH KUBUR MAKAM PARA WALI ]

A.           Arti tawasul : perantara untuk mencapai sesuatu

Allâh Azza wa Jalla maha mendengar lagi maha dekat, tidak membutuhkan keberadaan perantara dari makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah maha dekat”. [al-Baqarah/2:186]
Orang yang berdosa dan kotor, tetap berdoa langsung kepada Allah ta’ala
Iblis laknatallah berdoa kepada Allah ta’ala dan dikabulkan :
AllahTa’ala berfirman mengenai permohonan Iblis,
قَالَ أَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”
Maka Allah menjawab,
قَالَ إِنَّكَ مِنَ المُنظَرِينَ
“Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.” (Al-A’raf: 14-15).
Ziarah kemakam para wali....bolehkah....?
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَصَلُّوا عَلَيَّ ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan, dan jangan jadikan kuburanku sebagai Id, bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun engkau berada
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2042), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (8605), Ath Thabrani dalam Al Ausath (8/81), dan yang lainnya, di shahihkan Albani.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda : “jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id”
Arti id adalah : “tempat yang selalu dikunjungi secara ruti berulang-ulang”.
Maka Nabi kita melarang kita mengunjungi kuburan beliau secara berulang –ulang, maka kuburan para wali juga demikian, terlarang untuk kita kunjungi secara berulang-ulang, tiap jum’at kliwon misalnya.

B.           Tawasul ada 2 macam     :

1.           Tawasul yang  dianjurkan syariat.

2.           Tawasul yang dilarang syariat.

C.           Tawasul yang dianjurkan syariat         :

Pertama: Tawassul dengan Asma’ul Husna,
yakni kita berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang indah sesuai dengan karakter doa kita. Misalnya: “Yaa Ghafuur  Ya Rahiim”, saat kita memohon ampunan dan rahmat-Nya. Atau “Ya ‘Aziizu Ya Qawiyyu”, saat mendoakan kekalahan bagi musuh-musuh Islam, atau nama-nama lainnya yang tidak bertentangan dengan makna doa kita. Tawassul seperti ini sangat dianjurkan, sebagaimana firman Allah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا…  [الأعراف/180]
Hanya milik Allah lah asmaa-ul husna, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (Al A’raaf: 180).
Kedua: Tawassul dengan amal shaleh kita,
Bukan dengan amalan orang lain. misalnya dengan mengatakan : Ya Allah sembuhkanlah penyakitku dengan perantara amalan sedekahku ini.
Dalilnya ialah kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebut amal shaleh yang pernah dilakukannya hingga batu yang menutup mulut gua tersebut terbuka atas izin Allah,   Lihat redaksi hadits selengkapnya dalam Shahih Bukhari no 2152.
Ketiga: Tawassul dengan minta doa dari orang yang masih hidup dan hadir di dekat kita.
Dalilnya adalah kisah Si tunanetra yang terkenal dengan istilah hadietsul a’ma dalam  HR. Tirmidzi no 3578 dan Ibnu Majah no 1385 dengan sanad yang shahih.
Demikian pula kisah orang Arab badui yang masuk mesjid ketika Nabi sedang khutbah Jum’at, lalu mengeluhkan jalan yang pecah-pecah, keluarga yang kelaparan dan harta benda yang binasa akibat paceklik yang berkepanjangan, kemudian meminta agar Rasulullah berdoa kepada Allah supaya turun hujan, HR. Bukhari no 967 & 968 dan Muslim no 897, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu.

D.           Tawasul yang dilarang syariat :

·         Tawasul dengan mendatangi kuburan orang shalih dan berdoa dikuburan tersebut, agar doanya terkabulkan.
Subhat dan bantahannya :
إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِيْ اْلأُمُوْرِ فَاسْتَعِيْنُوْا مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ . كَذَا فِي الْبَهْجَةِ السُّنِّيَّةِ للشَّيْخِ مُحمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْجَانِي ص
Hadits pertama itu artinya:

“Jika kamu bingung di dalam perkara-perkara, maka mintalah tolong dari para penghuni kubur!” Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Bahjah As-Sunniyyah karya Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Jani, hal:41.

Bantahan:
Ketahuilah bahwa ini adalah hadits palsu! Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini palsu dengan kesepakatan ahli ilmu, tidak ada seorangpun dari ulama ahli hadits yang meriwayatkannya.” [Al-Istighatsah Ar-Raddu ‘Alal Bakri, II/483, tahqiq Abdullah bin Dujain As-Sahli, Darul Wathan, Cet:I, Th:1997 M/1417 H]

KESIMPULAN :

Di sini kami ringkaskan jawaban kami di atas, yaitu:

1. Tawassul, yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara, ada yang disyari’atkan dan ada yang terlarang.

2. Tawassul yang disyari’atkan, yaitu: bertawassul dengan: a) Nama-nama Allah dan sifat-sufatNya. b) iman dan amal shalih orang yang berdoa. c) Doa orang shalih yang masih hidup. Adapun yang terlarang adalah yang tidak ada dalilnya, seperti: tawassul dengan orang yang telah mati, dengan dzat atau kehormatan Nabi, orang shalih, dan lainnya.

3. Seluruh dalil yang dipakai oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah.
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.

4. tawasul dengan orang shalih yang sudah meninggal termasuk perbuatan terlarang dan termasuk perbuatan syirik.

 [ MENDATANGI PARANORMAL/ORANG PINTER/DUKUN ]

Para dukun, peramal, dan tukang sihir tersebut mengaku-ngaku mengetahui urusan gaib, padahal ini merupakan kekhususan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan”.
[an-Naml/27:65]
Minta bantuan jin
Memang jin bisa melihat kita.....kita tidak bisa melihat jin.
يإِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. [al A’raf : 27].
Hukum manusia minta bantuan jin .....?
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. [al-Jin/72:6]
Tetapi jin mau membantu manusia, jika manusia mau menyembahnya, menyembelihkan binatang kepadanya.
Mereka selalu bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek sihir dan perdukunan. Padahal para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan kurban untuk para jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’ân dengan berbagai macam cara, atau cara-cara lainnya.
HUKUM MENDATANGI DUKUN

Orang yang mendatangi dukun ada tiga keadaan:

1. Dia mendatangi dukun kemudian dia bertanya kepadanya dan percaya serta membenarkan ucapannya maka hal ini merupakan tindakan kufur kepada Allah Azza wa Jalla kerena mempercayai ucapan dukun berarti telah percaya dukun mengetahui ilmu ghoib sedangkan mempercayai orang yang mengaku tahu ilmu ghoib merupakan pendustaan terhadap firman Allah ta ‘ala
قل لا يعلم في السموات والأرض الغيب إلا الله
“Katakanlah bahwa tidak ada yang megetahui perkara ghoib kecuali Allah” (An Naml 60)
oleh kerena inilah datang dalam hadits yang shohih
من أتى كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه و سلم                           
” Barang siapa yang mendatangi dukun kemudian dia mempercayai ucapannya maka dia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa Sallam. ” HR At Tirmidzi no130 dishohihkan Asy Syaikh Al Albani dalam kitab Irwa’ no6817.
2. Dia mendatangi dukun lulu dia bertanya kepadanya namun dia tidak percaya terhadap ucapannya maka hal demikian harom, dan pelakunya mendapat hukuman tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari sebagaimana telah disebutkan dalam hadits shohih Muslim no2230 bahwa nabi Sholallah alaihi wa Sallam  bersabda:
من أتى عرافا فسأله لم تقبل له صلاة أربعين يوما
“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal kemudian dia bertanya padanya maka sholatnya tidak diterima selama 40 hari”
dalam riwayat ini Rosul menyatakan bahwa hanya bertanya saja telah membuat sholatnya tidak diterima selama 40 hari. sehingga tidak selayakya kita mendatangi dukun atau tukang ramal lalu bertanya kepadanya walaupun hanya iseng-iseng saja.
الله مستعان و عليه تكلان
3. Dia mendatangi dukun kemudian dia bertanya kepadanya dalam rangka membongkar kedok kebohonganya kepada manusia ,maka yang demikian tidak mengapa hal ini berdasarkan tindakan Nabi Sholallahu alaihi wasallam mendatangi Ibnu Shoyyad yang merupakan seorang dukun,beliau bertanya padanya untuk menunjukkan kelamahannya bahwa dia tidak mengetahui perkara ghoib sebagaimana dalam riwayat Bukhori no 1354 dan muslim no2923.
[ MEMAKAI JIMAT DAN RAJAH]
Masih sering kita dapati di masyarakat kita, bayi yang memakai gelang atau kalung untuk menolak penyakit berupa benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan dagangan, mobil yang didalamnya ada gantungan untuk mencegah kecelakaan, rumah yang pintunya dipasang jimat-jimat untuk menolak bala’, dan contoh-contoh yang lain.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Begitu pula Waki’  pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).

Rangkuman hukum memakai gelang/kalung :

1)    Jika memakai dengan keyakinan kalung tersebut memiliki kekuatan menolak bala dengan sendirinya : syirik akbar.
2)    Jika memakai dengan keyakinan kalung tersebut memiliki kekuatan menolak bala atas ijin Allah ta’ala tanpa ada bukti ilmiyah dan logis : maka syirik kecil.
3)    Jika memakai kalung tanpa ada keyakinan kalung emas bagi laki-laki : dosa besar.
4)    Jika memakai kalung tanpa keyakinan kekuatan, bagi wanita : boleh.

Abul hasan ali


[ ZODIAK / RAMALAN BINTANG ]
Tiga Fungsi Bintang di Langit

Fungsi pertama: Untuk melempar setan-setan yang akan mencuri berita langit. Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat Al Mulk,
وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
Dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk: 5)

Fungsi kedua: Sebagai penunjuk arah seperti rasi bintang yang menjadi penunjuk bagi nelayan di laut.
وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 16). Allah menjadikan bagi para musafir tanda-tanda yang mereka dapat gunakan sebagai petunjuk di bumi dan sebagai tanda-tanda di langit.[2]

Fungsi ketiga: Sebagai penerang dan penghias langit dunia. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (QS. Al Mulk: 5)
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (QS. Ash Shofaat: 6)

Ilmu yang Mempelajari Posisi Benda Langit
 Ilmu astrologi (ilmu ta’tsir)

Astrologi adalah ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet, bulan dan matahari) dengan nasib manusia.

Misalnya, orang yang lahir awal desember akan berzodiak Sagitarius, karena pada tanggal tersebut Matahari berada di wilayah rasi bintang Sagitarius.
 Rasi-rasi bintang tersebut adalah:Capricornus: Kambing lautAquarius: Pembawa AirPisces: Ika

Keyakinan Terhadap Zodiak dan Ramalan Bintang
Ada tiga macam keyakinan yang dimaksud dan ketiga-tiganya haram.

Pertama: Keyakinan bahwa posisi benda langit yang menciptakan segala kejadian yang ada di alam semesta dan segala kejadian berasal dari pergerakan benda langit.
Keyakinan semacam ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh Ash Shobi-ah. Mereka mengingkari Allah sebagai pencipta. Segala kejadian yang ada diciptakan oleh benda langit. Pergerakan benda langit yang ada dapat diklaim menimbulkan kejadian baik dan buruk di alam semesta. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan yang kufur berdasarkan kesepakatan para ulama.

Kedua: Keyakinan bahwa posisi benda langit yang ada hanyalah sebagai sebab (ta’tsir) dan benda tersebut tidak menciptakan segala kejadian yang ada. Yang menciptakan setiap kejadian hanyalah Allah, sedangkan posisi benda langit tersebut hanyalah sebab semata. Keyakinan semacam ini juga tetap keliru dan termasuk syirik ashgor. Karena Allah sendiri tidak pernah menjadikan benda langit tersebut sebagai sebab. Allah pun tidak pernah menganggapnya punya kaitan dengan kejadian yang ada di muka bumi, seperti turunnya hujan dan bertiupnya angin. Semua ini kembali pada pengaturan Allah dan atas izin-Nya, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kedudukan benda langit yang ada. Allah hanya menciptakan bintang untuk tiga tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Ketiga: Posisi benda langit sebagai petunjuk untuk peristiwa masa akan datang. Keyakinan semacam ini berarti mengaku-ngaku ilmu ghoib. Ini termasuk perdukunan dan sihir. Perbuatan semacam ini termasuk kekufuran berdasarkan kesepakatan para ulama.[9]

Intinya, ketiga keyakinan di atas adalah keyakinan yang keliru, walaupun hanya menganggap sebagai sebab atau hanya sebagai ramalan. Namun sayangnya, keyakinan semacam inilah yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat muslim. Mereka begitu semangat menikmati ramalan tersebut di majalah, koran, dan di dunia maya (seperti di situs jejaring sosial yaitu Facebook dan Friendster). Sebagian mereka pun mempercayai ramalan-ramalan bintang tadi. Apalagi jika memang ramalan itu pas dengan kondisi keuangan dan asmaranya saat itu. Sungguh, ini merupakan musibah besar di tubuh umat ini. Membaca sampai membenarkan lamaran tadi pun dianggap hal  lumrah dan tidak bernilai dosa. –Wal ‘iyadzu billah-
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.( kesesatan dan kekafiran ).
 [ PRIMBON ]
Tidak boleh menikah pada hari Sabtu wage, karena bertepatan dengan hari “weton” (kelahirannya). Tidak boleh nikah pada bulan suro karena bisa mendatangkan kesialan. Nyaris nabrak kucing sebagai tanda peringatan kecelakaan, cicak jatuh sebagai tanda mara bahaya, burung gagak sebagai tanda kematian, dll.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kepercayaan seperti itu adalah perbuatan yang dapat merusak tauhid karena ia termasuk kesyirikan. Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara marfu’,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Tathoyyur( mempercayai kesialan pada hari/benda tertentu) adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)

II.           MENYEBARKAN SUNNAH MEMBERANTAS BID’AH

A.           PENGERTIAN AS-SUNNAH MENURUT SYARI’AT

·         Menurut ulama ahli hadits                    : segala sesuatu yang berasal dari Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau meninggalkan dalam rangka menjelaskan syariat.
·         Menurut ulama ahli fiqh             : sesuatu yang diperintahkan oleh syariat dengan perintah yang tidak harus dikerjakan.
·         Menurut ulama ushuluddiin        : keyakinan yang harus tertanam dalam hati seseorang.
Sedangkan sunnah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sunnah menurut ulama ahli hadits.

B.           PENTINGNYA MEMAHAMI  AL QUR’AN DENGAN SUNNAH


Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata : “Al-Qur’an lebih membutuhkan As-Sunnah daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur’an”, diriwayatkan oleh Said bin Mansur.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata : ‘As-Sunnah memutuskan (menetapkan) Al-Qur’an dan tidaklah Al-Qur’an memutuskan (menetapkan) As-Sunnah”, diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Said bin Manshur.
Al-Baihaqi berkata : “Maksud dari ungkapan di atas, bahwa kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai yang menerangkan sesuatu yang datang dari Allah, sebagaimana firman Allah.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. [An-Nahl/16 : 44]
Bukan berarti bahwa sesuatu dari As-Sunnah bertentangan dengan Al-Qur’an, karena sunnah yang shahihah tidak mungkin bertentangan dengan Al Qur’an dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin dan tidak berani menentang Al Qur’an.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS. An Najm: 3-4)

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ (47) وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِلْمُتَّقِينَ (48)
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan kedustaan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. [Al Haaqah 44-47]

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ
“…Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura: 52-53]
Fungsi Hadits Rasulullah SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam–macam. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’.

Agar masalah ini lebih jelas, maka dibawah ini akan di uraikan satu per satu :

  1. Bayan Taqrir
Bayan al-taqrir : Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:
قَالَ رَسُلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya: “Rasulullah s.a.w telah bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”. (HR. Bukhari).
Hadis ini mentaqrir QS Al-Maidah (5):6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat. Yang artinya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki……” (QS. Al-Maidah (5): 6).

  1. Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rinciaan dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Sebagai contoh,
·         merinci ayat yang global :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Shalatlah sebagaimana engakau melihat aku shalat”. (HR. Bukhari).
Salah satunya ayat yang memerintahkan shalat adalah:
Artinya: “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku” . (QS. Al-Baqarah (2): 43).
·         Memberi kekhususan ayat yang umum

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (المائدة:3)
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah  daging babi…”
Rasulullah SAW bersabda tentang halalnya dua bangkai dan dan dua darah :
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَال
Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

  1. Bayan at-Tasyri’

Yang dimaksud dengan Bayan Al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
Hadits-hadits Rasulullah yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya),
صحيح البخاري (16/ 63)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah.” (H.R.Bukhari)
  1. Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepekati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut defenisi (pengertian) nya saja.
hadits yang berbunyi :
لاَ وَصِيَةَ لِوَارِثٍ
Artinya:  “ tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka menasakh isi firman Allah SWT :
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah (2): 180).


MACAM-MACAM SUNNAH   :
I.             Sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk ucapan)
II.            Sunnah fi’liyah (sunnah yang berupa perbuatan)
III.          Sunnah taqririyah(persetujuan)
IV.          Sunnah tarkiyah (meninggalkan sesuatu ).

1)    SUNNAH QAULIYAH

Adalah sunnah yang berupa ucapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya :

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Bukhari Muslim]
Dan jika dalam ucapan Nabi tersebut ada kata perintah (shighoh amr) maka menghasilkan hukum wajib bagi kita untuk melakukannya, misalnya :
2)    SUNNAH FI’LIYAH

Adalah sunnah yang berupa perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sunnah Fi’liyah ada 2 macam     :
1       Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan dalam rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala.
2       Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan bukan dalam rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala.

a)   Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan dalam rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala, terbagi lagi menjadi 2 macam :
·         Perbuatan ketaatan yang ada dalil menunjukkan kekhususan hanya boleh dikerjakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ; menikah lebih dari 4 istri, puasa wishol, nikah hibah....
ü  Hukumnya : haram bagi umatnya untuk mencontohnya dan melaksanakannya.
·         Perbuatan ketaatan yang tidak ada dalil menunjukkan kekhususan, misalnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mendahulukan bagian tubuh kanan saat bersuci, memakai sandal dan bersisir.
ü  Hukumnya    : sunnah bagi umatnya untuk mencontoh dan melaksanakannya.

b)   Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan bukan dalam rangka ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala, terbagi lagi menjadi 2 macam :
·         Perbuatan karena  tuntutan badan, misalnya tidur, makan, minum, duduk.
ü  Hukumnya    : mubah.
ü  Kecuali jika dalam perbuatan tersebut ada tata-cara (adab) khusus maka disyariatkan kita melaksanakannya dengan tata cara tersebut, misalnya : makan minum dengan tangan kanan, makan minum dengan duduk, tidur dengan miring sebelah kanan, duduk dengan bersila setelah shalat.
·         Perbuatan karena menyesuaikan adat kebiasaan, misalnya memakai cincin dari perak bagi laki-laki, duduk bersandar setelah shalat fajar, panjang rambut kepala.
ü  Hukumnya    : sunnah kita melaksanakannya disesuaikan dengan adat.

3)    SUNNAH TAQRIRIYAH
Adalah sunnah yang berupa persetujuan Nabi shalallahu alaihi wa salam atas ucapan dan perbuatan shahabat, misalnya bolehnya imam shalat sunnah makmumnya shalat wajib, halalnya binatang “dob”(iguana), shalat sunnah setelah wudhu.
Terbagi menjadi 2 macam :
·         Perbuatan yang langsung disaksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
·         Perbuatan yang tidak langsung disaksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi terjadi pada masa kenabiannya, misalnya bolehnya “azl”.

4)    SUNNAH TARKIYAH
Adalah suatu perbuatan yang sengaja ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. 
Perkara-perkara yang ditinggalkan Nabi  tidak lepas dari salah satu keadaan berikut,

Pertama; Nabi 
 meninggalkan suatu amalan/perbuatan karena pada jaman Nabi tidak pernah terjadi sehingga tidak adanya alasan yang mengharuskannya untuk melakukannya.

Contohnya adalah perkara memerangi orang-orang muslim yang menolak membayar zakat mal mereka.
Pada jaman Nabi tidak pernah terjadi penolakan pembayaran zakat mal, sehingga pada Nabi pun tidak pernah memerangi orang yang tidak membayar zakat.

Terjadi pada jaman Abu Bakar as sidiq, kemudian Abu bakar melakukan peperangan kepada mereka
 Karena ada alasan yang mengharuskannya, maka perbuatan Abu bakar tidak meyelisihi sunnah Nabi.
Inilah yang telah diamalkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, berbeda dengan apa yang dipahami Umar radhiyallahu 'anhu.

Ijtihad Abu Bakr tersebut adalah amalan yang sejalan dengan konsekuensi sunnah Nabi 
.

Kedua; Nabi 
 meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang memiliki alasan untuk dikerjakan, namun terdapat sebab yang menghalangi untuk dilakukannya perbuatan tersebut.

Contohnya adalah qiyam Ramadhan secara berjamaah yang beliau 
 tinggalkan dengan sebab kekhawatiran beliau bahwa shalat itu akan diwajibkan.

Jika sebab tersebut telah hilang dengan kematian beliau 
, maka perbuatan/amalan yang telah beliau tinggalkan adalah sebuah perkara yang masyru' (disyari'atkan) untuk dihidupkan kembali dan tidak menyelisihi sunnahnya.

Seperti halnya perbuatan Umar radhiyallahu 'anhu yang menghidupkan kembali qiyam Ramadhan secara berjamaah; perbuatan ini adalah perbuatan yang selaras dengan konsekuensi sunnah Nabi 
, karena terdapat dalil-dalil yang shahih tentang disyari'atkannya amalan tersebut.

Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf

Ketiga; Nabi 
 meninggalkan suatu perbuatan/amalan yang terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak terdapat penghalang bagi dilakukannya amalan tersebut.

Dalam kasus seperti ini, perbuatan beliau 
 yang meninggalkan amalan tersebut disebut sebagai "sunnah", dan itulah yang diistilahkan sebagai "as-sunnah at-tarkiyyah".

Jika Nabi 
 meninggalkan sebuah amalan, walaupun terdapat alasan untuk mengerjakannya dan tidak ada penghalang bagi dilakukannya amalan itu, maka kita harus mengetahui bahwa beliau meninggalkannya semata-mata karena itulah sunnah yang beliau ajarkan kepada umatnya untuk ditinggalkan.

Contohnya adalah melafazkan niat dalam ibadah, tidak adanya adzan dalam shalat 'Id, tidak adanya shalawatan setelah adzan.

Kaedahnya : Perbuatan Nabi 
 yang meninggalkan suatu amalan tertentu dengan adanya alasan yang bisa menguatkan perlunya dilakukannya amalan tersebut dan ketiadaan penghalang bagi pelaksanaannya, maka itulah sunnah dan menambahkan atau mengerjakannya adalah bid'ah.*


III.         MEMBERANTAS BID’AH


a.  PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
 [Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
b.   Macam –macam bid’ah
Ditinjau dari hubungannya dengan syari’at, bid’ah terbagi menjadi dua:
  1. Bid’ah Haqiqiyyah.
  2. Bid’ah Idhafiyyah.
Dalam kitabnya yang sangat monumental, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah haqiqiyyah sebagai berikut:
اَلْبِدْعَةُ الحَقِيْقِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَمْ يَدُلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ لاَ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ إِجْمَاعٍ وَلاَ اسْتِدْلاَلٍ مُعْتَبَرٍ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ فِي الْجُمْلَةِ وَلاَ فِي التَّفْصِيْلِ, وَلذَلِكَ سُمِّيَتْ بِدْعَةً لأَِنَّهَا شَيْءٌ مُخْتَرَعٌ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ (مختصر الاعتصام, ص 71).
Bid’ah haqiqiyyah ialah bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya sama sekali. Baik dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun istidlal yang mu’tabar menurut para ulama. Ia sama sekali tak memiliki dalil baik secara umum maupun terperinci, karenanya ia dinamakan bid’ah berangkat dari hakekatnya yang memang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Contoh bid’ah haqiqiyyah yang akrab dengan masyarakat Indonesia misalnya: puasa mutih, puasa pati genipadusan (mandi) menjelang datangnya bulan Ramadhan, peringatan bagi orang yang telah meninggal; 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya
Sedangkan bid’ah idhafiyyah menurut Imam Asy Syathiby definisinya ialah:
البِدْعَةُ الإِضَافِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَهَا شَائِبَتَانِ: إِحْدَاهُمَا: لَهَا مِنَ الأَدِلَّةِ مُتَعَلَّقٌ, فَلاَ تَكُونُ مِنْ تِلْكَ الْجِهَةِ بِدْعَةً. وَالأُخْرَى: لَيْسَ لَهَا مُتَعَلَّقٌ إِلاَّ مِثْلَ مَا لِلْبِدْعَةِ الحَقِيْقِيَّةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى: أَنَّ الدَّلِيْلَ عَلَيْهَا مِنْ جِهَةِ الأَصْلِ قَائِمٌ, وَمِنْ جِهَةِ الْكَيْفِيَّاتِ أَوِ الأَحْوَالِ أَوِ التَّفْصِيْلِ لَمْ يَقُمْ عَلَيْهَا, مَعَ أَنَّهَا مُحْتَاجَةٌ إِلَيْهِ لِأَنَّ الْغَالِبَ وُقُوْعُهَا فِي التَّعَبُّدِيَّاتِ لاَ فِي الْعَادِيَّاتِ الْمَحْضَةِ (مختصر الاعتصام, ص 71)
Bid’ah Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah satunya memiliki kaitan dengan dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya, namun persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya ialah: bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan menurut dalil syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan detail-detailnya tidak bersandarkan pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini amat membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan dengan praktik ibadah dan bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).
Contoh kongkrit dari bid’ah idhafiyyah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Tapi yang paling akrab dengan masyarakat Indonesia seperti yasinan, tahlilan, shalawatan, membaca wirid bersama selepas shalat dengan dikomandoi oleh Imam, membaca shalawat sebelum adzan dan iqamah, mengkhususkan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain sebagainya. Bahkan sebagian besar bid’ah yang kita jumpai saat ini rata-rata termasuk bid’ah idhafiyyah. Meski demikian, bahaya yang ditimbulkannya tidak lebih kecil dari bid’ah haqiqiyyah; bahkan lebih besar, mengapa? Karena sepintas ia merupakan taqarrub kepada Allah, hingga banyak orang tertipu dengan ‘penampilan luarnya’, padahal sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang dibenci syari’at.
Pembagian bid’ah lainnya yang dibenarkan ialah yang didasarkan pada bahaya yang ditimbulkannya. Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:
  1. Bid’ah Mukaffirah.
  2. Bid’ah Ghairu Mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar dari Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan; seperti bid’ahnya orang-orang Jahmiyyah), bid’ahnya Syi’ah Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariah[3]), bid’ahnya mereka yang mengingkari takdir Allah (Qadariyyah)[4]), dan lain-lain.
Sedangkan bid’ah ghairu mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu bid’ah tidak sama dengan dosa bid’ah lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk bid’ah itu sendiri dan keadaan pelakunya. Namun bagaimanapun juga bid’ahnya tetap tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas dan berangkat dari kejahilan.

c.    Semua bid’ah sesat

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

IV.        TAAT KEPADA PEMERINTAH

A.           JALAN  MEMPEROLEH  KEKUASAAN.

Melalui 3 cara          :

1.           Syura dipilih oleh ahlul hali wal ‘aqdi    : dalil dan contohnya adalah kepemimpinan Abu Bakar dan Utsman di pilih melalui syura.

2.           Ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya     : dalil dan contohnya kepemimpinan Umar bin Khattab ditunjuk oleh Abu Bakar dan telah ada konsensus (ijma’) ulama bolehnya 2 hal tersebut.

3.           Menggulingkan kekuasaan sebelumnya   : jika ada kudeta kemudian penguasa yang lama terguling dan penguasa baru telah mencapai pucuk kepemimpinan, maka tidak boleh bagi seorang mukmin untuk melakukan kudeta kepada pemimpin yang baru tersebut, dan wajib setia di bawah kepemimpinannya, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah lagi.

Dalilnya                  :
Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah. Di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi]

B.           TAAT KEPADA PENGUASA TERMASUK BAGIAN KETAATAN KEPADA ALLAH.

Seorang mukmin wajib taat kepada penguasanya dan hal ini termasuk bagian dari ibadah, bagian dari ketaatan kepada Allah ta’ala, yang kita semua mengaharap imbalan pahala dari Allah ta’ala.
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي.
“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti ia telah durhaka kepada Allah, barangsiapa yang taat kepada amirku (yang muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku.” [ HR Bukhori Muslim ]

C.           TAAT KEPADA PENGUASA DALAM RANGKA MENJAGA MASLAHAT UMUM.

Ketaatan kepada penguasa dalam rangka menjaga maslahat umum, menjaga keamanan secara luas, menjaga darah umat, bukan dalam rangka basa-basi dan menjilat penguasa, walaupun harus mengorbankan kepentingan pribadi dan golongan. Oleh sebab itu kita tetap diperintahkan untuk taat dalam keadaan “rela” maupun “terpaksa” bersabar dengan kedzaliman mereka.
عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرةٍ عَلَيْكَ
“Hendaknya engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah ataupun senang, dalam keadaan rela ataupun terpaksa, bahkan sekalipun dalam keadaan dia bertindak sewenang-wenang terhadap kalian.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

D.           Rakyat tetap wajib memberikan hak penguasa dengan sebaik-baiknya, walaupun penguasa tidak memberikan hak rakyat dengan baik.

Karena ketaatan kepada pemimpin dalam rangka melaksanakan perintah Allah, bukan karena keadaan pemimpin tersebut, jadi tetap wajib kita melaksanakan ketaatan kepada mereka sama saja pemimpinnya baik atau pemimpinnya dholim.
(( يا نبي الله "، ارأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم، ويمنعونا حقنا، فما تأمرنا؟ فأَعرضَ عنه، ثم سأله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اسمعوا وأطيعوا؛ فإنما عليهم ما حُملوا، وعليكم ما حملتم)
رواهُ مسلم
 Wahai Nabi Allah, bagaimana menurut pendapatmu, jika berkuasa atas kami para pemimpin yang menuntut hak mereka atas rakyat, tetapi tidak memberikan hak rakyat, apa yang Engkau perintahkan kepada kami ? Rasulullah berpaling darinya, kemudian orang tersebut bertanya lagi, maka berkatalah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam : “ tetap dengar dan taatilah mereka....sesungguhnya mereka akan menanggung dari perbuatan mereka, dan kalian akan menanggung perbuatan kalian. [ HR Muslim ] 

E.           Kondisi dan keadaan seorang penguasa.

Keadaan seorang penguasa, terbagi menjadi 2 macam :
1.    Kondisi yang berkaitan dengan perbuatannya untuk dirinya sendiri.
2.    Kondisi yang berkaitan dengan aturan-aturannya untuk rakyatnya.

1)    Kondisi seorang penguasa berkaitan dengan perbuatannya untuk dirinya sendiri.
Ada 5 macam :
1)    Perbuatan seorang pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah ta’ala.
Seperti jika ada seorang pemimpin yang melaksanakan shalat berjamaah, puasa, zakat, haji, berkurban, melarang kemaksiatan, membubarkan perjudian, menutup lokalisasi, maka wajib bagi rakyat untuk menunjukkan loyalitas kepadanya, kecintaan dan pujian kepadanya dan membantunya dalam ketaatan, sesuai dengan firman Allah ta’ala :at taubah 71.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2)    Perbuatan seorang pemimpin dalam hal-hal yang mubah dalam batas syariah.
Seperti seorang pemimpin yang membangun rumah yang mewah, kendaraan yang bagus, harta yang melimpah, makanan dan minuman yang lezat.
Dengan catatan                 :
a)    Cara memperolehnya melalui jalan yang halal.
b)    Tetap melaksanakan kewajiban harta berupa zakat.
c)    Tanpa ada unsur isrof/ berlebihan.
d)    Tidak menimbulkan kesombongan.
Rakyat tidak boleh mencela seorang pemimpin dalam kondisi seperti itu, karena syariat Islam tidak mencelanya dan memberikan kelonggaran dalam permasalahan mubah dalam batas syariah.
Dalilnya :
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( كُلْ, وَاشْرَبْ, وَالْبَسْ, وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ, وَلَا مَخِيلَةٍ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَأَحْمَدُ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari ‘Amr Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, radhiyallāhu ‘anhum (semoga Allāh meridhai mereka) berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Makanlah dan minumlah dan berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebihan (isrāf) dan tanpa kesombongan.”
(HR Abū Dāwūd dan Ahmad dan Al-Imām Al-Bukhāri meriwayatkan secara ta’liq)

Dan juga yang perlu kita cermati, keadaan seorang penguasa terkadang berbeda dengan keadaan seorang rakyat, penguasa membutuhkan kewibawaan, keamanan, menampakkan kemuliaan Islam, pemuliaan tamu-tamu negara dan sebab lainnya yang membutuhkan kemewahan dan sesuatu yang lebih daripada  rakyat biasa, seperti kisah Muawiyah saat menyambut Umar di Damaskus ibukota Syam, dengan sambutan yang sangat mewah dan diiringi pawai yang sangat besar, maka Umar pun berkomentar  : “ Kisra Arab”. Setelah dekat dengan Muawiyah maka Umar pun bertanya : “ kamu yang membuat pawai yang besar ini”. Muawiyah : “benar wahai Amirul Mukminin”.
Umar : “telah sampai berita kepadaku, masih adanya orang-orang yang membutuhkan bantuan, yang berdiri di depan pintumu”.
Muawiyah      : “benar, masih ada orang-orang yang membutuhkan bantuan berdiri di depan pintuku.”
Umar  : lalu kenapa Engkau masih melakukan pawai seperti ini ?
Muawiyah      : “Kita berada di tempat, dimana intel-intel musuh sangat banyak, maka harus kita tampakkan kewibawaan penguasa Islam yang bisa menggetarkan hati-hati mereka”.  Jika Engkau perintahkan aku untuk melanjutkan hal ini, maka siap akan aku lanjutkan, tetapi jika Engkau melarangku pasti akan aku tinggalkan”.
Umar : “ jika benar apa yang kamu katakan, maka itu suatu pemikiran yang cerdik, dan jika batil yang kamu katakan maka itu suatu tipuan yang halus”.
Muawiyah : berikan instruksi kepadaku wahai Amiirul Mukminin.
Umar : aku tidak memerintahkan dan tidak melarangnya. [ Tarikh Dimask Ibn Asakir :59/112 ]

3)    Perbuatan seorang pemimpin dalam hal meninggalkan sesuatu yang sunnah (dianjurkan) dan melakukan hal-hal yang makruh.
Seperti seorang pemimpin yang tidak mengerjakan shalat malam, tidak bisa membaca Al Qur’an, tidak melakukan puasa sunnah. Perbuatan makruh misalnya mengakhirkan buka dan menyegerakan sahur, baik hal tersebut berkaitan dengan dirinya sendiri atau hal-hal yang berkaitan dengan orang lain, misalnya : pemimpin yang jadi imam shalat, mengakhirkan dari waktu awal yang utama.
Sikap seorang muslim adalah menasehati dengan baik, lembut dan sopan tanpa ada unsur celaan dan perendahan kepada seorang pemimpin dan tetap menjaga kekuasaan dan persatuan, tidak menimbulkan perpecahan.
Kisah ibnu masud dengan Utsman :
Berkata Imam Al Baihaqi    : Ibnu mas’ud menyalahkan Utsman karena menyempurnakan shalat di Mina dan tidak menqosornya.
Berkata Alqomah      : ibnu mas’ud shalat mengimami kami dan menyempurnakannya tidak mengqosor, maka aku berkata kepadanya, kenapa Engkau melakukan sesuatu yang engkau  telah menyalahkannya? Maka berkatalah Ibnu Mas’ud : “ perselisihan itu tercela” [ Ma’rifatus sunnah dan atsar 4/260 ]

4)    Perbuatan seorang pemimpin yang terkandung dosa, kedzaliman dan kemaksiatan tetapi belum sampai ke tingkat kekafiran.
Misalnya perlindungan kepada perjudian, minuman keras, prostitusi, korupsi dan lainya. Sikap seorang mukmin adalah :
a)    Membenci perbuatan tersebut dan mengingkari dalam hatinya.
b)    Menasehati secara rahasia, melalui surat atau media lainya tanpa diumbar di khalayak umum.
c)    Mendoakan kebaikan kepada pemimpin agar kembali kepada jalan yang benar.
d)    Bersabar/menahan diri saat ada kedzaliman kepada dirinya berupa perampasan harta atau penyiksaan fisik.
e)    Tetap mendengar dan taat dan tidak boleh melakukan kudeta.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. AhmadIbnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)[1]
5)    Perbuatan seorang pemimpin yang terkandung dosa sampai tingkat kekafiran.
Seperti perbuatan pemimpin Libia Muamar Khaddafi, perbuatan pemimpin Iraq Saddam Husain, pemimpin Suriah Bassar Asad.
Yang harus dilakukan oleh seorang muslim          :
a)    Menasehatinya secara rahasia dengan cara hikmah tanpa  di sebarkan di muka umum, jika pemimpim menerima nasehat dan bertaubat dari perbuatan kafir tersebut maka itu yang diharapkan, loyalitas, ketaatan dan kekuasaan tetap menjadi haknya, karena taubat menghapus semua dosa sebelumnya.
b)    Jika pemimpin tidak menerima nasehat dan terus melanjutkan kekafirannya, maka wajib untuk digulingkan dengan syarat-syarat berikut ini :

(1)  Kekafiran yang terbukti dengan jelas, nyata, terang-terangan, tersebar luas.
Berdasarkan :
(2)  Dengan sengaja, bukan karena ketidaktahuan dan bukan karena keterpaksaan.
Berdasarkan   :
(3)  Kemampuan rakyat untuk menggulingkannya.
Berdasarkan :
(4)  tidak terjadi kejelekan yang lebih besar.
(5)  Konsultasi dengan para ulama kibar.




a)    Kondisi seorang penguasa  berkaitan dengan aturan-aturan untuk rakyatnya.

(1)  Aturan dari penguasa yang mewajibkan sesuatu yang diwajibkan oleh syariat dan mengharamkan sesuatu yang diharamkan syariat.
Seperti aturan wajibnya shalat jum’at berjama’ah di masjid kantor, atau wajibnya membayar zakat bagi PNS. Larangan untuk pungli, korupsi, mabuk dan memakai narkotika.
Hukumnya     : wajib bagi rakyat untuk mentaatinya karena 2 alasan, taat kepada aturan syariat dan taat kepada aturan pemerintah.
Dalil    :

(2)  Aturan dari pemerintah  yang mewajibkan sesuatu yang disunnahkan syariat dan mengharamkan sesuatu yang dimakruhkan oleh syariat, karena ada alasan tertentu.
Seperti aturan wajibnya bagi para pegawai untuk bersedekah tiap awal bulan setelah gajian untuk kegiatan sosial, maka hukumnya wajib bagi rakyat untuk mematuhi dan mentaatinya.
Berdasarkan :
“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat kepada pemerintah dalam hal-hal yang dia sukai maupun dalam hal yang dia benci, selama mereka tidak memerintahkan kemaksiatan.”
Berkata Imam Zainuddin Al Munawi : “ dalam hadits diatas menunjukkan jika Imam memerintahkan sesuatu yang sunnah dan mubah maka hukumnya menjadi wajib”.
(3)  Aturan dari pemerintah yang mewajibkan sesuatu yang dimubahkan syariat atau melarang  sesuatu yang dimubahkan syariat.
Seperti aturan wajibnya ijin edar dan sertifikat halal bagi perdagangan makanan dan obat-obatan. Aturan-aturan dalam berlalu lintas seperti larangan mengendarai sepeda motor bagi yang belum punya SIM, aturan dalam bepergian ke luar negri seperti larangan bepergian ke luar negri  bagi yang tidak punya paspor atau visa resmi.
Hukumnya : wajib bagi rakyat untuk melaksanakannya, berdasarkan dalil-dalil diatas.
(4)  Aturan dari pemerintah untuk meninggalkan amalan sunnah atau mewajibkan melakukan sesuatu yang makruh, karena ada alasan tertentu.
Seperti aturan pembatasan kuota haji dan umroh, karena khawatir kepadatan yang berlebihan. Aturan bagi para pegawai negri tidak boleh shalat dhuha saat jam kerja, karena padatnya pelayanan kepada masyarakat. Kewajiban untuk jaga malam/ronda bagi warga secara bergiliran untuk menjaga keamanan. Larangan menikah pada usia dini.
Maka hukumnya : wajib bagi warga atau rakyat untuk mentaati aturan aturan tersebut, berdasarkan :
·         Hadits seorang wanita tidak boleh puasa kecuali atas ijin suaminya.

·         Kisah Ammar bin Yasir berkaitan dengan hadits bolehnya tayammum bagi orang yang junub, Ammar pernah mendengar hadits tersebut dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Amiirul Mukminin Umar lupa hadits tersebut.
Umar berkata :”Bertaqwalah kepada Allah wahai Ammar “. –hati-hati dalam menyampaikan hadits-
Ammar berkata : “Jika Engkau inginkan aku tidak akan menyampaikan hadits tersebut [ HR Muslim 368 ].
·         Kisah Abu Hanifah saat dilarang oleh penguasa untuk berfatwa, pada saat putrinya bertanya tentang perkara agama, maka jawab Abu Hanifah : “bertanyalah kepada saudaramu Hammad, karena pemerintah melarangku untuk berfatwa”.

(5)  Aturan dari pemerintah atau keputusan dari pemerintah dalam permasalahan “ijtihadiyah”.
Permasalahan “ijtihadiyah” adalah permasalahan yang ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, dan masing-masing pendapat berdasarkan dalil masing-masing, contohnya permasalahan orang-orang yang berhak menerima zakat fitri, jumhur ulama berpendapat 8 golongan dalam surat At taubah , sedangkan ulama yang lain berpendapat, penerima zakat fitri khusus Faqir dan miskin saja, maka jika pemerintah / Kemenag sudah memutuskan ikut pendapat jumhuur, maka wajib bagi seluruh panitia zakat untuk mengikutinya.
Berkata Imam Al Qorrafi : “Ketahuilah jika pemerintah telah menentukan sesuatu dalam masalah Ijtihadiyah, maka dilarang ada perselisihan setelah adanya keputusan itu”. [ Furuuq 2/103 ]
Berkata Syaikh Utsaimin : “keputusan pemerintah, menghilangkan perbedaan pendapat, dan mencegah perselisihan “. [ Syarh Mumti 12/318 ]
(6)  Aturan dari pemerintah untuk meninggalkan yang wajib atau memerintahkan yang dosa dan maksiat.
Maka sikap yang benar seorang muslim     :
a.    Tidak melaksanakan aturan tersebut, karena :
b.    Hal tersebut tidak mengharuskan untuk menggulingkan kekuasaannya atau tidak mentaatinya dalam aturan-aturan lain yang bukan maksiat.
c.    Wajib untuk selalu memberi nasehat dan masukan-masukan kepada pemerintah secara rahasia tidak dibeberkan di muka umum kesalahan-kesalahannya, sesuai dengan aturan syariat.
ALLAHU TA’ALA  A’LAM
Abul Hasan Ali Cawas










Tidak ada komentar:

Posting Komentar