Senin, 30 Oktober 2017

Lelah Yang Membahagiakan
Lelah karena ibadah
.................................................................
Sebagai orang tua atau guru, sering kita mengalami kelelahan… lelah fisik, lelah psikis dalam mendidik putra putri kita
Namun kita perlu ingat,
Semua manusia pasti mengalami kelelahan. Karena bagian dari sunnatullah, setiap makhluk bernyawa – selain malaikat – pasti mengalami kelelahan.
Allah berfirman, menceritakan kondisi Malaikat,
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ , يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ
Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. (QS. al-Anbiya: 19-20)
Manusia bukan malaikat. Sehingga kita mengalami keletihan ketika beribadah. Sebenarnya kami hanya ingin menekankan, bahwa letih itu tidak hanya dialami oleh mereka yang beribadah, tapi dialami semua yang beraktivitas, semua yang bergerak.
Allah berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sungguh, Aku telah ciptakan dalam kondisi kabad” (QS. al-Balad: 4)
Kata ‘kabad’ artinya kelelahan..
Allah juga mengatakan,
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian benar-benar capek menuju Allah sampai kalian ketemu dengan-Nya.” (QS. al-Insyiqaq: 6)
Yang dimaksud ‘capek menuju Allah’ adalah capek menuju kematian. Karena setiap manusia yang mati pasti ketemu Allah.
Allah menyebut kita semua capek, karena kita semua beraktivitas. Kita semua bekerja. Tidak ada istilah manusia berhenti.
Ketika kaum muslimin capek ketika berbuat taat, orang fasik juga capek ketika berbuat maksiat…
Ketika kaum muslimin capek melakukan kebaikan, orang kafir juga capek ketika melakukan kekafiran…
Ketika kita capek karena qiyamul lail, orang musyrik juga capek ketika berbuat kesyirikan…
Semua manusia capek….
Kalau kita tidak capek untuk kebaikan....pasti kita akan capek dalam kejelekan.
Maka jangan mengeluh...
Jangan jadi alasan capek....untuk meninggalkan kebaikan.
Namun capek kita beda dengan capek mereka…
Capek kita berpahala…
Capek kita beriring dengan harapan besar di sisi-Nya…
Yang ini semua tidak dimiliki oleh mereka…
Allah berfirman,
إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ
“Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan..” (QS. an-Nisa: 104)
Semoga capek kita, mengantarkan kita untuk bebas dari neraka…
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
 “Setiap hari semua manusia akan mempertaruhkan dirinya. Apakah dia akan membebaskan dirinya (dari neraka) ataukah dia akan membinasakan dirinya (di neraka).” (HR. Muslim 556)

rasa capek, lelah tersebut, jika kita ikhlas dan berihtisab, bisa menjadi penghapus dosa kita
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu KELELAHAN, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)
Imam Al-‘Aini rahimahullah Menjelaskan,
قوله ” من نصب ” أي من تعب وزنه ومعناه .
“Makna “Nashab” adalah rasa lelah (capek), wazannya (cetakan bahasa Arab) dan maknanya (sama)”.  (‘Umdatul Qari’ 21/209)
Capeknya para salaf dalam kebaikan : 
Di antara buktinya adalah kisah-kisah berikut ini.
·         Waki’ bin Al Jarroh rahimahullah berkata, “Al A’masy selama kurang lebih 70 tahun tidak pernah luput dari takbiratul ihrom.”

·         Al Qodhi Taqiyuddin Sulaiman bin Hamzah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Aku tidaklah pernah shalat fardhu sendirian kecuali dua kali. Dan ketika aku shalat sendirian, aku merasa seakan-akan aku tidak shalat.”

·         Muhammad bin Sama’ah rahimahullah berkata, “Selama 40 tahun aku tidak pernah luput dari takbiratul ihram (bersama imam) walaupun sehari saja kecuali ketika ibuku meninggal dunia.

·         Dalam biografi Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah di kitab Tahdzib At Tahdzib disebutkan, “Selama 40 tahun tidaklah dikumandangkan adzan melainkan Sa’id telah berada di masjid.”

·         Asy Sya’bi rahimahullah berkata, “Tidaklah adzan dikumandangkan semenjak aku masuk Islam melainkan aku telah berwudhu saat itu.”

Ulama belakangan pun ada yang punya kisah demikian. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah terkenal dengan semangat beliau dalam ibadah di samping beliau sudah ma’ruf dengan perbendaharaan ilmu diin yang amat luas. Beliau adalah orang yang rutin menjaga shalat sunnah rawatib, rajin menjaga dzikir-dzikir khusus dan rutin pula menjaga shalat malam (tahajjud).

·         Anak Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz yang bernama Ahmad berkata, “Aku sudah lama mengetahui kalau ayahku selalu bangun tidur satu jam sebelum shalat shubuh dan ketika itu beliau shalat (tahajjud) sebanyak 11 raka’at (sudah termasuk witir, pen).”

Tetap semangat saudaraku

Abul Hasan Ali Cawas
SKALA PRIORITAS DALAM MENGAJAR
Perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan, menuntut orang tua dan guru semakin kreatif dan cerdas dalam mentranfer ilmu kepada anak dan siswa.
Ilmu pengetahuan sangatlah banyak, sedangkan umur terbatas, sehingga kita harus mengetahui skala prioritas dalam mengajar.
1.   PELAJARAN ADAB
Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,

قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? 

1. Adab membantu tercapainya ilmu.

dengan adab seorang siswa dan guru akan disiplin, dengan adab seorang siswa dan guru tidak akan bermudah mudahan absent tidak hadir pelajaran, dengan adab seorang siswa dan guru tidak akan bermudah mudahan terlambat dalam pelajaran

Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

 Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)


2. ADAB akan menjadikan ilmu yang dimiliki seseorang menjadi ilmu yang membawa manfaat bagi dirinya dan orang lain.

Orang berilmu tanpa adab maka sangat dikhawatirkan ilmunya akan membuat dirinya sombong, merasa lebih tinggi daripada yang lain, meremehkan orang lain dan berbuat yang merugikan orang lain, menipu, berdusta dan melakukan rekayasa untuk kepentingan pribadi.

GURU MEMBERI CONTOH ADAB
Saat pengajian, saat musyawarah, saat ada orang lain berbicara di depan : jangan berbicara sendiri, jangan main HP jangan ngantuk dll

Misalnya kisah berikut ini, dikisahkan oleh Ahmad bin Sinan mengenai majelis Abdurrahman bin Mahdi, guru Imam Ahmad, beliau berkata,

كان عبد الرحمن بن مهدي لا يتحدث في مجلسه، ولا يقوم أحد ولا يبرى فيه قلم، ولا يتبسم أحد
Tidak ada seorangpun berbicara di majelis Abdurrahman bin Mahdi, tidak ada seorangpun yang berdiri, tidak ada seorangpun yang mengasah/meruncingkan pena, tidak ada yang tersenyum.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 17/161, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah).

Berkata Adz-Dzahabi rahimahullahu,
كان يجتمع في مجلس أحمد زهاء خمسة آلاف – أو يزيدون نحو خمس مائة – يكتبون، والباقون يتعلمون منه حسن الأدب والسمت

Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis [pelajaran] sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 21/373, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah).

JANGAN LUPA :
ADAB YANG PERTAMA DAN UTAMA ADALAH :

Adab kepada ALLAH ta’ala, bagaimana ibadah kita dan bagaimana ibadah anak didik kita kepada ALLAH, mari kita ajarkan, mari kita praktikkan, mari kita dampingi anak-anak kita dalam belajar ADAB.

Mari kita wahai rekan-rekan guru dan orang tua,  perbaiki adab kita dalam menuntut ilmu dan mengikhlaskannya kepada Allah dan kita prioritaskan pelajaran adab kepadamurid kita.

Demikian semoga bermanfaat

Abul Hasan Ali Cawas.


Kamis, 26 Oktober 2017

SIKAP PARA SHAHABAT DAN ULAMA SALAF
TERHADAP PARA PEMIMPIN


                Salah satu ketetapan dari Allah ta’ala bahwa kehidupan di muka bumi akan baik jika diatur oleh para pemimpin.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang pemimpin di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)pemimpin di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Dalam hadits  riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW bersabda:
”Apabila keluar tiga orang untuk bersafar, maka angkat satu di antaranya sebagai pemimpin.”


Kehidupan di bawah seorang pemimpin lebih baik daripada kehidupan tanpa pemimpin, walaupun pemimpin itu pemimpin yang dzalim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

ويقال { ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان } . والتجربة تبين ذلك . ولهذا كان السلف – كالفضيل بن عياض وأحمد بن حنبل وغيرهما – يقولون : لو كان لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان

💐 Ada sebuah ungkapan, “Enam puluh tahun bersama pemimpin zalim lebih maslahat (lebih baik) daripada semalam tanpa pemimpin.” Pengalaman membuktikan hal ini.
🌻 Karena itulah, para salaf —seperti Al Fudhail bin Iyadh, Ahmad bin Hanbal, dan selain mereka— mengatakan, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, niscaya akan aku doakan kebaikan untuk pemimpin.”
📚 Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam jil 28/ hlm 391
Dan dalam syariat Islam seorang pemimpin adalah dari kalangan laki-laki, tidak boleh seorang wanita jadi pemimpin.
Abu Bakrah berkata,

لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »

“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” (HR. Bukhari no. 4425)

Pesan-pesan Shahabat dan ulama Salaf :
وكتبَ رجل إلى ابن عُمر - رضي الله عنه - أن اكتُبْ إليَّ بالعلم كله. فكتب إليه: إنَّ العلم كثير، ولكن إن استطعتَ أن تَلْقَى الله خفيفَ الظهر من دماءِ الناسِ، خَمِيصَ البطنِ من أموالهم، كافَّ اللسان عن أعراضهم، لازمًا لأمْرِ جَمَاعتهم، فافعل. [السير (تهذيبه) 1/ 370].

Ada seorang laki-laki menulis kepada Ibnu Umar-semoga Allah meridhainya- tulislah untukku rangkuman dari ilmu semuanya.
Maka beliau menulis :
“Sesungguhnya ilmu sangat banyak, akan tetapi jika Engkau mampu maka berusahalah bertemu dengan Allah ringan punggungmu dari menumpahkan darah manusia, perutmu kosong dari memakan harta orang lain, menjaga lisan dari merendahkan kehormatan mereka, senantiasa menjaga jamaah persatuan- dengan mentaati pemimpin- maka lakukanlah.
[siyar 1/370]
وعن عُمَر بن الفضل قال: سألت أبا العلاء رحمه الله -- فقلت: يا أبا العلاء أسب الحجاج؟ فقال: ادع له بالصلاح فإن صلاحه خير لك. [الزهد للإمام أحمد / 422].
Dari Umar bin Fudhail berkata : aku bertanya kepada Abal “ala’-semoga Allah merahmatinya- bolehkan aku mencela Hajjaj (seorang pemimpin yang sangat jahat) ?
Maka berkatalah Abul “Ala’ :
Doakan dia dengan kebaikan, karena kebaikannya lebih baik untukmu.
[ Az Zuhd Imam Ahmad 422 ]
عن سعيد بن المسيِّب رحمه الله قال: لا تملؤوا أعينَكم من أعوان الظَّلمة إلا بإنكار من قلوبكم، لكَيلا تحبَطَ أعمالُكم. [السير (تهذيبه) 1/ 485].
Dari Sa’id bin Musayyib –semoga Allah merahmatinya- berkata :
“ Jangan kalian memenuhi mata kalian dari perbuatan pemimpin yang dzalim kecuali hanya dengan pengingkaran dalam hati kalian, agar tidak terhapus amal kebaikan kalian”
[ Siyar : 1/485 ]
Waspadalah makar orang-orang kafir, mereka belajar dari sejarah tidak bisa menang dalam perang melawan orang Islam, walau senjata lebih canggih dan personil lebih banyak.
Maka mereka menggunakan taktik baru, untuk menghancurkan umat Islam, dengan mengadu domba umat dengan para penguasanya, biarkan, sibukkan mereka berperang sendiri, saling menumpahkan darah sesama umat Islam, dengan dalih pemimpin yang dhalim.
Waspadalah jangan terpengaruh mereka...

Abul hasan Ali Cawas.








Selasa, 24 Oktober 2017

MARI MENGGAPAI
DERAJAT IHSAN


Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk di dalamnya.

Allah berfirman kepada NabiNya :


وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ (٢١٧) الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (٢١٨) وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ (٢١٩) إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan bertawakkallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri, dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.  Sesungguhnya Dia adalah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui(QS Asy-Syu'aroo : 17-20)

Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk),
Ihsan terbagi menjadi 2 macam :

1.     Ihsan berkaitan dengan sesama :
yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.

2.     Ihsan berkaitan dengan Allah ta’ala :
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102)

Tingkatan Ihsan
Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :

Pertama, tingkatan muroqobah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam

فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu).

Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut.

Kedua, tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه
(‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).

Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan.

Contoh dalam kehidupan kita sehari –hari :

·        Kita rekreasi melihat pemandangan yang indah, maka kita teringat,
(إن الله جميلٌ يحب الجمال،

“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, 


[ HR Muslim ]
          Dengan itu akan menambah keimanan kita.

·         Kita melihat bangunan yang tinggi, besar, mengagumkan, kita  teringat,
الله اكبر
[ Allahu Akbar ]
Allah lebih besar, semakin menambah iman kita.

·         Kita bertemu dengan orang  yang sangat baik, maka kita teringat,
الله كريم
[ Allah Maha Baik ]
          Bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan dengan orang yang baik, dan tentu saja Allah lebih baik.

·         Kita bertemu dengan orang yang jahat, sikap, ucapan dan perilakunya menyakiti  hati, maka kita teringat,
الله سميع بصير
[ Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat ]
          Allah yang akan membalasnya dan meminta pertanggung jawaban kepadanya.

·         Kita sebagai orang tua sedang  kesulitan finansial, anak-anak kita meminta bayaran SPP, kita teringat,
الله غني
[ Allah Maha Kaya ]

Pasti akan memberi kemudahan dan kecukupan bagi kita, menambah iman kita,

Segala sesuatu kejadian yang disaksikan, akan menambah ketebalan iman bagi orang yang IHSAN
Mari kita berusaha mempraktekannya...


Abul Hasan Ali Cawas