Minggu, 06 Mei 2018

Fatwa Lembaga Resmi Internasional, Ulama Internasional dan Lembaga Nasional tentang Imunisasi
1. Fatwa Majma’ Fiqih Al-Islami
Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami
atau Liga Muslim Sedunia adalah organisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam
2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Dewan fatwa di Saudi Arabia yang fatwanya sering dipakai mayoritas kaum muslimin di dunia.
3. Fatwa Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European Council for Fatwa and Research
Lembaga ini berkedudukan di Republik Irlandia. Majelis ini mulai didirikan dari sebuah pertemuan yang diadakan di London di Inggris pada 29-30 Maret 1997, yang dihadiri lebih dari lima belas ulama dunia, atas prakarsa dari Ittihad Munazhzhamah fi Uruba (Persatuan Organisasi Islam di Eropa).
Perlu diketahui bahwa ulama tidak gegabah berfatwa, mereka juga perlu tahu fikhul waqi’ (realita), karenanya mereka sebelum berfatwa mencari tahu hakikat persoalan. Misalnya majma’ fiqh Al-Islami , terkait vaksinasi, maka mereka mengundang para ahli vaksin dan dokter untuk dihadirkan dalam muktamar dan diminta menjelaskan mengenai hakikat dan cara pembuatan vaksin serta hal-hal terkait vaksin
Karena jika salah memahami fikhul waqi’, maka salah juga mengeluarkan fatwa, sebagaimana dikenal dalam kaidah
الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
“Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”
Artinya: Jika informasi yang sampai ke pemberi fatwa salah, maka salah juga fatwanya (dalam hal ini bukan salah ustadz/ulamanya).
Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz, apa hukum vaksin yang MENGANDUNG babi dan berbahaya.”
Ustadz menjawab: Haram
Maka menyebarlah fatwa “vaksin haram”
Padahal: Faktanya TIDAK demikian, program vaksinasi di Indonesia tidak ada satupun yang mengandung babi.[1]
Mohon maaf, ada sebagian orang yang bukan ahli fikh bukan juga ahli kesehatan tapi berani bicara vaksin dan hukumnya (ada juga ustadz yang selama ini jadi panutannya dan diikuti segala hal fikhnya, tiba-tiba ustadznya bicara vaksin berdasarkan fakta yang benar mengenai mubahnya vaksin, tiba-tiba ia tolak dan tidak terima, kemudian hilang lah sisi ilmiah pada dirinya).
Ini bentuk hati-hati para ulama sebelum berfatwa, jika saja para ulama sudah diragukan fatwanya, tentu kurang baik.
1. Fatwa Majma’ Fiqih Al-Islami
Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul
(بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال)
“Penjelasan untuk MEMOTIVASI gerakan imunisasi memberantas penyakit POLIO
Berikut isi fatwanya:
إن دفع الأمراض بالتطعيم لا ينافي التوكل؛ كما لا ينافيه دفع داء الجوع والعطش والحر والبرد بأضدادها، بل لا تتم حقيقة التوكل إلا بمباشرة الأسباب الظاهرة التي نصبها الله تعالى مقتضيات لمسبباتها قدرا وشرعا، وقد يكون ترك التطعيم إذا ترتب عليه ضرر محرما.
“Mencegah penyakit dengan imunisasi tidak menafikkan tawakkal, sebagaimana mencegah lapar, haus, panas dan dingin. Bahkan tidak sempurna hakikat tawakkal kecuali dengan melakukan sebab-sebab nyata yang telah Allah tetapkan sebagai penyebabnya baik sebagai sebab qadariyah (sebab-akibat, pent) atau sebagai sebab syar’i. Dan bisa jadi tidak melakukan imunisasi kemudian muncul bahaya, maka ini hukumnya haram.”[2]
2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Vaksin mubah dan termasuk perkara yang disyariatkan menempuh sebab secara ilmiah.
وبعد دراسة اللجنة للمعاملة أفتت: بأن استعمال اللقاح المذكور في السؤال وغيره من الأدوية المباحة أمر مشروع وهو من عمل الأسباب المشروعة التي يدفع الله بها الأمراض، ويحصن بها الإنسان أطفاله لما يرجى من النفع في التحصن من الأمراض الخطيرة كالشلل وغيره لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: من تصبح بسبع تمرات عجوة لم يضره ذلك اليوم سم ولا سحر أخرجه البخاري ومسلم في (صحيحيهما).
وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه، وهو لا ينافي التوكل؛ لأنه من فعل الأسباب المشروعة للتوقي من الأدواء والأمراض التي يخشى نزولها، وقد قال صلى الله عليه وسلم: اعقلها وتوكل أخرجه الترمذي في (جامعه) من حديث أنس رضي الله عنه، والحاكم في (المستدرك) من حديث عمرو بن أمية الضمري، كما أخرجه الطبراني من طرق، وقال الذهبي في (تلخيص المستدرك): (سنده جيد).
Setelah al-Lajnah Lil Muammalah menelaah (program imunisasi), maka al-Lajnah berfatwa:
“Penggunaan vaksin yang telah disebutkan (oleh Kementerian Kesehatan Saudi Arabia) ataupun vaksin/obat lainnya yang mubah, maka ini termasuk perkara yang disyariatkan dan merupakan bentuk menempuh sebab yang disyariatkan, yang dengannya Allah akan menghindarkan hambanya dari berbagi macam penyakit.
Masyarakat bisa melindungi anak-anaknya, karena adanya manfaat yang diharapkan dengan imunitas tubuh dari bermacam-macam penyakit yang berbahaya. Misalnya Polio, atau penyakit lainnya yang timbul karena adanya wabah ataupun sebab-sebab lainnya yang dikhawatirkan timbulnya penyakit karenanya.
Hal ini berdasarkan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Barangsiapa yang pada pagi hari memakan tujuh butir kurma ajwah, maka tidak ada satupun racun dan sihir yang akan membahayakannya pada hari tersebut” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dalam kitab Shahihnya).
Hal ini termasuk dalam kategori mencegah bahaya sebelum terjadinya, dan tidak bertemtangan dengan tawakal, karena merupakan upaya yang disyariatkan untuk melindungi diri dari bermacam-macam penyakit dan akibatnya yang dikhawatirkan terjadi.”[3]
3. Fatwa negara Islam Eropa, yaitu Al-Majelis Al-Urubi li Al-Ifta’ wa Al-Buhuts atau European Council for Fatwa anda Research ( ﺍﻟﻤﺠﻠﺲ ﺍﻷﻭﺭﻭﺑﻲ ﻟﻺﻓﺘﺎﺀ ﻭﺍﻟﺒﺤﻮﺙ )
Isinya menjelasakan kehalalan vaksin dan memotivasi penggunaan vaksin
Berikut fatwanya, terkait vaksin, memutuskan dua hal:
أولا: إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية
Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer, dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).[4]
Jika ada yang berkata: “Pegangan kita adalah Al-Quran dan As-sunnah, bukan fatwa”
Jawab: Ulama juga berfatwa berdasarkan Al-Quran dan sunnah dan ulama lebih paham mengenai hal ini
Demikian semoga bermanfaat
NOTE:
Vaksin Saudi dimpor juga dari Indonesia, Indonesia Eksport banyak sekali vaksin ke berbagai negara, termasuk 30 lebih negara Islam, memenuhi kebutuhan Asia Tenggara, karena vaksin Indonesia buatan dalam negeri oleh PT biofarma sejak zaman belanda, bukan buatan Yahudi atau Amerika bahkan sebelum negara Israel ada.
Baca Indonesia ekspor vaksin ke Saudi:
@ Yogyakarta Tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel muslim.or.id
Soal ini, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa ini diterbitkan pada 23 Januari 2016.
MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa ini.
1. Bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi.
2. Bahwa imunisasi, sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan, dan kematian.
3. Bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya.
[Baca Juga: Mengenal Hepatitis]
Dalam fatwanya, MUI menyebut imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
Imunisasi semestinya menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram dan tidak dibolehkan, kecuali ada beberapa hal ini:
1. Digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat. A-ldlarurat (darurat) ialah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia. Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
2. Belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci.
3. Adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal
Fatwa itu juga memutuskan imunisasi wajib hukumnya bila seseorang yang tidak diimunisasi bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.
Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).
MUI juga memberikan rekomendasi terkait imunisasi. Ada 7 rekomendasi dari MUI:
1. Pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
2. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
3. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin.
4. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal.
5. Produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi.
7. Orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.

 A. Fatwa-Fatwa Ulama Dunia
1.   Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, mufti besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah
2.   Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com
3.   Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]
B.Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1.   Fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]
2.   Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
3.   Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama] Indonesia
C. Keterangan Para Ustadz di Indonesia
1.   Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA hafizhahullah, lulusan Doktoral Fikh Universitas Islam Madinah, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), kontributor Yufid.TV, dosen STDI Imam Syafi’i Jember
2.   Ustadz Firanda Andirja, MA hafizhahullah, pengajar di masjidil Nabawi, lulusan Master jurusan Akidah Universitas Madinah, calon Doktor di  jurusan yang sama, pengasuh situs firanda.com
3.   Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah, lulusan Markaz Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Pimred Majalah Al-Furqon
4.   Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, MA hafizhahullah, lulusan Pascasarjana Jurusan Ulumul Hadits, Islamic University of Medina, KSA.
5.   Ustadz Aris Munandar, SS. MA hafizhahullah, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI)pembina PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta, pembina Mahad Al Ilmi Yogyakarta, aktif mengisi kajian dan daurah di Yogyakarta dan sekitar.
6.   Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST hafizhahullah, Lulusan S1 Teknik Kimia UGM, lulusan S2 Master of Chemical Engineering di Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSApembina PP Darus Sholihin Yogyakarta, pimpinan redaksi Muslim.Or.Id, pengasuh situs Islami www.rumaysho.com, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), murid Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah.
Kemudian kami tambahkan keterangan dari ahli dan pakarnya. menerapkan perintah Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Tanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak tahu”. (An Nahl : 43).
D.Keterangan Dokter dan pakar ahli
Dari dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, beliau adalah:
1.   Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia 2002-2008
2.   Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI).
3.   Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang – Pediatri  Sosial, Magister Sains Psikologi Perkembangan.
Teks Fatawa
Berikut rincian dan penjelasannya:
A. Fatwa-Fatwa Ulama Dunia
1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah
Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini,
ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟
“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”
Beliau menjawab,
لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع  لبلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي  كان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.
La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”
Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.

2. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah
Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com
Dalam fatwa beliau mengenai imunisasi dan valsin beliau menjawab. Rincian bagian ketiga yang sesuai dengan pembahasan imunisasi dengan bahan yang haram tetapi memberi manfaat yang lebih besar. syaikh berkata,
لقسم الثالث : ما كان منها مواد محرَّمة أو نجسة في أصلها ، ولكنها عولجت كيميائيّاً أو أضيفت إليها مواد أخرى غيَّرت من اسمها ووصفها إلى مواد مباحة ، وهو ما يسمَّى ” الاستحالة ” ، ويكون لها آثار نافعة .
وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .
“rincian ketiga: vaksin yang terdapat didalamnya bahan yang haram atau najis pada asalnya. Akan tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan [mubah ini] mempunyai efek yang bermanfaat.
Vaksin jenis ini bisa digunakan karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya. Dan mengubah hukumnya menjadi mubah/boleh digunakan.”

3. Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]
Memutuskan dua hal:
أولا: إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.
ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية
Pertama:
Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis.  Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.
Kedua:
Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).

B.Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia
1. Fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]
Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M [Fatwa Terbaru MUI]
Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang: Penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah
Menetapkan ketentuan hukum:
1.   Vaksin MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
2.   Vaksin Menveo meningococal dan vaksin meningococcal hukumnya halal
3.   Vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
4.   Ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib, boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah [kebutuhan mendesak] dinyatakan tidak berlaku lagi

2. Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.
Jawaban:
Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.

3. Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama] Indonesia
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan menindak lanjuti hasil sidang Lembaga Bahtsul Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang menyatakan secara umum hukum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan.
Menurut Katib Aam Suriah PBNU, Malik Madani, keputusan tersebut merupakan kesimpulan di internal LBM-NU. Secara pasti, hasilnya akan segera dibahas di kalangan suriah. ‘Tunggu hasilnya bisa disetujui dan bisa tidak,’ ujar dia kepada Republika di Jakarta, Rabu (1/9)
Apapun hasilnya kelak, ungkap Malik, PBNU merekomendasikan ke pemerintah agar melakukan vaksinasi kepada para jamaah haji dengan memakai vaksin yang halal berdasarkan syari’i. Hal ini penting, agar jamaah haji mendapat rasa nyaman dan kekhidmatan beribadah. Selain itu, masyarakat dihimbau tidak terlalu resah dengan informasi apapun terkait vaksin meningitis yang belum jelas.
Ketua LBM-NU, Zulfa Musthafa, mengemukakan berdasarkan informasi dan pemaparan sejumlah pakar dalam sidang LBM-NU diketahui bahwa semua produk vaksin meningitis pernah bersinggungan dengan enzim babi. Termasuk produk yang dikeluarkan oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i dan Meningococcal Vaccine produksi Zheijiang Tianyuan Bior Pharmaceutical Co. Ltd. Akan tetapi, secara kesuluruhan hasil akhir produk-produk tersebut dinilai telah bersih dan suci.
Zulfa menuturkan, dalam pembahasannya, LBM-NU tidak terpaku pada produk tertentu. Tetapi, pembahasan lebih menitik beratkan pada proses pembuatan vaksin. Hasilnya, secara umum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan. ”Dengan demikian, vaksin jenis Mancevax ACW135 Y, produksi Glaxo Smith Kline (GSK), Beecham Pharmaceutical, Belgia pun bisa dinyatakan halal,” tandas dia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar