Selasa, 13 Februari 2018

CERMIN AKHLAK ULAMA’ SALAF DALAM HAL SALING MENASIHATI 

Oleh : Abdullah Al-Jirani Abu Anas
Al-‘Allamah Ibnul Arabi –rahimahullah- berkata :
وصلت الفسطاط مرة، فجئت مجلس الشيخ أبي الفضل الجواهري، وحضرت كلامه على الناس، فكان مما قال في أول مجلس جلست إليه: إن النبي - صلى الله عليه وسلم - (طلق وظاهر وآلى) فلما خرج تبعته حتى بلغت معه إلى منزله في جماعة، فلما انفض عنه أكثرهم، قال لي: أراك غريبًا هل لك من كلام؟ قلت: نعم. قال لجلسائه: افرجوا له عن كلامه،فقاموا وبقيت وحدي معه،
"Sekali waktu, aku tiba di Fusthoth (nama Kairo/ibu kota Mesir waktu itu). Maka aku mendatangi majelis Asy-Syaikh Abul Fadhl Al-Jawahiri. Akupun hadir saat beliau menyampaikan ucapannya kepada manusia. Diantara yang disampaikan di awal majelis dimana aku duduk di situ (beliau berkata) : “Sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mentalak, mendzihar[1], dan melakukan ila’[2]. Saat beliau keluar majelis, akupun mengikuti beliau sampai tiba di rumahnya (dan saat itu) ada sekelompok orang di sana. Tatkala kebanyakan mereka telah bercerai (pergi), maka beliau bertanya kepadaku : “Aku lihat kamu orang asing, apakah ada yang ingin kamu sampaikan ?”. Aku jawab : “Ya.” Beliau berkata kepada orang-orang yang masih tersisa duduk di situ : “Hendaknya kalian memberi kesempatan waktu baginya untuk menyampaikan perkataannya (secara rahasia).” Maka mereka akhirnya beranjak pergi dan tersisa aku dan beliau."
فقلت له: حضرت المجلس اليوم وسمعتك تقول: آلى رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وصدقت، وطلق رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وصدقت، وقلت: وظاهر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وهذا لم يكن ولا يصح أن يكون؛ لأن الظهار منكر من القول وزور، وذلك لا يجوز أن يقع من النبي - صلى الله عليه وسلم -، فضمني إلى نفسه وقبل رأسي وقال لي: أنا تائب من ذلك جزاك الله عني من معلم خيرًا
"Maka aku berkata kepada beliau  : “Aku hadir di majelis anda hari ini dan aku mendengar anda menyatakan bahwa Rosulullah –shollallahu ‘alihi wa sallam- pernah melakukan ila’, dan anda benar. Dan anda menyampaikan bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mentalak (istrinya), dan anda juga benar. Lalu anda menyampaikan bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mendzihar, maka ini tidak pernah terjadi dan tidak benar terjadi. Karena dzihar merupakan perkara munkar dusta. Hal itu tidak boleh terjadi dari Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.” Maka beliau memelukku dan mencium kepalaku.” Beliau kemudian berkata kepadaku : “Aku bertaubat dari hal itu. Semoga Alloh membalas kebaikan untukmu atas apa yang engkau ajarkan kepadaku.”
ثم انقلبت عنه وبكرت إلى مجلسه في اليوم الثاني، فألفيته قد سبقني إلى الجامع وجلس على المنبر فلما دخلت من باب الجامع ورآني نادى بأعلى صوته "مرحبًا بمعلمي افسحوا لمعلمي" فتطاولت الأعناق إليَّ وحدقت الأبصار نحوي، وأنا لعظم الحياء لا أعرف في أي بقعة أنا من الأرض والجامع غاص بأهله، وأسال الحياء بدني عرقًا، وأقبل الشيخ على الخلق فقال لهم: أنا معلمكم، وهذا معلمي
"Lalu aku pergi dari beliau. Di hari kedua, aku bersegera mendatangi majelis beliau (supaya aku bisa datang lebih dulu). Ternyata aku dapatkan beliau telah mendahului aku tiba di masjid Jami’. Beliau-pun naik mimbar. Tatkala aku masuk dari salah satu pintu Masjid Jami’ tersebut dan beliau melihatku, beliau memanggil dengan suara yang sangat keras : “Selamat datang wahai guruku ! berilah jalan untuk guruku !”. Maka manusiapun melonggokkan dan menatap ke arahku. Aku sangat malu sekali waktu itu. Sampai seolah aku tidak tahu di mana waktu itu aku berada. Masjid jami’ penuh dengan lautan manusia (ahli ilmu). Rasa maluku akhirnya menyebabkan bercucuran keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Syaikh-pun (Abul Fadhl Al-Jawahiri) menghadap manusia seraya berkata : “Aku guru kalian, dan ini(Ibnul Arabi) adalah guruku.”
لما كان بالأمس قلت لكم: آلى رسول الله، وطلق رسول الله، وظاهر رسول الله، فما كان أحدٌ منكم فقه عني ولا رد عليَّ فاتبعني إلى منزلي وقال لي كذا وكذا، وأنا تائب عن قولي بالأمس وراجع عنه إلى الحق، فمن سمعه ممن حضر فلا يعول عليه، ومن غاب فليبلغه من حضر، فجزاه الله خيرًا، وجهد في الدعاء والخلق يؤمنون".
"Beliau berkata : “Kemarin, aku mengatakan kepada kalian, bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaih wa sallam- telah melakukan ila’,talak dan dzihar. Maka ada salah seorang dari kalian memiliki ilmu tentang (kesalahan) yang aku sampaikan dan tidak langsung membantahku. Lalu dia mengikutiku sampai tiba di rumahku kemudian menyampaikan kepadaku demikian dan demikian (menjelaskan kekeliruanku). Aku bertaubat dari ucapanku kemarin dan kembali kepada kebenaran. Maka barang siapa yang kemarin hadir dan mendengarnya, abaikan saja. Dan barang siapa yang tidak hadir, hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (atas kekeliruanku tersebut). Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan.” Beliau berdo’a dengan sungguh-sungguh dan diaminkan oleh seluruh manusia yang hadir waktu itu.”
Ahkamul Qur’an : 1/182-183 ].
-------------------------
Pelajaran yang dapat dipetik :
1]. Seyogyanya meluruskan kesalahan seorang, terlebih seorang da’i, atau ustadz, atau tokoh agama dan yang semisalnya dilakukan dengan empat mata (secara sembunyi dan bertemu langsung). Tidak dilakukan di muka umum, atau disebar secara luas dengan berbagai media baik melalui internet, atau TV, atau yang lainnya. Karena hal ini lebih mudah diterima oleh pihak yang bersalah, dan lebih menjaga harga dirinya, serta menjaga perasaan orang-orang yang belajar kepadanya.Walaupun kesalahan tersebut disampaikan di depan umum atau tersebar secara luas.
Jika cara seperti ini prosentase kemungkinan untuk diterima oleh orang yang bersalah lebih besar-dan ini memang tujuan yang diinginkan-, lantas kenapa kita justru memilih untuk meluruskannya dengan bantahan secara umum ? padahal prosentase kemungkinan diterimanya lebih kecil, atau bahkan tidak diterima sama sekali. Karena adanya efek-efek negatif yang munncul setelahnya, seperti : rasa malu, sakit hati, kehormatan yang tercabik secara luas, dan yang lainnya. Kita mengkhawatirkan diri-diri kita, jangan-jangan saat kita membantah orang yang bersalah, bukan karena Alloh. Akan tetapi terselip adanya tunggangan hawa nafsu yang sangat halus.
Lihat, bagaimana Al-Imam Ibnu Arabi –rahimahullah- ketika meluruskan kesalahan yang dinyatakan oleh Al-Imam Abul Fadhl Al-Jawahiri –rahimahullah-. Walaupun kesalahan itu dilakukan di depan umum, namun beliau meluruskannya secara empat mati di rumah beliau. Bahkan ketika masih ada orang lain di rumah itu, beliau belum menyampaikannya, sampai tersisa mereka berdua.
Meluruskan kesalahan secara umum bukan tidak boleh. Jika memang ada berbagai murojihat (penguat) untuk menyampaikannya secara umum disertai pertimbangan masalahat dan mafsadat yang akan muncul, silahkan. Akan tetapi, kita hendaknya memilih cara yang paling berpotensi besar untuk diterimanya nasihat kita.
2]. Adab salaf adalah saling menasihati, yang salah hendaknya selalu terbuka dan menerima nasihat. Orang yang memberi nasihat hendaknya melaksanakan nasihat juga dengan adab dan tata cara yang hikmah dan baik, tidak boleh langsung menjauhi dan mempengaruhi orang lain untuk menjauhi.
3]. Mari kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Jika saat kita salah kita ingin dinasihati dengan lembut dan secara sembunyi-sembunyi, maka perlakukanlah orang lain demikian juga. Karena “sebagaimana engkau memperlakukan orang lain, demikian juga engkau akan diperlakukan.”
4]. Sifat rendah hati para ulama’ salaf. Dimana saat telah nyata mereka keliru, maka mereka menerima sebuah nasihat dengan penuh keikhlasan dan mudah untuk kembali kepada kebenaran. Tidak gengsi atau takut kehilangan popularitas.
5]. Memuliakan orang yang telah memberikan nasihat kepada kita dengan sebaik-baiknya. Karena dia telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi hidup kita. Jangan sampai kita justru memusuhinya atau membencinya atau menghinakannya.
6]. Nasihat yang disampaikan secara pribadi dengan cara bertemu langsung, biasanya lebih terjaga keikhlasan orang yang menasihati dan lebih mudah diterima oleh orang yang dinasihati.
Wallohu a’lam bish showab.
=selesai=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar