Minggu, 14 Mei 2017

Fiqh Kontemporer

PENENTUAN AWAL PUASA DAN AWAL IED
ANTARA RU’YAH DAN HISAB...

Antara pendapat yang menggunakan ru’yah dan hisab, tentu saja masing-masing pihak mempunyai argumentasi (dalil) baik dari ayat-ayat Al Qur’an ataupun hadits-hadits shahihah. Adapun sumber perbedaannya adalah dari sisi pemahaman dalil-dalil tersebut.

Maka diperlukan suatu argumentasi (dalil) yang pasti, jelas, kuat dan tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Argumentasi yang dimaksud adalah IJMA’ ULAMA.

IJMA adalah : “konsensus (kesepakatan) ulama dalam suatu permasalahan syariat yang terjadi setelah kematian Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-“.

Alhamdulillah dalam masalah penentuan awal puasa dan awal ied ternyata telah ada IJMA’ ULAMA sehingga bisa memberikan pegangan yang kuat dan menenangkan bagi seluruh umat Islam dan menghindarkan dari perselisihan dan perbedaan pendapat.

§  Mana IJMA’ nya ?

يقول سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز (رحمه الله) : ذكر شيخ الإسلام ابن تيمية (رحمه الله) في رسالة صنفها في هذه المسألة (1) كما جاء في المجلد (25) من الفتاوى صفحة (132) إجماع العلماء على أنه لا يجوز العمل بالحساب في إثبات الأهلة وهو (رحمه الله) من أعلم الناس بمسائل الإجماع والخلاف. ونقل الحافظ في الفتح ج4 صفحة (127) عن أبي الوليد الباجي: إجماع السلف على عدم الاعتداد بالحساب، وأن إجماعهم حجة على من بعدهم.

§  Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz-semoga Allah merahmatinya-(mufti Saudi Arabia lampau) :

“ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- telah menyebutkan di dalam sebuah karya yang beliau karang dalam permasalahan ini, di dalam jilid 25 dari Kitab “Majmu’ Fatawa halaman 132 : “Para ulama telah bersepakat tidak bolehnya menggunakan hisab di dalam penetapan awal bulan”
Dan beliau (syaikhul Islam) termasuk orang yang paling ahli di dalam permasalahan Ijma” dan “perbedaan pendapat”

§  Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani menukil dalam kitabnya “Fathul Bary” Jilid 4 Halaman 127 dari Abil Walid Al Baaji :

“ Telah sepakat para ulama salaf tidak bolehnya menyandarkan diri dengan metode hisab dan kesepakatan mereka merupakan hujjah (sesuatu yang harus di ikuti) oleh orang-orang setelahnya”.
وقال ابن عرفة:
بل قد حكى الإجماع على موجبه غير واحد من أهل العلم في القديم والحديث منهم: ابن المنذر في الإشراف، وسند من المالكية، والباجي، وابن رشد القرطبي، وشيخ الإسلام ابن تيمية، والحافظ ابن حجر، والسبكي، والعيني، وابن عابدين، والشوكاني، وصديق حسن
خان في تفسيرهما لقوله تعالى {إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ} الآية.

§  Berkata Ibnu ‘Arafah :

“Bahkan telah menukil IJMA’ atas keharusan (menggunakan ru’yah) beberapa dari ulama terdahulu dan jaman sekarang, diantara mereka Ibnul Mundzir di dalam “Isyraaf” dan Sand dari kalangan Malikiyah dan Al Baaji, Ibnu Rusd Al Qurthuby, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar Al Asqalani, As Subkhi, Al ‘Aini, Ibnu ‘Abidin, dan Syaukani dan Shiddiq Hassan Khan dalam tafsir firman Allah ta’ala {إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ} الآية.

[fiqh Nawazil : Syaikh Bakr Abu Zaid]

§  Fatwa-fatwa dari beberapa ulama :

1.   Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin :

: لا يجوز اعتماد حساب المراصد الفلكية إذا لم يكن رؤية،
“Tidak boleh penggunaan hisab, jika tidak menggunakan rukyah”.
2.   Imam Malik bin Anas –semoga Allah merahmatinya- :
قال مالك رحمه الله تعالى: إن من يصوم بالحساب لا يقتدى به.


“Sesungguhnya barang siapa yang berpuasa berdasarkan hisab, tidak boleh diikuti”.
[sumber fiqh nawazil : syaikh Bakr Abu Zaid]

3.   Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru  dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan  bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
§  Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama  salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.”
Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit”.[8] Fathul Bari, 4/127.
§  Imam Ibnu Daqiqil Ied berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam puasa.[5]

Kalau Ada Nukilan Ijma’ Ulama, Maka …

Kalau ada nukilan ijma’ ulama, maka tidak tepat kaedah ini digunakan,
لاَ إِنْكَارَ فِي مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah.”

Karena masalah hisab bukan lagi masalah yang boleh diijtihadkan. Karena menurut kesepakatan ulama tidak boleh hisab dijadikan standar dalam penentuan awal bulan.

Kalau dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Kata sepakat ini bukan kata sepakat sembarang orang, bukan orang awam.

Dan umat tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itu teramat bahaya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin.
AYAT INI MENUNJUKKAN BAHWA MENGIKUTI IJMA’ ITU WAJIB.



Referensi :
1.      Fiqh nawazil : bakr abu zaid
2.      Muslim.or.id
3.      Al manhaj.or.id
4.      Rumaisho.com







Tidak ada komentar:

Posting Komentar