Selasa, 26 Maret 2019


4 Refleksi Bagi Guru
1. Tugas dan PR yang tidak tepat
Sebagai seorang yang pernah menjadi guru, saya mengerti bahwa jam mengajar guru di sekolah terkadang terasa kurang untuk memastikan para murid untuk betul-betul memahami materi yang dibahas. Oleh karena itulah, guru memberikan PR atau tugas dengan harapan membantu para siswa memahami materi di luar jam kelas. Secara umum, tujuan guru memberikan PR/tugas kurang-lebih seperti ini:
1.    Mengevaluasi materi yang sudah dipelajari di kelas.
2.    Mendorong murid untuk berlatih mengerjakan soal.
3.    Mendorong murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.

Di satu sisi, saya juga mengerti maksud dan tujuan guru itu baik dalam memberikan PR atau tugas, tapi saya kira ada saatnya PR/tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif bagi para siswa. 
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oviedo Spanyol, tugas dan PR akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi pemahaman siswa jika tugas dan PR tersebut dirancang agar siswa hanya membutuhkan waktu sekitar 60 menit dalam proses penyelesaiannya. Menurut penelitian tersebut juga, efektivitas tugas dan PR ini akan terus berkurang jika waktu penyelesaiannya lebih dari 90 menit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stanford Graduate School of Education juga menemukan bahwa mengerjakan PR dan tugas selama lebih dari tiga jam setiap harinya akan memberikan efek negatif baik secara mental maupun fisik.
Menyingkapi hal ini, saya pribadi berpendapat bahwa PR dan tugas itu bisa jadi hal yang positif, dengan catatan porsinya wajar. Jika ingin memberikan tugas dan PR yang cukup banyak, sebaiknya guru memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas dan PR tersebut mengingat kemungkinan siswa mendapat tugas dan PR dari guru mata pelajaran lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika guru bisa memberikan tugas yang justru bisa menjadi pemicu siswa untuk menikmati proses belajar itu sendiri, memberi tantangan yang menarik bagi siswa untuk mencari tau lebih jauh materi yang mereka pelajari, bukan justru menekan siswa untuk harus belajar.
Di sisi lain, saya juga tau bahwa tugas seorang pelajar ya memang belajar. Tapi perlu kita sadari juga, bahwa definisi “belajar” bagi anak-remaja tidak hanya sebatas pada dinding ruang kelas, PR, atau tugas dari sekolah saja. Saya percaya, ada banyak hal di luar sana yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa, di luar konteks akademis, seperti bersosialisasi, membaca, menjenguk orang sakit, ikut kajian dimasjid, berinteraksi lingkungan sosial, dan sebagainya. Intinya, jangan sampai jumlah/frekuensi tugas yang diberikan oleh guru bukan memberikan dampak positif, tapi membuat siswa merasa jenuh, tertekan, dan malah tidak menikmati proses belajar itu sendiri.

2. Pendekatan cara mengajar yang kurang tepat
Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa para siswa seringkali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap cara mengajar guru-gurunya. Sederhananya, ada guru yang dipandang oleh para siswa sebagai guru yang cara ngajarnya asik, seru, mudah dipahami. Guru-guru seperti ini seringkali menjadi idola murid-murid bahkan jam pelajarannya ditunggu-tunggu oleh para siswa. Sementara itu, di sisi lain ada juga guru yang dipandang siswa sebagai guru yang cara mengajarnya membosankan, bikin ngantuk, materinya tidak menarik, dll. Dua bentuk polarisasi dari cara pandang siswa terhadap gurunya ini memang seringkali ada, bahkan bersifat kolektif. Kalo ada beberapa anak yang menganggap gurunya ini membosankan, masa satu kelas akan kompak menganggap guru tsb membosankan.
Menjadi seorang guru, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya… ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang malah gambar-gambar, dan sebagainya. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya. Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Udah gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah.
Saya rasa, ada banyak cara yang bisa digunakan oleh guru untuk bisa “menguasai kelas”, membawa suasana belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang sehat bagi para siswa. Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang, sampai saat ini pun saya masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar yang positif di kelas. Tapi, sedikit-banyak saya hanya ingin berbagi beberapa tips yang mungkin bisa jadi masukan bagi guru-guru lain. Moga-moga tips yang saya bagikan ini bisa berguna bagi rekan-rekan guru yang lain.
A. Bangun interaksi dan hubungan emosional dengan para murid di luar kelas
Saat menjadi seorang guru, saya selalu berusaha untuk tidak membatasi interaksi saya kepada murid dalam lingkup akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan mereka. Dari hanya sekadar mendengarkan keluhan dan curhatan mereka, makan bersama, atau bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di waktu luang… semua itu saya rasa sangat membantu saya untuk membangun nuansa belajar yang positif di kelas.
Dengan membangun hubungan emosional dengan para murid, saya jadi jauh lebih mudah untuk menguasai kelas, berinteraksi langsung dengan murid yang saya anggap belum paham, membaca keinginan mereka, memahami cara mengajar seperti apa yang diharapkan oleh mereka, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh lebih menghargai saya ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol sendiri, atau melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai usaha saya di kelas. Saya percaya, di sekolah seorang murid memang perlu memahami pelajaran, sementara seorang guru perlu memahami murid-murid mereka.
B. Fokus pada bagaimana cara membuat siswa menikmati proses belajar
Menurut pendapat saya pribadi, tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tapi yang lebih penting adalah membuat murid-muridnya suka belajar. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi menurut saya cara pandang seperti ini krusial sekali dengan bagaimana cara guru membawa materi di kelas.
Dari pengalaman saya menjadi murid, seorang guru yang berfokus hanya pada konteks “mengajar”, mentransfer ilmu pada murid-muridnya, membawa misi agar murid-muridnya mampu mengerjakan soal… seringkali justru kurang berhasil membawa suasana kelas yang positif dan bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang guru yang fokus untuk membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang berbagai contoh nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk dikuasai, kenapa materi itu menarik dan seru untuk dibahas… guru semacam ini lebih bisa membangun nuansa kelas yang siap menerima pengajaran, sehingga proses belajar-mengajar jadi lebih menyenangkan, seru, menarik, tidak membosankan, dan para siswa jadi lebih termotivasi belajar.

3. Memberi hukuman yang tidak menyelesaikan masalah.
Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas, memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dan sebagainya. Dalam hal ini, saya mengerti jika guru menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?
Seorang psikolog klinis dari Columbia University, Laura Markham, mengatakan bahwa hukuman tidak selalu mampu mengubah anak didik menjadi lebih baik, terutama untuk jangka panjang. Sebaliknya, menurut pendapat Laura, hukuman dari pihak otoritas (guru / orangtua) malah bisa membuat pihak terhukum merasa rendah diri, hilang kepercayaan, kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak, bahkan memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir, hal ini juga bisa jadi relevan dalam konteks hubungan guru dengan murid. Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi membuat siswa untuk bersikap antipati terhadap guru, bahkan membenci mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi penerapan “hukuman” sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya : berdiri di depan kelas dengan satu kaki, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat “aku tidak akan terlambat” sebanyak 100x, dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.

4. Sikap antikritik dan tertutup pada evaluasi
Point terakhir yang mau saya sampaikan adalah hal yang saya kira perlu kita semua renungkan, termasuk untuk diri saya sendiri. Menjadi seorang guru terkadang membuat diri kita selalu berada dalam posisi yang ‘dominan’ di depan kelas. Sehingga tidak jarang hal ini menumbuhkan sikap antikritik, tertutup pada evaluasi, bahkan merasa diri paling mengerti “caranya mengajar” karena pengalaman mengajar yang lama. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua adalah manusia biasa, yang tentu tidak luput pada kekeliruan. Oleh karena itu, saya kira peran seorang guru (yang notabene sangatlah penting) juga perlu diiringi rasa keterbukaan untuk dapat terus mengevaluasi diri dan terbuka pada kritik.

Saya tau bahwa memang setiap guru memiliki cara yang unik dalam mengajar. Ada yang pembawaannya cenderung serius, ada yang sambil bercanda, ada yang cuma duduk di kursi sepanjang jam pelajaran berlangsung, ada yang kalo ngajar nggak bisa diem, ada yang lebih suka menjelaskan secara satu arah, ada yang cenderung mengajak 2–3 orang siswa berinteraksi, ada yang suka mengajak seluruh kelas berdiskusi, dan sebagainya. Sebetulnya bagi saya, tidak masalah cara mengajar guru itu seperti apa, selama tujuan proses mengajar itu tercapai, yaitu siswa dapat memahami materinya dan juga menikmati proses belajar itu sendiri.
Untuk melahirkan generasi penerus yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik perlu memiliki sikap terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini sudah tepat? Apakah cara kita mengajar mampu membuat siswa paham dengan materi yang dipelajari dan menikmati proses belajar?
Bagikan angket anonim yang berisi pertanyaan tentang kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika setiap pendidik memiliki keterbukaan pada kritik dan saran, maka kualitas guru di Indonesia akan semakin baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar