Rabu, 31 Januari 2018

Hukum Menggunakan Jadwal Waktu Shalat

Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama. [19]
Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.
1. Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang mudah.
2. Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan, pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.
3. Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat dibenci dalam Islam. [20]
FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H.
Beliau mengatakan :
“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.
Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya. Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus.” [21]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro.
Beliau mengatakan: “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan. Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara kaum muslimin.”
Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga sekarang.” [22]
FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”.
Beliau berkata:
“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutarakan pendapat. Sehingga mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka.
Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan akhirnya mereka membingungkan umat. Mereka mengumumkan bahwa shalat manusia sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya.” [23]
TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan:
“Suatu permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati mengakhirkan sampai 5 menit.” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]
AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ﺍﻟﺬِّﻳﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴﺤَﺔُ ﻗُﻠﻨَﺎﻟِﻤَﻦ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻭَﻟِﻜِﺘَﺎﺑِﻪِ‏‎ ‎ﻭَﻟِﺮَﺳُﻮْﻟِﻪِ ﻭَﻷَﺋِﻤَّﺔِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﻋَﺎﻣَّﺘِﻬِﻢْ
“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab: Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat secara umum.” (HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74)
Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat kepada masyarakat secara umum.
Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat), demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum, atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya dan selalu curiga kepada pemimpinnya.
Jika menasihati pemimpin dengan cara yang baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena dia telah melaksanakan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati).
Dan barangsiapa dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya, padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]
KESIMPULAN
1. Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para ulama kebolehannya.
2. Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
3. Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara langsung. Wallahu A’lam
4. Jadwal sholat yang di gunakan, ADALAH YANG DI TETAPKAN OLEH PEMERINTAH, YANG DI SEPAKATI DEWAN FATWA ULAMA DI NEGERI TERSEBUT, bukan jadwal sholat yang di buat suatu organisasi Islam, atau suatu kelompok tertentu. Jika ada kesalahan maka yang berdosa adalah yang menetapkan, sedangkan rakyat dan makmum tetap sah dan berpahala shalatnya.
5. Jika salah seorang di wilayahnya mampu untuk menentukan masuknya waktu sholat dengan ketentuan melihat bayangan suatu benda, dan fajar shodiq, maka ini perkara yang afdhol.
6. Jika seseorang meyakini 100% kesalahan jadwal tersebut, tetap wajib bagi dirinya shalat secara berjamaah bersama masyarakat dengan niat shalat sunnah, jika sudah masuk waktu shalat menurutnya maka shalat sendiri dengan niat shalat wajib, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
”Semoga Allah Azza wa jalla menjaga niat-niat kita dalam beramal sholeh. dan semoga hal ini bisa memberi manfaat buat kita semua, dan semoga Allah Azza wa jalla menjaga kita semua dari kerusakan-kerusakan, dan semoga Allah azza wa jalla, mengokohkan kita di atas sunnah sampai akhir kehidupan kita.”
_____________________
[1] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan.
[2] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan.
[3] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan.
[4] Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat, hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141.
[5] Lantas timbul pertanyaan penting: Kenapa para ulama mengingkari penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam penentuan shalat?!! Imam Al- Qorrofi menjawab masalah ini, katanya: “Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dhuhur, demikian juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu diantara dua perkara: Pertama: Melihat hilal. Kedua: Menyempurnakan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu A’lam. [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[6] Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 29-30.
[7] Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang yang tidak ahli di bidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang membuatnya.
[8] Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 22.
[9] Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya mengatakan 5 menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan, “Nampaknya ini adalah berlebih-lebihan, tidak benar.” (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm. 680). Kemudian, kalau kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab, perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam.
[10] Lihat Thulu’ al Ummu Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm. 12-13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar